Sunday, January 10, 2016

Surat untuk Tuhan (2)


Kali ini kuantarkan bersama matahari yang tengah beradu dengan dingin….

Tuhan, hatiku masih resah dan gelisah.
Pikiranku selalu dipenuhi  dengan kata bagaimana jika. Aku bukannya takut kehilangan apa yang mungkin saat ini ingin Kau berikan untukku. Tapi aku takut jika Kau tak lagi memberiku kesempatan lain.  

Tuhan, aku memang tak bisa menyelami pikiranMu
Sungguh aku takut. Aku tahu pikiranku ini picik. Engkau selalu memaafkan. Engkau selalu mengerti meski berulangkali aku membuat kesalahan. Kali ini aku benar-benar takut Engkau tak beri kesempatan lagi. Yakinkan aku bahwa Engkau akan beri aku kesempatan lain lagi. Aku belum pernah merasakan seresah ini.

Tuhan, tak semestinya aku berpikir seperti ini
Tak semestinya aku meragukanMu. Tak semestinya aku berpikir dangkal tentangMu. Tak semestinya aku berpikir bagaimana jika Engkau marah,  bagaimana jika Engkau tak memberiku kesempatan lagi. Engkau memiliki hak untuk melakukan kehendakMu. Aku sadar itu.

Tuhan, maafkan aku
Kali ini aku menolak kesempatan ini. Aku masih berharap mendapatkan yang kucari dan kubutuhkan. Hanya itu. Maafkan aku.

Kali ini matahari masih bersinar …..semoga suratku tetap hangat dan tak beku oleh dingin udara

Surat untuk Tuhan

Surat untuk Tuhan

Kuantarkan bersama gerimis malam ini...

Tuhan, maafkan aku kalau kali ini aku tidak ingin mengikuti kehendakMu. Bolehkah?

Tuhan, bolehkah aku membaca dan menafsirkan apa yang sedang terjadi ini dengan caraku?

Sungguh aku merasa bersalah padaMu. Sejenak aku berfikir mungkin ini adalah jalan yang Kau berikan untukku, jawaban atas doaku selama ini. Tapi tahukah Engkau Tuhan? Bukan ini yang kumau. Aku merasa bukan ini yang kubutuhkan? Bolehkah aku menolaknya?

Tuhan, sungguh aku merasa bersalah padaMu.
Hatiku dan logikaku menolak dengan keras.  Apa dayaku Tuhan? Haruskah aku selalu berusaha memahami apa yang terjadi? Menerima segala yang terjadi dalam hidupku dengan pemakluman dan pemahaman. Lantas siapa yang memahamiku? Siapa yang memaklumiku?

Tuhan, sungguh maafkan aku.
Aku ingin mengambil jalan yang lain. Jika ini memang kehedakMu, jangan menghukumku jika aku tidak mengikutinya.

Tuhan sungguh aku merasa resah dan gelisah.
Aku takut Engkau akan marah padaku.  Dan memikirkan itu membuatku merasa lelah.  Aku lelah Tuhan, bahkan doa tak bisa menenangkanku. Entah mengapa. Sungguh aku merasa takut.

Tuhan, maafkan aku.
Sungguh…..maafkan aku. Aku sempat berpikir jika aku menolak maka aku tidak bersyukur dengan apa yang Engkau beri. Aku mencari pembenaran kemana-mana. Kepada orang-orang yang kuanggap bisa memberikan pembenaran untukku, kesanalah aku pergi. Tapi aku tetap merasa tidak tenang.  

Tuhan, aku tahu
Seharusnya aku mencari kebenaranMu bukan pembenaran atas langkahku. Tapi mengapa kata hatiku menolak demikian kerasnya? Ada apa dengan hatiku? Apa karena ini semua tak sesuai dengan mimpi yang kubangun? Ijinkan aku memiliki mimpi itu Tuhan. Ijinkan.

Tuhan, maaf kalau doaku memaksaMu.
Bukan maksudku seperti itu. Aku tidak ingin memaksaMu. Aku hanya ingin Kau tahu apa yang kumau dan kubutuhkan.  Maaf jika itu tidak sesuai dengan kehendakMu sekarang. Jangan marah padaku Tuhan. Aku sedih jika Kau marah padaku. Maafkan aku….

Gerimis yang berhenti. …..membuatku pilu.

Sunday, December 16, 2012

Berita dari Laut

Mamok dan seragam

Mamok kembali ke sekolah! Senang rasanya mendengar berita ini. Yosep, anak laut yang selama ini selalu rajin menghubungiku, membagi berita ini melalui telepon. Setelah sempat absen cukup lama dan menyatakan tidak mau sekolah, akhirnya Mamok mau belajar di sekolah lagi.  Mamok dan Yosep adalah dua dari dua belas anak laut yang mulai mengenyam pendidikan formal angkatan pertama di kelompok suku Laut Tajur Biru. Mereka mulai sekolah di SDN 004 pada bulan September tahun 2011. Di antara dua belas anak laut, Mamoklah yang selalu bisa membuat aku dan Ninuk tertawa dengan tingkah lakunya.

Mamok adalah anak berusia sekitar 15 an tahun. Di antara anak laut yang bersekolah, Mamok lah yang paling tua dan paling usil. Menurut cerita bu Ros, wali kelas 1 SDN 004, Mamok sering membuat anak lain menangis dengan keisengannya. Namun meskipun sering iseng dan usil, Mamok adalah anak yang baik dan lucu. Ia tidak malu untuk belajar dan bermain meski bertubuh paling besar dan paling tua di antara kawan-kawan kelas 1. Sayangnya, prestasi Mamok di kelas tidak begitu baik. Ia tertinggal di kelas 1 bersama 3 anak perempuan laut lain sementara anak-anak lainnya bisa naik ke kelas 2.

Sejak pertama kali mengajari anak laut belajar di rumah, aku dan Ninuk tahu bila kami harus berusaha ekstra keras untuk mengajari Mamok menulis. Mamok membutuhkan waktu lama untuk belajar mengenal huruf. Ia sering lupa pelajaran yang baru saja kami ajarkan. Butuh kesabaran untuk mengajari Mamok dan anak-anak Laut lain yang masing-masing memiliki karakter unik. Aku selalu ingat kebiasaan-kebiasaan Mamok yang selalu membuatku mengulum senyum. Yang pertama, ia selalu hormat ketika berpapasan denganku dan Ninuk dimana saja dan kapanpun itu. Yang kedua, ketika sudah pusing belajar, ia akan meletakkan jarinya di kening dan memutar-mutar jarinya sambil berkata "sebentar". Jika sudah seperti itu, kami biarkan Mamok berhenti belajar dan melanjutkannya kapan pun ia suka.

Di antara kawan-kawannya, Mamok paling jarang belajar di rumah pak Akob, rumah dimana aku dan Ninuk tinggal. Ia sering diajak pergi ke laut oleh orang dewasa atau pergi nyandit seorang diri. Untuk urusan mencari uang, Mamok cukup rajin. Ia bahkan bisa membeli sepatu baru dari hasil nyandit (mencari nos). Beda halnya untuk sekolah, Mamok tidak rajin seperti kawan lainnya. Ia sukar bangun pagi dan jika dibangunkan akan marah. Itulah yang membuat orang tua, nenek dan adik-adiknya enggan membangunkan Mamok. Mereka akan membiarkan Mamok tidak berangkat sekolah.

Berita Mamok kembali bersekolah benar-benar berita luar biasa untukku. Menurut Yosep, Mamok memang tidak setiap hari masuk sekolah. Namun tetap saja aku senang. Dengan kembali bersekolah setidaknya semangat Mamok untuk belajar masih ada, ia tidak malu untuk belajar di kelas 1 kembali bersama kawan-kawan barunya. Semoga Mamok tetap mau belajar baik di rumah maupun sekolah.

Berita Mamok sekolah memang membuatku senang. Namun aku juga merasa sedih ketika aku mendengar dari Yosep bahwa ada 3 anak laut yang memutuskan untuk berhenti sekolah. Sudah hampir tiga minggu Norman (Nod), Karmer (Kincil) dan Jun tidak masuk sekolah. Entah apa alasan mereka. Semoga keputusan itu hanyalah keputusan sesaat dan suatu hari nanti mereka akan kembali ke sekolah.

Aku jadi berpikir, apakah mungkin Mamok, Jun, Nod dan Karmer memutuskan untuk berhenti sekolah karena tidak memahami apa yang diajarkan di sekolah? Apakah sekolah tidak menjadi kebutuhan untuk anak-anak laut itu? Apakah kehidupan di laut jauh lebih menyenangkan dibandingkan sekolah mengingat semua anak-anak itu telah mengenal kerja laut dan bisa mencari uang sendiri? Tepatkah memasukkan anak-anak laut ke sekolah formal? Ada banyak pertanyaan yang muncul. Pertanyaan yang juga sering menjadi bahan diskusiku bersama Ninuk.

Semoga segera ada volunteer yang mau mengajari dan mendampingi anak-anak laut belajar di rumah sehingga kemampuan mereka semakin terasah dan mampu memahami pelajaran di sekolah. Semoga tidak ada lagi berita anak-anak laut yang mundur dari bangku sekolah lagi. Semoga generasi pertama ini bukan generasi terakhir yang mengenyam pendidikan karena akan ada anak-anak laut yang lahir. Harapan-harapan yang terus tumbuh meski tidak mudah mewujudkannya.

Aku berharap kalaupun anak-anak tetap tidak mau melanjutkan sekolah formal, mereka tetap bisa menguasai membaca dan menulis. Bisa jadi pendidikan alternatif adalah jawabnnya. Setidaknya dengan menguasai pendidikan dasar, anak-anak laut bisa lebih percaya diri menghadapi dunia luar yang selama ini selalu memberikan cap negatif pada identitas kesukuan mereka. Yosep, Jun, Mamok dan anak-anak laut lain adalah generasi penerus suku laut. Suatu hari nanti mereka akan menjadi pelaut ulung seperti nenek moyang mereka...sang pengelana laut.....


