Wednesday, May 25, 2011

Eksotisme Tubu

Tubu adalah sebuah nama sungai di pedalaman Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur. Untuk menuju kesana bisa diakses dengan menggunakan perahu menyusuri sungai Tubu. Sungai ini dikenal luas oleh masyarakat di sana sebagai sungai dengan giram terganas.  Entah berapa banyak korban yang telah jatuh akibat derasnya air dan bebatuan di sana.

Desa Long Pada, hulu Sungai Tubu (foto CLI)
Sungai Tubu menyimpan misteri dalam keheningannya. Aliran airnya yang deras membuat pusaran arus yang begitu kuat ketika terhalang oleh bebatuan besar. Di tempat itulah korban-korban berjatuhan. Ada yang ditemukan ada pula yang hilang terbawa arus  atau terjebak di antara bebatuan di bawah air. Itu kata mereka di sana. Sebuah makam di pinggir sungai menyimpan jasad beberapa korban keganasan sungai ini. Sebulan setelah kepulanganku dari Tubu, 3 orang meninggal dunia karena perahu karam akibat salah jalur.  Berita ini membuka ingatan tentang perjalananku kala itu. Aku nyaris menjadi korban. Thank’s God. Aku masih hidup. Perahuku nyaris karam karena hal yang sama yaitu salah jalur. Meleset sedikit saja dari jalur aman, nyawa menjadi taruhan. Dibutuhkan ketajaman mata untuk melihat letak batu-batu dan juga pusaran air. 

Sungai Tubu
 Sungai Tubu merupakan potret perjuangan mereka yang hidup di pedalaman sana. Sebagai satu-satunya akses transportasi, mereka telah berusaha menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada.  Dengan ketinting bermesin 12 PK, mereka menjangkau dunia luar, menikmati kehidupan kota meski hanya sesaat.  Jika arus air bersahabat dibutuhkan waktu 7-8 jam menuju hilir dengan biaya sekitar 2,5 juta rupiah. Sebaliknya perjalanan pulang membutuhkan waktu lebih lama yaitu dua hari dengan bermalam di tengah jalan. Biaya yang dibutuhkan pun berlipat ganda bisa berkisar 4 – 8 juta sekali jalan menuju hulu Tubu. Mahal memang resiko yang harus ditanggung untuk pilihan hidup di pedalaman sana.

Tak jarang akses yang sulit ini menjadikan warga di sana ada yang belum pernah melihat kota Malinau. Kota kabupaten masih menjadi angan-angan bahkan impian anak-anak di sana untuk berkunjung. Dan buatku hidup bersama suku Dayak Punan di hulu Tubu hampir selama dua minggu mengingatkanku pada banyak hal. Tentang perjuangan hidup, tentang sebuah impian, kebersahajaan, kedamaian, keindahan dan kesederhanaan hidup....Hidup menjadi penuh makna ketika kita bisa memaknainya…………

Monday, May 16, 2011

Kala pagi dan senja di sana


Ketika semburat jingga datang di penghujung hari, ia berjanji untuk datang lagi di awal hari.....

senja di Mahakam,
senja di Pancur
senja di P Kentar
berlayar kala pagi


hening pagi di Tajur Biru
pulang kala pagi datang













kala pagi datang, langkah kaki kembali terayun....senja telah datang menjemput pagi.........

foto : Retnaningdyah W dan Septi Dhanik P (data CLI)