Monday, May 16, 2011

Suku Talang Mamak : Sekilas kehidupan suku Talang Mamak di Datai

Sekilas Kehidupan Masyarakat Talang Mamak di Dusun Datai

Melihat kehidupan masyarakat Talang Mamak di Datai sangatlah menarik. Umumnya, masyarakat tradisional (baca suku pedalaman) selalu diidentikkan dengan kehidupan yang masih sangat sederhana. Mulai dari pakaian hingga barang-barang yang digunakan. Namun kesan ini akan terhapuskan begitu kita mengenal lebih dekat kehidupan suku Talang Mamak yang hidup di kawasan Taman Nasional Bukit 30, Riau.
satu sisi kampung Datai
Suku Talang Mamak sangatlah berbeda dengan kehidupan Suku Anak Dalam/Orang Rimba yag tinggal di pedalaman Jambi (terutama di kawasan taman nasional Bukit 12). Bila dilihat secara sekilas, ada sedikit kesamaan di antara dua komunitas suku ini. Pertama mereka sama-sama hidup dari kemurahan alam yaitu memanfaatkan potensi alam yang ada di sekitar mereka dan hidup di dalam kawasan taman nasional. Bahkan ada beberapa rombong orang rimba yang hidup berdekatan dengan suku Talang Mamak.
Kehidupan Suku Talang Mamak sudah lebih modern jika dibandingkan dengan tetangga mereka (baca – Orang Rimba). Jangan dibayangkan mereka tinggal di dalam hutan tropis dengan pohon-pohon yang masih lebat. Tempat tinggal orang Talang Mamak di dusun Datai justru seperti dusun/kampung pada umumnya dengan struktur pemerintahan yang mengikuti aturan negara (struktur pemerintahan secara adat hanya sedikit yang diterapkan). Rumah-rumah dibangun di dalam satu kawasan (bergerombol). Sebenarnya keberadaan dusun ini tidak terlepas dari adanya campur tangan pemerintah jaman dulu (era tahun 60 an) untuk memukimkan mereka di satu kawasan agar tidak hidup berpindah-pindah. Selain itu campur tangan misionaris juga ikut berperan dalam pembentukan dusun.

Bisa dikatakan keinginan untuk memukimkan masyarakat Datai tidak begitu berhasil. Mereka tetap hidup berpindah-pindah dari satu ladang ke ladang yang lain. Meski memiliki rumah di dusun, namun aktivitas harian warga lebih banyak dihabiskan di ladang. Oleh karena itu rumah ladang menjadi piihan bagi banyak orang. Meskipun terkadang harus hidup sendiri tanpa ada tetangga, mereka terlihat menikmati kondisi tersebut. Ketidakmauan hidup dalam satu ikatan kewilayahan bisa dipahami mengingat sejak jaman nenek moyang mereka telah memiliki cara hidup yang berpindah mengikuti pembukaan ladang. Tidak heran jika kemudian program “memukimkan” masyarakat yang hidupnya berpindah-pindah lebih banyak menemui kegagalan daripada keberhasilan.
Dalam konteks Datai, program “memukimkan” mereka di suatu wilayah dusun bisa dikatakan mulai berhasil puluhan tahun kemudian. Di era 90 an hingga kini (pertengahan 2008) – kira-kira 10 atau 15 tahun yang lalu – Dusun Datai mulai ramai dihuni warganya. Warga yang dahulu banyak berdiam di wilayah Datai atas dan sekitarnya mulai kembali menghuni Dusun Datai bawah dengan keinginan sendiri. Namun gerakan kembali ke dusun ini bukan menghilangkan cara hidup mereka yang lama. Mereka masih tetap mempertahankan tradisi perladangan berpindah. Kondisi ini disebabkan karena ladang hanya bisa ditanami maksimal dua kali sehingga mereka terus berpindah agar cadangan pangan tetap ada.

Perladangan berpindah berdampak pada pasang surutnya kondisi dusun. Maksudnya kondisi dusun akan menjadi ramai tatkala musim panen usai hingga musim pembukaan ladang baru lagi. Saat ini dusun Datai relative lebih ramai bila dibandingkan dahulu. Kondisi rumah-rumah warga juga tampak terawat karena masih dihuni warga. Beberapa rumah memang terlihat kosong namun tetap terawatt dengan baik. Perubahan sosial yang terjadi beberapa tahun belakangan ini ikut membuat Dusun Datai menjadi ramai.