Kapuas, 16 Desember 2012



Wednesday, March 7, 2012

Berburu Air di Pulau

Beberapa buah jerigen berukuran sedang berjajar di sampan Iyus.  Dengan santai ia mendayung sampannya sambil bertanya ini itu. Kadang tawa kecil menghiasi wajah polosnya. Tak nampak nafasnya terengah-engah meski telah cukup lama mendayung. Tubuhnya yang kecil berbanding terbalik dengan tenaganya. Lengannya sangat kokoh menggerakan dayung. Iyus memang telah terbiasa menjadi tekong (pendayung) sejak masih kecil. Sebagai anak sulung dari 4 bersaudara dan cucu tertua di keluarga besarnya, Iyus memang dididik untuk menjadi mandiri sejak kecil. Berbagai tugas rumah tangga sering dilimpahkan kepadanya. 

Satu-satu (foto : CLI)
Salah satu tugasnya adalah mengambil air di perigi yang terletak di pulau lain. Untuk menuju ke tempat ini, ia harus menggunakan sampan kira-kira 10-15 menit perjalanan. 

Sesampainya di pulau berperigi, dengan cekatan Iyus segera menambatkan sampannya di antara jajaran bakau. Rupanya ia tidak sendiri. Deretan sampan terlihat berjejer, menunggu pemiliknya mengisi jerigen dengan air tawar. Dengan gesit ia membawa jerigen kosong ke perigi. Sebuah gayung tak bertuan menjadi alat bagi Iyus mengambil air. Untung saja perigi tak begitu dalam sehingga dengan mudah Iyus mengisi jerigen miliknya. Selain gayung, terkadang Iyus juga menggunakan ember kecil yang diberi tali. 

Setelah jerigen terisi penuh, ia kembali membawanya ke sampan. Jalan setapak yang licin, membuatnya harus lebih berhati-hati. Tak mudah bagi anak sekecil Iyus membawa jerigen sebesar itu. Terkadang ia berhenti sekedar untuk mengatur nafas. Satu demi satu jerigenpun mulai terisi. Ia pun kembali mendayung sampannya yang terasa semakin berat. Pulang.

Perigi menjadi tumpuan pemenuhan sumber air bersih bagi suku Laut. Meskipun hanya berupa lubang di tanah (biasanya tak begitu dalam) namun kualitas airnya cukup bagus. Senang rasanya melihat air yang terus menerus keluar dari tanah. Seakan tak ada habisnya. Tak jarang anak-anak atau perempuan mandi disana. Mereka bisa sepuasnya mengguyur tubuh. Hmmm segarnya.

Hampir semua perigi dibiarkan apa adanya. Hanya berupa lubang dalam tanah. Disekeliling lubang terkadang dipasangi papan untuk pijakan atau berfungsi sebagai pembatas dengan tanah sekitar. Tidak setiap pulau memiliki perigi sehingga jika perigi yang satu kering, suku Laut atau penduduk desa harus mencari di tempat lain. 

Perigi bukan satu-satunya sumber air bagi mereka. Kala hujan datang, drum-drum besar, ember, panci semua diletakkan di luar rumah, siap menampung air. Air hujan akan digunakan untuk mandi dan mencuci, terkadang juga untuk memasak. Musim hujan benar-benar membantu ketersediaan air di rumah mereka. 

Meski tinggal dikelilingi air, namun bagi mereka yang tinggal di pulau-pulau kecil seperti suku laut di desa Tajur Biru, ketersediaan air tawar menjadi hal yang langka dan begitu penting. Tinggal disana bersama mereka, kita akan belajar banyak hal terutama hematlah menggunakan air karena begitu banyak tenaga yang dicurahkan hanya untuk setetes air.



Monday, January 9, 2012

Berpetualang ke TN Berbak Jambi

Berwisata ke taman nasional? Kenapa tidak? Wisata tipe ini memang kurang populer namun sebenarnya sangat menarik. Terutama bagi yang senang petualangan. Salah satu taman nasional yang bisa dikunjungi adalah TNB atau Taman Nasional Berbak di provinsi Jambi. TN Berbak memiliki karakteristik unik yaitu kondisi alamnya yang berlahan basah (tanah gambut) dan merupakan taman nasional terluas di Asia Tenggara. Otomatis kita akan diajak menyusuri sungai dan rawa.
Taman Nasional Berbak terletak di wilayah kabupaten Tanjung Jabung Timur dan kabupaten Muaro Jambi dengan luas wilayah 162.700 hektar. Di Taman Nasional yang terbentang luas di pesisir timur pulau Sumatera ini kita bisa mengunjungi tiga tempat yang menarik yaitu Air Hitam Dalam, Air Hitam Laut dan Simpangkubu. Sayangnya karena keterbatasan waktu, saya hanya bisa mengunjungi Air Hitam Dalam.
Untuk menuju Air Hitam Dalam, kita bisa menggunakan dua cara. Pertama menggunakan angkutan umum (colt) dari depan WTC (salah satu pusat perbelanjaan, dekat dengan Pasar Angso Duo) Jambi atau menyewa mobil ke Suakkandis. Alternative kedua ini lebih disarankan. Jika menggunakan mobil sewaan, perjalanan bisa ditempuh selama 1,5 jam – 2 jam. Bila bertepatan dengan musim buah, dengan mudah kita bisa menemukan kebun-kebun buah di sepanjang jalan menuju Suakkandis dan berbelanja tentunya. Banyak buah yang dijajakan dari rambutan, duku hingga durian(tergantung musim). Perjalanan darat akan berakhir di pelabuhan sungai Suakkandis. Dari tempat ini, kita harus menyewa speed untuk menuju Air Hitam Dalam (pulang pergi).
Sebelum masuk ke taman nasional ini disarankan untuk menghubungi pihak BKSDA setempat karena untuk masuk ke sebuah taman nasional haruslah memiliki ijin masuk yang dikeluarkan oleh kantor ini. Akan lebih baik lagi jika didampingi salah satu staf disana sehingga benar-benar bisa mengeksplorasi tempat yang kita kunjungi.
Selama satu jam, kita akan dibawa menyusuri sungai Batanghari dengan menggunakan speed. Banyak pemandangan yang bisa dilihat seperti perkampungan penduduk di pinggir sungai (rumah panggung, rumah rakit), lalu lalang perahu dan jika ingin berziarah, pengunjung bisa singgah di makam Rangkayo Hitam yang konon katanya merupakan tokoh terkenal di masa lalu.  Perjalanan menyusuri Air Hitam Dalam dimulai dari kantor seksi BKSDA di sana yang terletak di desa Sungai Rambut, kecamatan Rantau Rasau.  Sebuah pintu gerbang dari kayu menjadi penyambut bagi siapa saja yang berniat menjelajahi wilayah ini.  Jajaran bakau di kiri kanan sungai menjadi pemandangan awal petualangan ini.
Menjelajahi Air Hitam Dalam bisa dilakukan dengan menggunakan speed bila air tidak surut dengan waktu tempuh satu jam. Namun bila air surut, kita harus berganti menggunakan ketek (sampan kecil) untuk menyusuri sungai Air Hitam Dalam selama 2 jam.  Hmm menyenangkan rasanya menyusuri sungai dibawah rindangnya pepohonan di kiri kanan sungai, begitu segar di mata. Benar-benar memasuki kawasan hutan namun kali ini tidak menjejakkan kaki di tanah melainkan duduk manis di speed atau sampan.
Sesuai dengan namanya, air di sungai Air Hitam Dalam berwarna hitam.  Warnanya yang terlalu hitam justru menjadikan sungai ini seperti cermin besar.  Apalagi  air sungai yang tenang menjadikan bayangan pepohonan disekitar sungai  seakan tergambar jelas dipermukaan air. Warna hitam sungai ini katanya disebabkan karena dasar sungai yang berupa tanah gambut.
Menyusuri Air Hitam Dalam benar-benar menyenangkan. Begitu tenang dan menghanyutkan karena yang ada hanyalah kita dan segala mahluk hidup disana. Namun jangan sampai terlena. Kata staf dari dari BKSDA, jangan sampai pengunjung memasukkan anggota tubuh ke dalam air apalagi sampai berenang! Menurut mereka, sungai ini banyak dihuni buaya.  Maklumlah sungai berair tenang memang menjadi tempat tinggal yang nyaman untuk buaya.
Di sungai ini kita juga bisa dengan mudah menjumpai tumbuhan rasau (sejenis pandan berduri). Kalau beruntung kita juga bisa melihat anggrek-anggrek liar  yang berbunga di batang-batang pohon. Meski mengasyikan namun perjalanan terkadang terganggu dengan keberadaan enceng gondok, sampah semak dan potongan-potongan kayu yang rebah karena angin. Sebenarnya bisa saja semua itu dibersihkan namun itu berarti akan membuka peluang bagi bagi para pebalok (pencuri kayu) berkeliaran disana. Semakin mudah akses menuju taman ini semakin tinggi pula potensi pencurian kayu. Buktinya waktu kesana, kami sempat bertemu dengan orang-orang yang sedang mengangkut kayu curian dengan sampan. 
Oh ya..sebelum menyusuri Air Hitam Dalam, kita juga bisa mengunjungi taman anggrek yang dikelola oleh balai taman nasional disana.  Berbagai macam anggrek dikembangbiakkan. Sayangnya kami kurang beruntung karena saat kami datang anggrek sedang tidak berbunga. Anggrek-anggrek tersebut diambil dari dalam taman nasional. Jadi bila tak bisa menemukan anggrek liar di hutan, tak usah khawatir, kita bisa melihatnya di taman anggrek ini. Mari berwisata ke TN Berbak dan merasakan sensasi petualangan di atas air!!
    

mengarungi laut,... dari pulau ke pulau

Iyus kecil (10 tahun) mendayung sampan sendiri kala keluarganya berkelana dari pulau ke pulau untuk mencari ikan. Sebagai anggota suku Laut ia tidak hanya sigap mendayung sampan, namun mulai belajar menjadi lelaki yang bisa diandalkan. Bagi Iyus, laut merupakan sekolah tanpa batas. Disanalah ia belajar bagaimana menjadi lelaki laut yang sejati. Ia belajar mengenal tanda-tanda alam, mengenal laut tempatnya hidup dan mencari penghidupan kelak ketika ia dewasa. Alamlah yang akan mengantarkannya menjadi lelaki laut yang tangguh seperti nenek moyangnya. Suatu hari nanti ialah yang akan memimpin kelompoknya mengarungi lautan kehidupan di laut sana.

Wednesday, December 7, 2011

Putussibau

April 2009

Tak banyak orang yang tahu, di Indonesia terdapat sebuah kota kecil bernama Putussibau. Letaknya memang nun jauh di pedalaman Kalimantan Barat. Berbatasan dengan Malaysia. Jika ingin ke Malaysia katanya bisa ditempuh dengan naik motor menuju perbatasan dalam waktu beberapa jam saja. Batas waktu kunjungan hanya satu hari. Artinya pengunjung hanya bisa pergi pulang dalam satu hari. Sebagai jaminan, cukup meninggalkan identitas diri di kantor perbatasan tanpa perlu paspor ataupun visa.

Untuk menuju Putussibau dari Pontianak, bisa menggunakan bus dengan waktu tempuh selama 18 jam atau menggunakan pesawat terbang. Tiket pesawat berkisar Rp 700.000 - Rp 800.000 dengan waktu tempuh relatif singkat tentunya. Jalur udara ini hanya melayani penerbangan 3 kali seminggu. Kemudahan akses transportasi di masa kini jauh berbeda dengan jaman dahulu. Konon katanya, dahulu ketika akses jalan darat belum terbuka, untuk bepergian warga di sana mengandalkan transportasi sungai. Jejak masa lalu saat sungai masih menjadi primadona transportasi masih bisa ditemukan meski kini yang tersisa hanyalah kapal pengangkut barang kebutuhan.

Perjalanan menuju ke Putussibau dilakukan melalui rute Pontianak-Sintang-Putussibau karena sebenarnya ada keinginan untuk singgah sejenak di Danau Sentarum. Namun karena rute perjalanan memutar, maka agenda ke Danau Sentarum kami tinggalkan dan hanya sesaat singgah di Sintang. Setelah singgah sejenak di Sintang, perjalanan dilanjutkan kembali menuju ke Putussibau. Untuk menuju kota kabupaten Kapuas Hulu ini, diperlukan waktu selama 8 jam dengan menggunakan transportasi umum. Di terminal Sintang (dekat dengan pasar), bisa dengan mudah ditemukan agen-agen bus. Setiap harinya masing-masing agen bus hanya melayani satu kali perjalanan. Trayek ini cukup diminati sehingga tidak heran jika bus selalu dipenuhi penumpang. Jangan mengharapkan bisa mendapatkan bus ber AC karena bus yang menuju Putussibau hanya dilayani dengan bus kelas ekonomi. Bagi para perempuan yang travelling sendirian, mungkin harus sedikit berhati-hati karena perjalanan cukup jauh dan kebanyakan penumpang adalah laki-laki. Berpakaian sopan (tertutup) sangat dianjurkan dan harus tetap waspada karena perempuan akan menjadi sasaran empuk para lelaki hidung belang di dalam bus.

bus ekonomi Sintang- Putussibau
Perjalanan menuju Putussibau penuh dengan perjuangan karena penumpang berbaur dengan barang-barang mulai dari keranjang, karung dan yang lebih parah adalah semen. Waktu itu, tumpukan puluhan semen tersebar diseluruh bus. Ada yang diletakkan di sepanjang selasar bus dan juga di bawah kursi penumpang. Alhasil debu semen tersebar kemana-mana. Menempel di celana, baju hingga muka. Belum lagi ditambah dengan debu jalanan yang masuk melalui jendela, asap rokok (waktu itu mayoritas penumpang adalah perokok) dan penumpang yang berjejal. Lengkap sudah penderitaan selama 8 jam. Turun dari bus, tubuh rasanya terasa kotor sekali. Baju dan celana memutih karena tertempel debu semen.

Selama di perjalanan, rasa khawatir juga sempat datang. Di beberapa titik, bus harus melewati jembatan kayu yang kondisinya sudah sangat mengkhawatirkan. Terperosok sedikit saja bus bisa masuk ke sungai kecil yang dalam. Kondisi jalanan sempit, berlubang dan mungkin saja faktor human error tak jarang menyebabkan terjadinya kecelakaan. Rupanya sehari sebelumnya ternyata ada bus terperosok ke jurang. Entah bagaimana nasib para penumpangnya karena lokasi kecelakaan di tengah semak belukar dan jalanan relatif sepi. Bisa jadi pertolongan baru datang ketika ada kendaraan lain yang lewat atau harus menunggu bantuan dari tempat lain setelah dikontak melalui handphone. Untung saja, meski berada di tengah hutan namun sinyal handphone cukup lancar.

Salah satu yang cukup menghibur adalah keberadaan gunung kelam. Sesuai namanya, gunung ini berwarna kelam dan menjulang tinggi ditengah rimbunnya pepohonan. Berdiri gagah sehingga mata seakan selalu tertuju kesana. Selain Gunung Kelam, tidak ada lagi pemandangan yang cukup menarik mata.

Putussibau : Kota Perbatasan
sudut kota
Putussibau sendiri merupakan kota kecil yang relatif sepi. Jalan utama tidak begitu ramai. Lapang rasanya ketika menyusuri jalan di sana. Transportasi dalam kota hanya dilayani ojek dan angkutan yang tidak jelas rutenya. Jalur yang dilewati bisa menyesuaikan dengan kebutuhan penumpang. Sebagai pusat kota kabupaten, Putussibau dilengkapi dengan fasilitas publik yang cukup lengkap. Gedung perkantoran, lapangan terbang, warung internet (meski cuma ada satu), dan juga bank (ada dua buah bank yang beroperasi yaitu BRI dengan 2 mesin ATM dan bank Kalbar dengan 1 mesin ATM bersama). Berbeda dengan jam operasional bank yang biasanya buka dari jam 08.00 hingga jam 16.00 maka di sana bank buka sejak pukul 07.00 hingga pukul 14.00. selain bank, fasilitas yang cukup dominan disana adalah penginapan. Ada penginapan yang cukup baik dan nyaman (dengan harga yang "cukup baik juga" tentunya) yaitu Hotel Sanjaya dan penginapan Permata Bunda yang merupakan penginapan biasa.

Pusat kota Putussibau terletak di jalan Yos Sudarso. Di sepanjang jalan itulah kedua penginapan tersebut berada. Di jalan tersebut juga ada tempat yang disebut kafe. Cukup sederhana sebenarnya. Kafe berada di halaman rumah dengan jajaran meja kursi sederhana. Menu yang ditawarkan juga biasa saja. Es milo, es kacang hijau (yang lain dari yang lain), makanan ringan dan ada juga makanan berat. Yang lebih penting, fungsi kafe adalah sebagai tempat untuk nongkrong. Untuk makan berat, tidak perlu khawatir karena warung masakan padang, warung masakan jawa, masakan oriental hingga mie ayam dan bakso semua tersedia di sana. Selain di pusat kota, pasar juga menyediakan kuliner beragam. Yang paling menarik adalah ikan asap. Melihat bentuknya saja rasanya sudah menggiurkan.

Jika menginginkan cinderamata khas Dayak, ada sebuah toko yang menyediakannya. Namun tidak banyak orang yang tahu keberadaan toko ini karena letaknya agak sulit dicari. Di tempat ini kita bisa mendapatkan manik-manik khas dayak, kain tenunan hingga replika senjata dengan harga lumayan terjangkau.

Bila ingin lebih jauh mengenal kehidupan masyarakat Dayak dengan rumah panjangnya, tak perlu jauh-jauh, kita bisa melihatnya dipinggiran kota melalui jalan darat atau sungai. Contohnya rumah Betang Melapi 1 dan 2. Letaknya tepat di pinggir sungai Kapuas sehingga bisa diakses melalui kedua jalur transportasi.

banjir
Ketika berkunjung ke sana, musim hujan masih saja datang meski telah masuk bulan April. Banjir yang sempat melanda kota sempat kami rasakan. Ada yang mengatakan hal ini disebabkan karena letak kota ini lebih rendah dari hulu sehingga sering terendam banjir. Ada juga yang mengatakan kondisi di hutan di hulu sudah rusak sehingga berimbas pada banjir di hilir. Bisa juga karena banyak daerah rawa di kota ini sehingga banjir sering melanda. Cukup parah sebenarnya karena di tempat yang lebih rendah, genangan air bisa setinggi satu meter. Oleh karena itu rumah-rumah dibangun dengan model rumah panggung sehingga cukup aman tatkala banjir melanda. Kapuas dengan sungainya yang lebar telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Putussibau. Ia telah memberi banyak. Ikan-ikan besar, sebagai jalur transportasi, pemasok kebutuhan air dan juga memberikan limpahan air hingga ke darat (baca - banjir). Begitu banyak yang telah diberikan oleh Kapuas hingga masyarakat disana telah berkawan akrab dengannya. Meski banjir mengganggu aktivitas, namun kehidupan kota kecil di Putussibau terus berjalan. Berjalan dalam ritmenya sendiri.