Haus hiburan. Itulah yang bisa dikatakan. Keberadaan televisi dan parabola merupakan hiburan baru bagi warga. Acara televisi seperti sinetron dan film menjadi magnet baru dalam hubungan sosial warga. Jika dahulu warga terbiasa tinggal lama di rumah ladang, kini banyak warga yang justru bertahan tinggal di dusun atau pulang hari dari rumah ladang terutama jika ada tontonan. Tua muda, laki-laki perempuan, bahkan bayi pun ikut membaur menjadi satu melihat segala jenis hiburan yang ditawarkan televisi.

Televisi sebenarnya bukan satu-satunya barang modern. Masih ada genset, VCD, sepeda motor, sepeda kayuh, dan radio adalah sedikit contoh perubahan sosial yang telah terjadi di Datai. Tidak ada perubahan tanpa disertai dampak. ada yang baik dan ada juga yang buruk. Dampak paling mudah bisa dilihat dari pemakaian bahasa yang digunakan. “lu, gue” menjadi bagian dari percakapan anak-anak dan kaum muda Datai. Belum lagi dengan acara2 di televisi yang juga berpengaruh terhadap pola konsumsi warga dan termasuk didalamnya adalah gaya hidup……..

Masyarakat Talang Mamak sedang berada pada masa transisi. Mereka tidak lagi terlihat seperti masyarakat tradisional yang biasanya identik dengan “kesederhanaan”. Jangan pernah berpikir ketika masuk ke masyarakat ini kita akan menemukan manusia-manusia yang berpakaian hanya dengan selembar kain saja. Untuk pakaian sehari-hari mereka memakai pakaian yang biasa dipakai masyarakat luar (celana, rok, t’shirt, kemeja, jaket dsb). meski demimian, kadang kita bisa melihat para perempuan dewasa hanya menggunakan selembar kain yang dipakai dari mulai perut hingga lutut (hanya menutupi bagian bawah).

Dari sisi konsumsi makanan juga sedikit berbeda dengan kita. Makanan mereka sehari-hari adalah menggalo (ubi kayu) dan nasi. Jika ada uang bisa dikombinasikan dengan sarden atau mie instan. Atau dengan lauk ikan hasil tangkapan yang dimasak dengan cara disalai, direbus, digoreng atau dibuat sayur. Jika tidak mendapatkan ikan, nasi atau ubi bisa disantap dengan sambal cabe dan jering/jengkol atau cukup dengan sejenis vetsin sehingga bisa memberikan rasa pada nasi atau ubi yang dimakan.
Sumber bahan pangan cukup melimpah di Datai. Tanah yang cukup subur mampu memberikan hasil panen untuk cadangan pangan selama setahun dan bahkan lebih. Untuk menutupi kebutuhan yang tidak dihasilkan dari ladang misalnya gula, teh, minyak dan lain sebagainya, warga Datai akan mencari jernang atau burung yang nantinya akan dijual di pasar. Ada juga warga yang enanami ladangnya dengan karet sehingga mampu mendatangkan penghasilan.

Dalam kehidupan sosial, aturan adat berjalan beriirngan dengan hukum nasional. Meskipun demikian aturan adat tetap mendominasi kehidupan warga. Pergeseran adat mulai terlihat jelas pada masyarakat ini. Ada beberapa ritual adat yang tidak lagi dilakukan atau paling tidak dirubah menjadi lebih sederhana. Denda adat yang seharusnya bisa menekan terjadinya pelanggaran ternyata justru lebih sering berfungsi sebagai pembenaran dan pengesahan atas pelanggaran yang dilakukan.
Pelanggaran adat lebih sering terjadi pada hubungan antara lelaki dan perempuan. Perselingkuhan, menikah dengan paman atau bibi, merupakan contoh dari pelanggaran yang terjadi. Denda adat tertinggi yang bisa dilabuhkan adalah seekor kambing dan beras sepuluh gantang. Besaran denda yang dilabuhkan ternyata tidak menghalangi warga untuk melakukan pelanggaran adat. Seringkali adat justru dilanggar untuk merombak struktur masyarakat yang ada terutama jika berkaitan dengan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Sanksi sosial yang ada nyaris tidak berlaku membuat pelanggaran terhadap adat menjadi sesuatu yang wajar.

Kosmologi juga menjadi bagian yang begitu absurd. Pengetahuan local mengenai alam dan asal muasal suku Talang Mamak merupakan sesuatu yang sulit untuk dipelajari. Semakin sedikitnya informan kunci yang menguasai adat istiadat dan lemahnya regenerasi kepada kaum muda menjadi salah satu sebab absurdnya adat yang ada kini. Belum lagi dengan perubahan sosial budaya yang dialami warga menyebabkan begitu banyak yang mulai terlupakan dan bahkan bisa jadi akan hilang. Pemaknaan atas symbol-simbol adat juga semakin rancu dan kacau. Dibutuhkan usaha yang cukup keras dan interaksi yang cukup intens dengan masyarakat Talang Mamak agar gambaran mengenai kehidupan adat bisa diperoleh. Bukan sekedar gambaran di permukaan belaka namun lebih kepada pemahaman terhadap adat yang ada.