Pulau Senayang


Akhir Oktober 2010

Pulau Senayang memang tak sepopuler pulau lain di kepulauan Riau. Akses kesana hanya bisa ditempuh dengan speed  boat dari pelabuhan Sri Bintang Pura, Tanjung Pinang.  Berbeda dengan rute lain – misalnya pelayaran Batam  ke Tanjung Pinang dan sebaliknya yang hampir setiap jam ada --  pelayaran yang menuju pulau ini hanya dilakukan sehari sekali. Tak heran bila penumpang selalu berjejal memenuhi speedboat berebut tempat dengan barang-barang. Selama perjalanan, penumpang datang dan pergi seakan tidak ada habisanya.  Di setiap dermaga yang dilewati, speed akan  berhenti untuk menaikkan atau menurunkan penumpang. Dermaga Pulau Bukit, Rejai, Tajur Biru, akan disinggahi sebelum sampai di Pulau Senayang. Meski dermaga sederhana namun dermaga-dermaga ini selalu saja dipenuhi penumpang. Maklumlah sebagai wilayah kepulauan, transportasi laut menjadi andalan penduduk di sana. Waktu tempuh selama 3 jam menjadi hal biasa bagi mereka yang sudah terbiasa mengandalkan transportasi ini. Tapi bagi yang belum pernah atau tidak biasa akan menjadi perjalanan yang menyiksa. Speed yang penuh sesak, hempasan gelombang menjadi bumbu perjalanan. bila tak kuat, perut bisa mual. Hiburan yang disuguhkan tidak akan sanggup meringankan perjalanan. Speed ini memang menyuguhkan hiburan berupa pemutaran film. Biasanya film yang diputar adalah film Malaysia jaman dahulu. Sebenarnya film nya cukup lucu dan menghibur karena memang film bergenre komedi. Namun kalau tidak begitu memahami bahasa melayu, penumpang harus menebak jalan ceritanya karena ada kosa kata yang sulit dipahami.

Jika melihat peta, pulau Senayang tak begitu menonjol karena merupakan pulau kecil. Pulau ini terletak di dekat Pulau Sebangka yang merupakan salah satu pulau terbesar di kepulauan Riau. Oleh karena itu, pulau ini cukup terlindung dari hempasan angin laut. Meski merupakan pulau kecil namun di kalangan warga setempat, pulau ini menduduki posisi administrasi yang cukup penting. Tidak heran bila fasilitas umum cukup lengkap di pulau ini. 

Di pulau yang hanya sepanjang 14 kilometer ini, terdapat sekolah (SD-SMP-SMU), kantor pos, kantor kelurahan, kantor kecamatan, warung makan, penginapan, polsek, dua buah menara telekomunikasi, puskesmas rawat inap (dengan 2 orang dokter) dan juga pos TNI AL. Tak hanya itu, sebagai ibukota kecamatan, pulau senayang juga dilengkapi dengan fasiltias ibadah seperti gerreja, masjid dan juga klenteng. Semua fasilitas ini melengkapi kebutuhan beragam etnis yang tinggal di sana. Warga  Melayu, Bugis Makasar,  Jawa Madura, Tionghoa bahkan suku Laut, saling berbagi ruang. Sangat indah melihat keberagaman. Seperti melihat miniatur Indonesia. 

Pernikahan campuran menjadi hal yang jamak terjadi. Suku Laut menikah dengan orang Jawa, orang Melayu menikah dengan orang Tionghoa dll. Di kala sore, lapangan menjadi ajang interaksi yang menyenangkan. Sepak bola, bola voli, bersepeda menjadi olahraga sekaligus hiburan tersendiri. Pangkat, jabatan, usia tak manjadi halangan untuk menjemput datangnya malam  bersama-sama. 

Bukan hanya potret keberagaman yang disuguhkan, keindahan alam menjadi catatan tersendiri di pulau ini. Sebagai sebuah pulau yang dikelilingi laut, pulau Senayang bisa dikatakan cukup cantik. Bila di satu sisi pulau disesaki rumah penduduk, maka di sisi lain, terdapat pantai berpasir bersih. Tempat inilah yang menjadi obyek rekreasi bagi warga di sana. Tatkala surya mulai tenggelam, itulah saat yang paling indah dan ramai dikunjungi orang. Pohon-pohon rindang di sepanjang garis pantai terasa begitu meneduhkan bagi siapa saja yang ingin menghabiskan waktu menikmati alam. Di bawah pohon terdapat beberapa meja dan kursi serta beberapa warung kecil  yang dibangun tak beraturan dan terkesan asal-asalan, menyediakan kebutuhan makanan atau minuman bagi mereka yang ingin berekreasi. 

Pulau Senayang memperlihatkan sebuah potret. Sebuah potret tentang keberagaman agama, etnis, budaya yang berjalan bersama dengan kedamaian. Itulah Indonesia yang sebenarnya!!!





Thursday, December 1, 2011

Dapur Arang dan Suku Laut

tumpukan arang yang tak jadi diekspor di salah satu dapur arang
Dapur arang merupakan tempat dimana kayu bakau diolah menjadi arang dan diekspor ke megara tetangga (biasanya ke Singapura). Sebagai bahan baku utama pembuatan arang, kayu bakau terus menerus diambil agar produksi terus berjalan. Semakin tinggi produksi itu berarti semakin tinggi pula ancaman terhadap ekosistem bakau. Oleh karena itu tahun 2006/2007 dapur arang mulai ditutup oleh pemerintah. Penutupan ini tak ayal membuat Suku Laut kehilangan sumber mata pencahariannya. Pasalnya, bekerja di dapur arang adalah satu-satunya pekerjaan di sector public yang bisa dimasuki oleh Suku Laut. Di penghujung tahun 2008, masih ada dapur arang yang tetap beroperasi meskipun harus bermain  kucing-kucingan dengan aparat keamanan. Namun hal ini tidak ada artinya bagi Suku Laut. Mereka telah kehilangan sumber penghasilan selain sebagai nelayan.
Tidak semua Suku Laut bekerja di dapur arang karena bekerja di tempat ini tidaklah mudah. Perlu tenaga kuat untuk memilah, menebang dan mengukur besaran kayu bakau yang digunakan. Belum lagi mereka harus berkutat dengan akar-akar bakau. Perjuangan yang tidak imbang dengan penghasilan mereka. Mereka sering mengatakan bekerja di dapur arang ibarat “makan darah” yang berarti bekerja namun tak menghasilkan apapun. Biasanya upah kerja dibayarkan setelah pekerjaan selesai. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, para pekerja diijinkan untuk mengambil barang belanjaan ditempatnya bekerja misalnya mengambil beras, minyak, gula dll. Nantinya barang-barang tersebut akan dibayar dengan cara memotong upah kerja mereka. Tak jarang mereka tak memperoleh apapun karena habis dipotong untuk kebutuhan belanja. Bahkan meninggalkan hutang yang harus mereka bayar. Jika hutang belum terbayar akan sulit bagi mereka untuk pergi dari dapur arang tersebut. Itulah sebabnya mereka mengibaratkan kerja di dapur arang seperti “makan darah”.
Upah bekerja di dapur arang memang tidak banyak. Satu sampan yang berisi kayu bakau penuh akan dihargai Rp 35.000 – Rp 45.000. Dalam waktu satu hari mereka bisa mengumpulkan 2-3 sampan (sampan berukuran 20 kaki) penuh kayu bakau. Biasanya mereka harus mencari 10-20 sampan sekali kerja. Setelah memenuhi jumlah yang dibutuhkan, barulah mereka memperoleh upah. Bisa juga mereka memperoleh upah harian. Besaran upah yang diterima tergantung dari banyak tidaknya kayu bakau yang dikumpulkan dalam waktu sehari. Cara ini jarang digunakan karena Suku laut lebih senang menggunakan pembayaran setelah semua pekerjaan selesai.
Walaupun penghasilan tak banyak, bekerja di dapur arang terbukti mampu membantu kehidupan Suku Laut terutama saat musim angin besar datang. Maklumlah sebagai nelayan tradisional, Suku Laut sangat mengandalkan kemurahan alam. Suku Laut hanya mengandalkan kemampuan mereka menangkap ikan dengan menggunakan serampang (semacam tombak terbuat dari bamboo dengan mata tombak terbuat dari besi bermata tiga mirip garpu). Dengan alat sederhana seperti itu mereka hanya bisa menangkap ikan kala laut teduh (tidak banyak angin) di waktu petang hingga dinihari tiba.  Mereka tidak memiliki alat-alat besar (misalnya sampan besar bermesin, kelong dll) atau melakukan budidaya ikan sehingga kala musim angin datang tak banyak yang bisa dilakukan kecuali “kerja darat” atau bekerja di dapur arang.  
Penutupan dapur arang membuat Suku Laut kehilangan sumber penghasilan kala musim angin besar datang. Oleh karena itu beragam cara ditempuh agar mereka tetap memperoleh penghasilan seperti berkayu (menebang kayu di hutan dan menjualnya), membuat kajang (untuk menjemur ikan ataupun sebagai atap) hingga berkelana ke pulau-pulau lain agar bisa terus menangkap ikan. Penutupan dapur arang adalah sebuah dilemma. Di satu sisi penutupan dapur arang akan menyelamatkan ekosistem bakau namun di sisi lain para pekerja dari suku laut harus kehilangan salah satu sumber penghasilan.  Kini mereka hanya bisa mengandalkan “kerja laut” . Uang sebesar Rp 20.000 – Rp 50.000 harus cukup untuk memenuhi kebutuhan karena hanya itulah hasil yang bisa mereka peroleh dari melaut setiap harinya.  Tidak banyak yang bisa diharapkan. Hidup  hanya untuk hari ini karena esok adalah urusan esok.

Thursday, November 3, 2011

Manusia Kadang-Kadang

Mendengarkan suara penyiar di radio membuatku berpikir. Kali ini tentang manusia kadang-kadang….bukan kadang-kadang manusia lho….beda nih…Kalau kadang-kadang manusia berarti bisa jadi dia tidak selamanya manusia (emangnya ada ya…manusia yang kadang-kadang menjadi monyet hahahaha?!@$%&) …tapi kalo manusia kadang-kadang ya manusia tulen tentunya……tapi dengan sikap yang tidak jelas karena sikap yang diambil sesuai kebutuhan.
            Menjadi manusia kadang-kadang merupakan pilihan yang aman bagi sebagian orang. Mengapa?karena menjadi manusia kadang-kadang berarti tidak berpihak pada satu pilihan. Ia berada di tengah-tengah. Tidak hitam dan juga tidak putih. Ia berada di grey area. Kadang-kadang menepati janji…tapi kadang-kadang mengingkarinya…kadang-kadang bener, kadang-kadang salah, kadang-kadang konsisten tapi kadang-kadang juga tidak…semua tergantung kebutuhan. Kalau dibutuhkan untuk konsisten ya konsisten tapi kalau situasi mendorong kita untuk tidak bersikap konsisten ya ga perlu konsisten……Kita terkadang tidak menyadari bahwa kita sering berada di wilayah ini. Manusiawi sih…dan tidak ada yang salah dengan menjadi manusia kadang-kadang asalkan tidak melewati batas. Masalahnya batas kadang-kadang tiap orang berbeda karena setiap tindakan selalu diikuti oleh alasan, kondisi tertentu  dan bahkan pembenaran..iya gak sih????mau jadi manusia kadang-kadang atau tidak semuanya tergantung kita sebagai aktornya bukankah begitu?
              

Thursday, September 29, 2011

Daek : Kota Kecil dengan Sejuta Pesona

Gunung Daek
Jika membuka peta Kepulauan Riau, kita akan temukan sebuah pulau bernama Lingga. Pulau Lingga tak begitu besar namun jangan pernah bertanya tentang keindahan alam dan peninggalan sejarah yang tersebar di pulau ini. Mengunjungi pulau Lingga, kita akan dibuai dengan romansa masa lalu yang terbingkai dalam cerita dan legenda yang terus hidup hingga kini. 

Sebagai bagian dari perjalanan dari pulau ke pulau di Kepulauan Riau, perjalanan menuju Pulau Lingga dimulai dari pulau tetangga yaitu pulau Singkep. Dari Pelabuhan Jagoh di Pulau Singkep, sebuah speedboat siap mengantarkan para penumpang menuju Daek, sebuah kota kecil di pulau Lingga. Cukup ± 45 menit menyusuri laut dengan pemandangan luar biasa. Di antara deretan pegunungan yang hijau terlihat puncak gunung Daek. Puncaknya yang seakan terbelah menjadikannya mudah dikenali diantara jajaran pegunungan di sana. 

Dari pelabuhan kecil di Daek, perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan ojek (±20 menit) menuju pusat kota Daek. Meski kota kecil, namun ada beberapa fasilitas umum yang tersedia seperti penginapan yang terletak cukup strategis di tengah area pasar serta bank BRI. Rumah makan juga tersedia disana. Jika ingin menyusuri kota ini, cukup dengan menggunakan jasa ojek.

Daek merupakan ibukota kabupaten Lingga yang
Replika Istana Damnah
dibentuk pada tanggal 18 Desember 2003 sebagai hasil pemekaran wilayah di Kepulauan Riau. Luas wilayahnya 889 km². Di tahun 2009, geliat pembangunan fasiltias umum tampak jelas disana. Kota kecil yang cukup menyenangkan. Di tengah pasar kita bisa melihat dengan jelas puncak gunung Daek yang merupakan icon kota ini. Yang menarik, kota ini menjadi tempat persinggahan bagi suku Laut ketika musim angin utara tiba. Bagi suku Laut, musim angin utara adalah musim paceklik pangan karena ombak yang besar tidak memungkinkan mereka melaut. Sebagai nelayan kecil, mereka masih menggunakan peralatan sederhana dan sampan dayung sehingga tatkala ombak kuat, mereka kesulitan memperoleh tangkapan. Oleh karena itu ketika musim utara, suku Laut akan pergi ke pulau-pulau yang terlindung dari angin utara. Salah satunya adalah pergi ke Daek. Di sana mereka  sering mendapatkan bantuan pangan dari pemerintah setempat.  Sebenarnya yang penting bagi suku Laut, pergi ke Daek seperti pulang ke tanah leluhur.  Konon menurut cerita, Daek merupakan tempat asal mula nenek moyang suku Laut.  Jika ingin mengunjungi suku Laut yang sudah tinggal menetap, kita bisa mengunjungi daerah Kelumu, disanalah mereka tinggal.  

Terlepas dari banyaknya cerita mitos, legenda, sejarah yang ada, Daek menyimpan peninggalan budaya. Yang pertama ada situs sejarah peninggalan Istana Damnah. Meski yang tersisa hanyalah pondasi istana namun kebesaran kesultanan di masa itu bisa kita lihat karena tepat di samping bekas istana ini, terdapat replica Istana Damnah. Konon katanya replica ini dibuat semirip mungkin dengan bentuk istana jaman dahulu sehingga kita akan terbantu ketika membayangkan kehidupan kesultanan di masa lampau. Dengan latar belakang hutan dan pegunungan yang menghijau, replica istana ini tampak membaur dengan suasana sekitar karena dindingnya didominasi warna hijau dan kuning. latar belakang pegunungan menambah daya tarik istana ini. Masih di area yang sama, terdapat bekas pemandian keluarga kesultanan.  Sungai yang jernih dikelilingi pepohonan, menjadi tempat wisata yang menarik bagi siapa saja yang senang bermain air. Sementara bagi yang tidak ingin berbasah-basah ria , bisa duduk manis di tempat duduk yang disediakan dan menikmati segarnya udara di sana. 

Jika ingin melihat barang-barang peninggalan kesultanan Lingga – Riau, museum Lingga Cahaya tempatnya. Museum ini tak jauh dari Istana Damnah. Bangunanya yang kecil terlihat penuh sesak dipenuhi barang-barang berharga. Mulai dari guci keramik, tempat makan dari kuningan, gong, baju, sampai fosil ikan gajah Mina. Semua lengkap di sana. Hanya saja benda-benda yang dipamerkan tidak diletakkan di tempat yang memadai. Kebanyakan benda-benda tersebut hanya diletakkan di meja sehingga riskan rusak baik oleh debu – jalan di depan musem masih berupa jalan tanah --, tersenggol pengunjung atau dijamah tangan-tangan jahil.
Satu lagi tempat yang menarik dikunjungi yaitu Gunung Daek. Meski direkomendasikan oleh penduduk dan tukang ojek, sayangnya keterbatasan waktu membuat kami tak sempat mengunjungi icon kota Daek ini.  Konon ceritanya puncak gunung Daek dahulu terbelah menjadi tiga bagian namun salah satunya patah dan kini tinggal dua bagian. Cerita dibalik keberadaan gunung inilah yang sebenarnya menarik karena bagi penduduk disana gunung Daek menyimpan sisi mistis. 

Perjalanan selanjutnya, masih di wilayah Lingga, kita bisa mengunjungi Pancur. Pancur merupakan kota kecamatan Lingga Utara. Untuk menuju tempat ini, dari Daek, kita harus menggunakan ojek menuju ke sungai Resun dan dilanjutkan dengan menggunakan speed menyusuri perairan di sana. Perjalanan dengan speed tak memakan waktu lama namun kita harus siap-siap terkena cipratan air. Maklumlah speed berukuran kecil hingga jarak antara tempat duduk dan permukaan air sangatlah dekat hingga tangan bisa dengan mudah menyentuh air. 

Pancur merupakan kota kecamatan yang cukup ramai. Letaknya tepat di pinggir pulau sehingga mayoritas bangunan dibangun di atas air. Mulai dari rumah penduduk, pasar hingga penginapan  semua dibangun di atas air. Jauh dari darat bukan berarti kehidupan menjadi membosankan.  Aktivitas perdagangan tampak begitu hidup di sana. Pancur memang pusat perdagangan untuk pulau-pulau disekitarnya. Selain melihat aktivitas perdagangan di pasar, kita juga bisa berjalan menyusuri pelantar (jalan yang dibangun di atas air terbuat dari kayu). Atau bisa juga nongkrong di atas atap hotel Winner yang tinggi menjulang di antara bangunan lainnya (tahun 2009 jika menginap cukup merogoh kantong Rp 150.000 untuk kamar yang cukup luas dan nyaman dengan bonus pemandangan keren). Tepat diseberang hotel ini terbentang jajaran pegunungan nan menghijau. Meski kabut terkadang menyelimutinya, namun dijamin mata tak akan lelah memandang. Apalagi di kala senja, pemandangan akan lebih indah. Lembayung senja tampak menawan, perlahan mengantar matahari kembali ke peraduan. Halaman hotel Winner juga sering dijadikan arena nongkrong anak muda kala sore menjelang hingga malam tiba. Untuk menemani menikmati desiran angin laut, minuman dan makanan siap tersaji dari hotel. Tak terlalu ramai memang. Tapi bagi yang suka dengan ketenangan, tempat ini layak dikunjungi. 

Sebagai tempat persinggahan, Pancur memperlihatkan keberagaman. Etnis Melayu, Tionghoa dan Suku Laut berbaur menjadi satu merangkai kehidupan di sana yang penuh keberagaman mata pencaharian, budaya dsb. Jangan lupa kalau ingin meninggalkan Pancur dengan menggunakan speedboat, bangunlah pagi-pagi karena hanya ada satu kali pelayaran menuju Tanjung Pinang jam 07.00 tepat.  



Thursday, May 26, 2011

Anak-anak Talang Mamak

Mencari umbi di ladang nenek. Sihodi (bersama adik dan sepupunya -tidak terlihat) harus bersampan  mengambil makanan di rumah neneknya di hilir Sungai Gansal. Sebagai anak sulung dari  empat bersaudara, Sihodi memegang peranan penting dalam ekonomi keluarga. Setiap hari ia mencari ikan di sungai dengan kaca mata selam buatannya sendiri, mencari kayu bakar, mengasuh adik-adiknya sambil bermain, dan membantu ayahnya di ladang. Terkadang bangku sekolah ditingalkannya demi membantu orang tuanya. Dunia Sihodi adalah dunia bermain dan bekerja. Ia pun belajar menjadi lelaki yang sebenarnya.....Alam telah menjadi guru terbaik baginya.......

Wednesday, May 25, 2011

Eksotisme Tubu

Tubu adalah sebuah nama sungai di pedalaman Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur. Untuk menuju kesana bisa diakses dengan menggunakan perahu menyusuri sungai Tubu. Sungai ini dikenal luas oleh masyarakat di sana sebagai sungai dengan giram terganas.  Entah berapa banyak korban yang telah jatuh akibat derasnya air dan bebatuan di sana.