Masyarakat di datai terus berubah. Namun sekuat apapun mereka mencoba berubah dengan mengikuti kehidupan di luar lingkungan mereka, stereotipe negatif tentang mereka tak jua berubah. Stigma negatif terus saja menempel dalam diri mereka padahal mereka sama dengan kita, sama-sama manusia, sama-sama hidup di negeri ini. Seiring kemajuan jaman, pastilah mereka akan terus berubah mencoba mengejar kehidupan di luar lingkungannya. Kini tinggal kita yang harusnya mengapresiasi perubahan mereka. Sederhana saja, dengan melihat mereka dengan mata terbuka, menghargai keberadaan mereka sebagaimana adanya.....

Sunday, May 1, 2011

catatan perjalanan

Setiap peristiwa akan menjadi suatu kenangan bila kita ingin mengenangkannya..tapi bisa juga terkubur dalam-dalam ketika tak ingin mengingatnya. Waktu telah lama berlalu dan ternyata kenangan bersama masyarakat adat di berbagai belahan Indonesia itu terus muncul. Mungkin karena indah, menyenangkan, penuh tantangan meski terkadang banyak juga hal-hal bodoh yang kulakukan. Aku ingat pernah menjadi selebriti di sana sampai punya fans segala hahahaha...padahal selama ini kami berdua tak pernah memiliki fans wakakakaka...temanku malah pernah hampir dilamar sedangkan aku dikirimi surat cinta!!....Pengalaman yang benar-benar selalu membuatku tertawa. Maklumlah sebagai outsider, segala tingkah laku ku dan Wening temanku, menjadi sorotan. Kami berdua begitu dihargai dan dijaga. Tak pernah sedikitpun mereka melakukan hal jahat. Di semua masyarakat adat yang kudatangi kami begitu dihargai - suatu hal yang tidak selalu kita peroleh di lingkungan sekitar kita.

Perjalanan demi perjalanan menyusuri pedalaman Sumatera dan Kalimantan selama ini memang sudah selesai. Setidaknya sampai saat ini. Aku masih berharap masih bisa ke tempat lain lagi atau bernostalgia ditempat-tempat yang pernah kukunjungi. Aku yakin jika diberi kesempatan, aku bisa melakukan sesuatu untuk mereka. Selama ini belum banyak bahkan bisa dikatakan sedikit sekali yang sudah kulakukan untuk mereka. Dan ini menjadi sebuah kegundahan bagiku.

Dunia di luar sana begitu indah sekaligus memilukan bagiku. Aku banyak belajar dari mereka. Tentang kejujuran, persahabatan, saling percaya, semua tentang pelajaran hidup. Mereka selalu menjadi guru terbaikku untuk tidak selalu melihat ke atas namun tetap harus melihat ke bawah. Mereka juga mengingatkanku akan sebuah perjuangan hidup dalam keterbatasan. Seringkali hatiku teriris ketika melihat kehidupan mereka. Jauh dari kata layak (tentu dari sudut pandangku). Hanya dengan tulisanku aku bisa membantu mereka. Setidaknya memberi tahu pada dunia diluar sana bahwa ada masyarakat adat di pedalaman sana yang terlupakan dan dipandang sebelah mata oleh masyarakat umum hanya karena kehidupan masa lalu mereka....hingga kini stigma itu terus menempel dalam diri mereka hingga mereka ditempatkan sebagai warga negara kelas kesekian. Sedih rasanya. padahal mereka juga manusia biasa seperti kita. Hanya saja mereka tinggal nun jauh disana,.....

Untuk sahabat-sahabatku di pedalaman sana...terima kasih telah mengajariku banyak hal....Kalian akan selalu kuingat sebagai bagian dari kehidupanku dan akan selalu kukenang....Untuk Suku Laut di Tajur Biru Kepri, Suku Talang Mamak di Datai Riau, Suku Dayak Punan di pedalaman Tubu Kaltim, Suku Dayak Punan di desa Tanjung Lokang hulu Kapuas dan Suku Dayak penihing di hulu Mahakam...kalian tidak pernah terganti....terima kasih telah mengisi lembaran hidupku.............semoga suatu saat nanti langkah kakiku bisa menjejak kesana lagi..............

Yogyakarta, Awal Mei 2011 dalam rintik hujan...