Desa Long Pada, hulu Sungai Tubu (foto CLI)
Sungai Tubu menyimpan misteri dalam keheningannya. Aliran airnya yang deras membuat pusaran arus yang begitu kuat ketika terhalang oleh bebatuan besar. Di tempat itulah korban-korban berjatuhan. Ada yang ditemukan ada pula yang hilang terbawa arus  atau terjebak di antara bebatuan di bawah air. Itu kata mereka di sana. Sebuah makam di pinggir sungai menyimpan jasad beberapa korban keganasan sungai ini. Sebulan setelah kepulanganku dari Tubu, 3 orang meninggal dunia karena perahu karam akibat salah jalur.  Berita ini membuka ingatan tentang perjalananku kala itu. Aku nyaris menjadi korban. Thank’s God. Aku masih hidup. Perahuku nyaris karam karena hal yang sama yaitu salah jalur. Meleset sedikit saja dari jalur aman, nyawa menjadi taruhan. Dibutuhkan ketajaman mata untuk melihat letak batu-batu dan juga pusaran air. 

Sungai Tubu
 Sungai Tubu merupakan potret perjuangan mereka yang hidup di pedalaman sana. Sebagai satu-satunya akses transportasi, mereka telah berusaha menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada.  Dengan ketinting bermesin 12 PK, mereka menjangkau dunia luar, menikmati kehidupan kota meski hanya sesaat.  Jika arus air bersahabat dibutuhkan waktu 7-8 jam menuju hilir dengan biaya sekitar 2,5 juta rupiah. Sebaliknya perjalanan pulang membutuhkan waktu lebih lama yaitu dua hari dengan bermalam di tengah jalan. Biaya yang dibutuhkan pun berlipat ganda bisa berkisar 4 – 8 juta sekali jalan menuju hulu Tubu. Mahal memang resiko yang harus ditanggung untuk pilihan hidup di pedalaman sana.

Tak jarang akses yang sulit ini menjadikan warga di sana ada yang belum pernah melihat kota Malinau. Kota kabupaten masih menjadi angan-angan bahkan impian anak-anak di sana untuk berkunjung. Dan buatku hidup bersama suku Dayak Punan di hulu Tubu hampir selama dua minggu mengingatkanku pada banyak hal. Tentang perjuangan hidup, tentang sebuah impian, kebersahajaan, kedamaian, keindahan dan kesederhanaan hidup....Hidup menjadi penuh makna ketika kita bisa memaknainya…………

Monday, May 16, 2011

Kala pagi dan senja di sana


Ketika semburat jingga datang di penghujung hari, ia berjanji untuk datang lagi di awal hari.....

senja di Mahakam,
senja di Pancur
senja di P Kentar
berlayar kala pagi


hening pagi di Tajur Biru
pulang kala pagi datang













kala pagi datang, langkah kaki kembali terayun....senja telah datang menjemput pagi.........

foto : Retnaningdyah W dan Septi Dhanik P (data CLI)


Suku Talang Mamak : Sekilas kehidupan suku Talang Mamak di Datai

Sekilas Kehidupan Masyarakat Talang Mamak di Dusun Datai

Melihat kehidupan masyarakat Talang Mamak di Datai sangatlah menarik. Umumnya, masyarakat tradisional (baca suku pedalaman) selalu diidentikkan dengan kehidupan yang masih sangat sederhana. Mulai dari pakaian hingga barang-barang yang digunakan. Namun kesan ini akan terhapuskan begitu kita mengenal lebih dekat kehidupan suku Talang Mamak yang hidup di kawasan Taman Nasional Bukit 30, Riau.
satu sisi kampung Datai
Suku Talang Mamak sangatlah berbeda dengan kehidupan Suku Anak Dalam/Orang Rimba yag tinggal di pedalaman Jambi (terutama di kawasan taman nasional Bukit 12). Bila dilihat secara sekilas, ada sedikit kesamaan di antara dua komunitas suku ini. Pertama mereka sama-sama hidup dari kemurahan alam yaitu memanfaatkan potensi alam yang ada di sekitar mereka dan hidup di dalam kawasan taman nasional. Bahkan ada beberapa rombong orang rimba yang hidup berdekatan dengan suku Talang Mamak.
Kehidupan Suku Talang Mamak sudah lebih modern jika dibandingkan dengan tetangga mereka (baca – Orang Rimba). Jangan dibayangkan mereka tinggal di dalam hutan tropis dengan pohon-pohon yang masih lebat. Tempat tinggal orang Talang Mamak di dusun Datai justru seperti dusun/kampung pada umumnya dengan struktur pemerintahan yang mengikuti aturan negara (struktur pemerintahan secara adat hanya sedikit yang diterapkan). Rumah-rumah dibangun di dalam satu kawasan (bergerombol). Sebenarnya keberadaan dusun ini tidak terlepas dari adanya campur tangan pemerintah jaman dulu (era tahun 60 an) untuk memukimkan mereka di satu kawasan agar tidak hidup berpindah-pindah. Selain itu campur tangan misionaris juga ikut berperan dalam pembentukan dusun.

Bisa dikatakan keinginan untuk memukimkan masyarakat Datai tidak begitu berhasil. Mereka tetap hidup berpindah-pindah dari satu ladang ke ladang yang lain. Meski memiliki rumah di dusun, namun aktivitas harian warga lebih banyak dihabiskan di ladang. Oleh karena itu rumah ladang menjadi piihan bagi banyak orang. Meskipun terkadang harus hidup sendiri tanpa ada tetangga, mereka terlihat menikmati kondisi tersebut. Ketidakmauan hidup dalam satu ikatan kewilayahan bisa dipahami mengingat sejak jaman nenek moyang mereka telah memiliki cara hidup yang berpindah mengikuti pembukaan ladang. Tidak heran jika kemudian program “memukimkan” masyarakat yang hidupnya berpindah-pindah lebih banyak menemui kegagalan daripada keberhasilan.
Dalam konteks Datai, program “memukimkan” mereka di suatu wilayah dusun bisa dikatakan mulai berhasil puluhan tahun kemudian. Di era 90 an hingga kini (pertengahan 2008) – kira-kira 10 atau 15 tahun yang lalu – Dusun Datai mulai ramai dihuni warganya. Warga yang dahulu banyak berdiam di wilayah Datai atas dan sekitarnya mulai kembali menghuni Dusun Datai bawah dengan keinginan sendiri. Namun gerakan kembali ke dusun ini bukan menghilangkan cara hidup mereka yang lama. Mereka masih tetap mempertahankan tradisi perladangan berpindah. Kondisi ini disebabkan karena ladang hanya bisa ditanami maksimal dua kali sehingga mereka terus berpindah agar cadangan pangan tetap ada.

Perladangan berpindah berdampak pada pasang surutnya kondisi dusun. Maksudnya kondisi dusun akan menjadi ramai tatkala musim panen usai hingga musim pembukaan ladang baru lagi. Saat ini dusun Datai relative lebih ramai bila dibandingkan dahulu. Kondisi rumah-rumah warga juga tampak terawat karena masih dihuni warga. Beberapa rumah memang terlihat kosong namun tetap terawatt dengan baik. Perubahan sosial yang terjadi beberapa tahun belakangan ini ikut membuat Dusun Datai menjadi ramai.

Haus hiburan. Itulah yang bisa dikatakan. Keberadaan televisi dan parabola merupakan hiburan baru bagi warga. Acara televisi seperti sinetron dan film menjadi magnet baru dalam hubungan sosial warga. Jika dahulu warga terbiasa tinggal lama di rumah ladang, kini banyak warga yang justru bertahan tinggal di dusun atau pulang hari dari rumah ladang terutama jika ada tontonan. Tua muda, laki-laki perempuan, bahkan bayi pun ikut membaur menjadi satu melihat segala jenis hiburan yang ditawarkan televisi.

Televisi sebenarnya bukan satu-satunya barang modern. Masih ada genset, VCD, sepeda motor, sepeda kayuh, dan radio adalah sedikit contoh perubahan sosial yang telah terjadi di Datai. Tidak ada perubahan tanpa disertai dampak. ada yang baik dan ada juga yang buruk. Dampak paling mudah bisa dilihat dari pemakaian bahasa yang digunakan. “lu, gue” menjadi bagian dari percakapan anak-anak dan kaum muda Datai. Belum lagi dengan acara2 di televisi yang juga berpengaruh terhadap pola konsumsi warga dan termasuk didalamnya adalah gaya hidup……..

Masyarakat Talang Mamak sedang berada pada masa transisi. Mereka tidak lagi terlihat seperti masyarakat tradisional yang biasanya identik dengan “kesederhanaan”. Jangan pernah berpikir ketika masuk ke masyarakat ini kita akan menemukan manusia-manusia yang berpakaian hanya dengan selembar kain saja. Untuk pakaian sehari-hari mereka memakai pakaian yang biasa dipakai masyarakat luar (celana, rok, t’shirt, kemeja, jaket dsb). meski demimian, kadang kita bisa melihat para perempuan dewasa hanya menggunakan selembar kain yang dipakai dari mulai perut hingga lutut (hanya menutupi bagian bawah).

Dari sisi konsumsi makanan juga sedikit berbeda dengan kita. Makanan mereka sehari-hari adalah menggalo (ubi kayu) dan nasi. Jika ada uang bisa dikombinasikan dengan sarden atau mie instan. Atau dengan lauk ikan hasil tangkapan yang dimasak dengan cara disalai, direbus, digoreng atau dibuat sayur. Jika tidak mendapatkan ikan, nasi atau ubi bisa disantap dengan sambal cabe dan jering/jengkol atau cukup dengan sejenis vetsin sehingga bisa memberikan rasa pada nasi atau ubi yang dimakan.
Sumber bahan pangan cukup melimpah di Datai. Tanah yang cukup subur mampu memberikan hasil panen untuk cadangan pangan selama setahun dan bahkan lebih. Untuk menutupi kebutuhan yang tidak dihasilkan dari ladang misalnya gula, teh, minyak dan lain sebagainya, warga Datai akan mencari jernang atau burung yang nantinya akan dijual di pasar. Ada juga warga yang enanami ladangnya dengan karet sehingga mampu mendatangkan penghasilan.

Dalam kehidupan sosial, aturan adat berjalan beriirngan dengan hukum nasional. Meskipun demikian aturan adat tetap mendominasi kehidupan warga. Pergeseran adat mulai terlihat jelas pada masyarakat ini. Ada beberapa ritual adat yang tidak lagi dilakukan atau paling tidak dirubah menjadi lebih sederhana. Denda adat yang seharusnya bisa menekan terjadinya pelanggaran ternyata justru lebih sering berfungsi sebagai pembenaran dan pengesahan atas pelanggaran yang dilakukan.
Pelanggaran adat lebih sering terjadi pada hubungan antara lelaki dan perempuan. Perselingkuhan, menikah dengan paman atau bibi, merupakan contoh dari pelanggaran yang terjadi. Denda adat tertinggi yang bisa dilabuhkan adalah seekor kambing dan beras sepuluh gantang. Besaran denda yang dilabuhkan ternyata tidak menghalangi warga untuk melakukan pelanggaran adat. Seringkali adat justru dilanggar untuk merombak struktur masyarakat yang ada terutama jika berkaitan dengan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Sanksi sosial yang ada nyaris tidak berlaku membuat pelanggaran terhadap adat menjadi sesuatu yang wajar.

Kosmologi juga menjadi bagian yang begitu absurd. Pengetahuan local mengenai alam dan asal muasal suku Talang Mamak merupakan sesuatu yang sulit untuk dipelajari. Semakin sedikitnya informan kunci yang menguasai adat istiadat dan lemahnya regenerasi kepada kaum muda menjadi salah satu sebab absurdnya adat yang ada kini. Belum lagi dengan perubahan sosial budaya yang dialami warga menyebabkan begitu banyak yang mulai terlupakan dan bahkan bisa jadi akan hilang. Pemaknaan atas symbol-simbol adat juga semakin rancu dan kacau. Dibutuhkan usaha yang cukup keras dan interaksi yang cukup intens dengan masyarakat Talang Mamak agar gambaran mengenai kehidupan adat bisa diperoleh. Bukan sekedar gambaran di permukaan belaka namun lebih kepada pemahaman terhadap adat yang ada.

Masyarakat di datai terus berubah. Namun sekuat apapun mereka mencoba berubah dengan mengikuti kehidupan di luar lingkungan mereka, stereotipe negatif tentang mereka tak jua berubah. Stigma negatif terus saja menempel dalam diri mereka padahal mereka sama dengan kita, sama-sama manusia, sama-sama hidup di negeri ini. Seiring kemajuan jaman, pastilah mereka akan terus berubah mencoba mengejar kehidupan di luar lingkungannya. Kini tinggal kita yang harusnya mengapresiasi perubahan mereka. Sederhana saja, dengan melihat mereka dengan mata terbuka, menghargai keberadaan mereka sebagaimana adanya.....

Sunday, May 1, 2011

catatan perjalanan

Setiap peristiwa akan menjadi suatu kenangan bila kita ingin mengenangkannya..tapi bisa juga terkubur dalam-dalam ketika tak ingin mengingatnya. Waktu telah lama berlalu dan ternyata kenangan bersama masyarakat adat di berbagai belahan Indonesia itu terus muncul. Mungkin karena indah, menyenangkan, penuh tantangan meski terkadang banyak juga hal-hal bodoh yang kulakukan. Aku ingat pernah menjadi selebriti di sana sampai punya fans segala hahahaha...padahal selama ini kami berdua tak pernah memiliki fans wakakakaka...temanku malah pernah hampir dilamar sedangkan aku dikirimi surat cinta!!....Pengalaman yang benar-benar selalu membuatku tertawa. Maklumlah sebagai outsider, segala tingkah laku ku dan Wening temanku, menjadi sorotan. Kami berdua begitu dihargai dan dijaga. Tak pernah sedikitpun mereka melakukan hal jahat. Di semua masyarakat adat yang kudatangi kami begitu dihargai - suatu hal yang tidak selalu kita peroleh di lingkungan sekitar kita.

Perjalanan demi perjalanan menyusuri pedalaman Sumatera dan Kalimantan selama ini memang sudah selesai. Setidaknya sampai saat ini. Aku masih berharap masih bisa ke tempat lain lagi atau bernostalgia ditempat-tempat yang pernah kukunjungi. Aku yakin jika diberi kesempatan, aku bisa melakukan sesuatu untuk mereka. Selama ini belum banyak bahkan bisa dikatakan sedikit sekali yang sudah kulakukan untuk mereka. Dan ini menjadi sebuah kegundahan bagiku.

Dunia di luar sana begitu indah sekaligus memilukan bagiku. Aku banyak belajar dari mereka. Tentang kejujuran, persahabatan, saling percaya, semua tentang pelajaran hidup. Mereka selalu menjadi guru terbaikku untuk tidak selalu melihat ke atas namun tetap harus melihat ke bawah. Mereka juga mengingatkanku akan sebuah perjuangan hidup dalam keterbatasan. Seringkali hatiku teriris ketika melihat kehidupan mereka. Jauh dari kata layak (tentu dari sudut pandangku). Hanya dengan tulisanku aku bisa membantu mereka. Setidaknya memberi tahu pada dunia diluar sana bahwa ada masyarakat adat di pedalaman sana yang terlupakan dan dipandang sebelah mata oleh masyarakat umum hanya karena kehidupan masa lalu mereka....hingga kini stigma itu terus menempel dalam diri mereka hingga mereka ditempatkan sebagai warga negara kelas kesekian. Sedih rasanya. padahal mereka juga manusia biasa seperti kita. Hanya saja mereka tinggal nun jauh disana,.....

Untuk sahabat-sahabatku di pedalaman sana...terima kasih telah mengajariku banyak hal....Kalian akan selalu kuingat sebagai bagian dari kehidupanku dan akan selalu kukenang....Untuk Suku Laut di Tajur Biru Kepri, Suku Talang Mamak di Datai Riau, Suku Dayak Punan di pedalaman Tubu Kaltim, Suku Dayak Punan di desa Tanjung Lokang hulu Kapuas dan Suku Dayak penihing di hulu Mahakam...kalian tidak pernah terganti....terima kasih telah mengisi lembaran hidupku.............semoga suatu saat nanti langkah kakiku bisa menjejak kesana lagi..............

Yogyakarta, Awal Mei 2011 dalam rintik hujan...

Wednesday, January 5, 2011

Girilaya : Serba-serbi Batik

Catatan perjalanan Agustus 2007 – Juli 2008

Booming batik akhir-akhir ini begitu luar biasa. Di setiap sudut, di segala waktu, batik telah menjadi pakaian wajib yang dikenakan. Aneka gaya, model dan motif yang ditawarkan menjadikan batik terasa nyaman dipakai. Padahal dahulu batik identik dengan kesan formal, kuno dan berkesan orang tua. Kini batik bisa dipakai mulai dari balita hingga orang tua, laki-laki atau perempuan tidak sungkan lagi mengenakan batik baik untuk acara formal maupun informal (sekedar jalan-jalan dsb). Namun setelah masa booming itu berlalu, kini pemakaian batik dalam keseharian mulai terlihat berkurang…ya betul…selera masyarakat memang ditentukan oleh waktu…hanya mereka yang setia pada batik sajalah yang tetap memakai batik tanpa terikat waktu dan tempat.
Saya sendiri dahulu tidak tahu betul tentang batik. Setahu saya, dipasar Beringharjo, Yogyakarta, dijual batik mulai harga Rp 10.000 hingga kisaran ratusan ribu rupiah. Dalam benak saya, semua yang djual di pasar beringharjo adalah batik yang kata orang adalah kain khas/tradisional dan wajib serta harus dilestarikan. Tapi ternyata tidak semua batik adalah batik..nah lho……
Berinteraksi dengan para pembatik di dusun Girilaya hampir selama satu tahun lamanya bersama Jogja Heritage Society dan AIP merupakan pengalaman yang luar bisa. Kesederhanaan pola pikir, keterbukaan dan keramahan masyarakat Girilaya merupakan pembelajaran hidup yang tidak akan terlupakan.

Batik untuk hidup dan hidup untuk batik
Kesetiaan masyarakat Girilaya terhadap batik tidak perlu lagi diragukan. Dari jaman nenek moyang tradisi membatik terus mengakar hingga kini. Para pembatik yang mayoritas perempuan (bahkan hampir semua) menggeluti batik mulai dari kanak-kanak. Ada yang memulai membatik dari umur 8 tahun hingga kini berumur 60 tahun masih terus setia pada batik. Regenerasi usaha batik ini terus dilakukan hingga sekarang. Anak-anak mulai dikenalkan untuk mencintai batik dari dini agar tradisi batik di dusun ini tidak hilang oleh waktu.
Jika kita berjalan-jalan mengelilingi dusun, para perempuan yang sedang membatik merupakan pemandangan umum disana. Dengan peralatan yang cukup sederhana mereka membatik di emperan rumah maupun di sudut-sudut rumah yang pencahayaannya cukup terang. Biasanya mereka membatik di dekat pintu atau di samping rumah dengan dingklik dan gawangan seadanya. Pemandangan ini hanya akan kita temukan dari pagi hingga sore hari. Menjelang gelap, sangat jarang para pembatik menekuni pekerjaannya karena factor penerangan.
Batik memang telah menjadi aktivitas harian para perempuan di Girilaya. Menurut mereka, “menawi sedinten mboten nyerat kok rasane nggih malah pegel-pegel (kalo sehari saja tidak membatik tubuh rasanya tidak enak)”. Pernyataan ini membuktikan bahwa batik benar-benar sudah mengakar dalam kehidupan mereka. Batik tidak sekedar untuk mencari uang belaka namun merupakan wujud kecintaan terhadap warisan nenek moyang dan nilai-nilai tradisi merupakan alasan yang utama.
Apabila dilihat dari sisi penghasilan, pekerjaan membatik tidaklah cukup mengguntungkan. Mereka mengatakan, “Penghasilane pancen mboten kathah ning kok nggih cekap terus. Saged kagem jajan lare-lare (penghasilannya memang tidak banyak namun tetap saja terasa cukup. Bisa untuk jajan anak-anak).” Begitulah hidup, berapapun yang kita dapatkan asalkan selalu bersyukur pasti akan terasa cukup. Inilah nilai-nilai kesederhanaan yang ditunjukkan oleh masyarakat seperti mereka. Tidak heran bahwa batik memang telah mendarah daging. Penghasilan yang tidak besar bukanlah sebagai penghalang untuk tidak menekuni batik karena bagi mereka batik telah menjadi urat nadi kehidupan para perempuan di sana. Mereka mengatakan akan terus membatik hingga tidak sanggup membatik lagi. Biasanya para pembatik akan berhenti membatik ketika koordinasi antara tangan dan mata tidak lagi bagus.

Belajar dari Pembatik
Batik memang unik. Seiring dengan perkembangan jaman, batik menjadi sesuatu yang terus berkembang dan telah mengalami masa pasang surut yang cukup dinamis. Dahulu batik selalu identik dengan yang namanya handmade alias kerajinan tangan sehingga sangat layak dihargai dengan nilai ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Kini hanya dengan uang sepuluh ribu rupiah, masyarakat sudah merasa memakai batik. Tapi tahukah jika tidak semua batik yang ada dipasaran adalah batik?
Batik yang sebenarnya ada 3 jenis yaitu batik tulis (handmade), batik cap dan batik cap yang dikombinasikan dengan tulis (pembatik di Girilaya menyebutnya sebagai batik pecelan). Batik tulis murni dibuat dengan goresan canting dan menggunakan malam. Murni merupakan ketrampilan tangan si pembuat sehingga terkadang meskipun dengan motif sama, namun hasilnya bisa berbeda jika dikerjakan oleh dua orang yang berbeda misalnya dari goresan canting, kerapian dan lain sebagainya. Dari sisi pembuatannya juga memakan waktu lama. Selembar kain bisa dibatik (belum proses warna) selama ± 2 minggu. Ini baru pembatikan tahap pertama karena setelah diwarna biasanya akan dibatik lagi untuk memberi hiasan (isen-isen atau menutup bagian yang tidak ingin diwarnai).
Batik cap dibuat dengan menggunakan media cap dan malam/lilin. Dibutuhkan ketrampilan tangan untuk bisa mengecap dengan baik dan teratur. Biasanya batik cap dibuat secara masal dan dengan harga yang cukup terjangkau oleh konsumen. Sayangnya tidak semua motif tradisional bisa dibuat dengan media cap. Biasanya motif yang bisa dibuat dengan cap adalah motif batik simetris.
Batik pecelan dibuat dengan cara dicap dahulu baru kemudian isen-isen (isian) dibatik dengan menggunakan canting. Harga batik pecelan berada di antara harga batik cap dengan batik tulis. Batik pecelan bisa juga diproduksi secara masal.
Nah….batik yang selama ini diakui sebagai batik dengan harga murah meriah sebenarnya bukan batik tapi.…tekstil dengan motif batik. Tidak bisa disebut dengan batik karena jenis yang satu ini tidak menggunakan malam/lilin untuk pembuatannya (ini menurut beberapa pakar lho)….tapi menggunakan tinta/warna biasa dengan cara seperti ketika kita ngeprint kertas…gitu ceritanya. Kelebihan jenis ini, karena dibuat oleh mesin, maka bisa membuat/meniru dengan sama persis motif-motif batik yang ada. Bahkan kesannya terlalu sempurna. Motif yang tidak bisa dibuat dengan cara dicap semua dengan lancar bisa dibuat dengan cara ini dan bisa dihasilkan produk masal dalam waktu relative singkat. Makanya harganya jadi murah karena bukan handmade sih tapi mesin yang membuat. Dengan cara ini, makanya bisa dihargai dari mulai Rp 10.000 hingga Rp 50.000 tergantung bahan dan mode. Jenis yang seperti inilah yang laris manis dipasaran…dan diklaim sebagai batik.
Bukan sebuah kesalahan jika kita menggunakan tekstil dengan motif batik. Bisa dimaklumi karena harga batik yang sesungguhnya terkadang bikin kantong kering. Harga batik tulis ataupun cap yang harganya di atas Rp 100.000 sebenarnya wajar karena sebanding dengan lamanya proses pembuatan dan kerumitannya serta nilai seninya yang tinggi. Jadi kalau benar-benar menyukai dan peduli gak ada salahnya sekali-kali membeli batik yang benar-benar batik….

Tips membedakan jenis batik
Salah satu manfaat mendampingi masyarakat Girilaya adalah kita bisa belajar membedakan mana batik yang asli dan mana tekstil dengan motif batik. Kain batik yang asli biasanya harganya mahal (diatas Rp 100.000 an tapi ini tidak bisa dijadikan patokan karena bisa jadi pedagangnya yang curang). Bisa jadi tekstil dengan motif batik dijual dengan harga mahal. Oleh karena itu perlu dicermati secara mendalam jika ingin membeli batik. Kata para ibu-ibu pembatik di Girilaya, batik tulis yang asli biasanya terlihat dari coretan-coretan yang justru tidak sempurna dan tidak mengkilap serta tembus ke bagian bawah (tapi tergantung kualitas batikannya juga sih karena ada juga batik tulis yang tidak tembus hingga ke bagian bawah kain biasanya merupakan batik kasar). Bisa juga dilihat dari kerumitan motif. Kalau untuk batik cap, biasanya motifnya lebih terbatas dibandingkan dengan batik tulis karena untuk kain batik dengan motif lung-lungan jarang dibuat dengan menggunakan cap karena motifnya yang kebanyakan berupa sulur-sulur panjang. Pada batik cap juga bisa ditandai dengan adanya batas imajiner antara satu cap dengan cap yang lain dalam satu lembar kain. Selembar kain batik cap bisa dihargai dari Rp 130.000 ke atas tergantung motif dan jenis kain.
Kalau untuk membedakan batik tulis dan batik cap dengan tekstil dengan motif batik (kata-kata ibu-ibu pembatik lho) cukup mudah ……meski ketika dipraktekkan lumayan membingungkan hehehehe. Untuk membedakannya cukup dengan cara, pertama mengkilat tidaknya kain. Kain dengan motif batik biasanya mengkilat karena tidak menggunakan malam namun dengan tinta warna. Kedua, kesempurnaan motif. Logikanya seperti ini. Motif yang dibuat dengan mesin, memiliki tingkat kesempurnaan yang tinggi. Bahkan tanpa cacat cela. Kalau buatan tangan tentu tergantung dengan goresan tangan si pembatik karena berkaitan dengan rasa. Selain itu batik handmade biasanya juga memiliki motif yang lebih detail. Ketiga, lihat dibagian belakang kain, apakah gambar dan warna hanya di satu sisi kain saja atau tidak. Jika hanya di satu sisi kain (tidak tembus bagian belakang), bisa dipastikan merupakan kain dengan motif batik. Batik yang dibuat dengan canting biasanya tembus hingga ke sisi kain yang lain sehingga di kedua sisinya memiliki gambar dan warna yang sama. Pada batik tulis ada proses yang dinamakan nerusi yang intinya membatik di sisi belakang kain yang tidak tembus oleh malam/lilin. Lilin/malam yang digoreskan ketika memiliki kadar panas yang cukup matang dan kualitas malam yang cukup bagus biasanya akan langsung tembus hingga ke sisi lain. Namun adakalanya lilin tidak tembus sehingga harus melalui proses nerusi. Tapi inipun tidak menjadi jaminan bisa membedakan antara kain batik dengan tekstil dengan motif batik karena perkembangan akhir-akhir ini tekstil batik juga mulai dibuat sesempurna mungkin sehingga sulit dibedakan dengan batik yang benar-benar batik. Jika ingin batik dengan beragam aplikasi dan berinteraksi langsung dengan para pembatik datang saja langsung ke Girilaya. Dijamin batik yang benar-benar batik saja yang akan diperoleh di sana dengan beragam motif dan harga. Tergantung kemauan dan kemampuan
Girilaya: Dusun Batik dengan banyak Potensi
Girilaya merupakan sebuah dusun yang cukup menarik. Selain dikenal sebagai dusun batik, sejak awal Girilaya juga dikenal karena tradisi gurah. Banyak pegurah dari Girilaya yang cukup terkenal hingga luar kota (Jakarta dsb) sehingga terkadang ada artis ibukota yang sengaja datang ke dusun ini hanya untuk melakukan gurah. Sayang sekali era keemasan gurah sudah mulai pudar. Gurah menjadi primadona tahun 1990 an. Kini meskipun bisnis ini tidak lagi seramai dahulu namun gurah tetap digeluti warga.
Selain gurah, dusun ini juga sering dikunjungi untuk berziarah. Keberadaan makam Sunan Cirebon menjadikan Girilaya memiliki potensi yang cukup lengkap untuk dijadikan tujuan wisata.
Dari sisi geografis, Girilaya juga memiliki pemandangan yang cukup menarik. Letak dusun yang berada di lereng perbukitan, rumah-rumah yang tertata cukup rapi di sepanjang kanan dan kiri jalan dusun, rindangnya pepohonan memberikan kesan khas kehidupan pedesaan yang asri. Nah berkaitan dengan batik, kita juga bisa belajar membatik di sini serta melihat proses pembatikan mulai dari membatik hingga pewarnaan. Gurunya cukup terpercaya karena merupakan pembatik yang sudah mumpuni dibidangnya. Gak ada salahnya berkunjung ke dusun ini karena selain bisa berjalan-jalan menikmati pemandangan alam dan wisata ritual, bisa juga menambah pengetahuan tentang batik…jalan-jalan tidak sekedar jalan-jalan belaka tapi juga belajar sambil ikut serta melestarikan warisan budaya yang adiluhung hehehehehehe…tumben bijak…..wakakakak…………………merasakan susahnya membatik akan membuat kita menghargai batik dan menghargai masyarakat kecil yang memiliki kesetiaan terhadap warisan nenek moyang karena bagi mereka batik adalah untuk hidup dan hidup adalah untuk batik………………………………