Wednesday, December 7, 2011

Pulau Senayang


Akhir Oktober 2010

Pulau Senayang memang tak sepopuler pulau lain di kepulauan Riau. Akses kesana hanya bisa ditempuh dengan speed  boat dari pelabuhan Sri Bintang Pura, Tanjung Pinang.  Berbeda dengan rute lain – misalnya pelayaran Batam  ke Tanjung Pinang dan sebaliknya yang hampir setiap jam ada --  pelayaran yang menuju pulau ini hanya dilakukan sehari sekali. Tak heran bila penumpang selalu berjejal memenuhi speedboat berebut tempat dengan barang-barang. Selama perjalanan, penumpang datang dan pergi seakan tidak ada habisanya.  Di setiap dermaga yang dilewati, speed akan  berhenti untuk menaikkan atau menurunkan penumpang. Dermaga Pulau Bukit, Rejai, Tajur Biru, akan disinggahi sebelum sampai di Pulau Senayang. Meski dermaga sederhana namun dermaga-dermaga ini selalu saja dipenuhi penumpang. Maklumlah sebagai wilayah kepulauan, transportasi laut menjadi andalan penduduk di sana. Waktu tempuh selama 3 jam menjadi hal biasa bagi mereka yang sudah terbiasa mengandalkan transportasi ini. Tapi bagi yang belum pernah atau tidak biasa akan menjadi perjalanan yang menyiksa. Speed yang penuh sesak, hempasan gelombang menjadi bumbu perjalanan. bila tak kuat, perut bisa mual. Hiburan yang disuguhkan tidak akan sanggup meringankan perjalanan. Speed ini memang menyuguhkan hiburan berupa pemutaran film. Biasanya film yang diputar adalah film Malaysia jaman dahulu. Sebenarnya film nya cukup lucu dan menghibur karena memang film bergenre komedi. Namun kalau tidak begitu memahami bahasa melayu, penumpang harus menebak jalan ceritanya karena ada kosa kata yang sulit dipahami.

Jika melihat peta, pulau Senayang tak begitu menonjol karena merupakan pulau kecil. Pulau ini terletak di dekat Pulau Sebangka yang merupakan salah satu pulau terbesar di kepulauan Riau. Oleh karena itu, pulau ini cukup terlindung dari hempasan angin laut. Meski merupakan pulau kecil namun di kalangan warga setempat, pulau ini menduduki posisi administrasi yang cukup penting. Tidak heran bila fasilitas umum cukup lengkap di pulau ini. 

Di pulau yang hanya sepanjang 14 kilometer ini, terdapat sekolah (SD-SMP-SMU), kantor pos, kantor kelurahan, kantor kecamatan, warung makan, penginapan, polsek, dua buah menara telekomunikasi, puskesmas rawat inap (dengan 2 orang dokter) dan juga pos TNI AL. Tak hanya itu, sebagai ibukota kecamatan, pulau senayang juga dilengkapi dengan fasiltias ibadah seperti gerreja, masjid dan juga klenteng. Semua fasilitas ini melengkapi kebutuhan beragam etnis yang tinggal di sana. Warga  Melayu, Bugis Makasar,  Jawa Madura, Tionghoa bahkan suku Laut, saling berbagi ruang. Sangat indah melihat keberagaman. Seperti melihat miniatur Indonesia. 

Pernikahan campuran menjadi hal yang jamak terjadi. Suku Laut menikah dengan orang Jawa, orang Melayu menikah dengan orang Tionghoa dll. Di kala sore, lapangan menjadi ajang interaksi yang menyenangkan. Sepak bola, bola voli, bersepeda menjadi olahraga sekaligus hiburan tersendiri. Pangkat, jabatan, usia tak manjadi halangan untuk menjemput datangnya malam  bersama-sama. 

Bukan hanya potret keberagaman yang disuguhkan, keindahan alam menjadi catatan tersendiri di pulau ini. Sebagai sebuah pulau yang dikelilingi laut, pulau Senayang bisa dikatakan cukup cantik. Bila di satu sisi pulau disesaki rumah penduduk, maka di sisi lain, terdapat pantai berpasir bersih. Tempat inilah yang menjadi obyek rekreasi bagi warga di sana. Tatkala surya mulai tenggelam, itulah saat yang paling indah dan ramai dikunjungi orang. Pohon-pohon rindang di sepanjang garis pantai terasa begitu meneduhkan bagi siapa saja yang ingin menghabiskan waktu menikmati alam. Di bawah pohon terdapat beberapa meja dan kursi serta beberapa warung kecil  yang dibangun tak beraturan dan terkesan asal-asalan, menyediakan kebutuhan makanan atau minuman bagi mereka yang ingin berekreasi. 

Pulau Senayang memperlihatkan sebuah potret. Sebuah potret tentang keberagaman agama, etnis, budaya yang berjalan bersama dengan kedamaian. Itulah Indonesia yang sebenarnya!!!





Thursday, December 1, 2011

Dapur Arang dan Suku Laut

tumpukan arang yang tak jadi diekspor di salah satu dapur arang
Dapur arang merupakan tempat dimana kayu bakau diolah menjadi arang dan diekspor ke megara tetangga (biasanya ke Singapura). Sebagai bahan baku utama pembuatan arang, kayu bakau terus menerus diambil agar produksi terus berjalan. Semakin tinggi produksi itu berarti semakin tinggi pula ancaman terhadap ekosistem bakau. Oleh karena itu tahun 2006/2007 dapur arang mulai ditutup oleh pemerintah. Penutupan ini tak ayal membuat Suku Laut kehilangan sumber mata pencahariannya. Pasalnya, bekerja di dapur arang adalah satu-satunya pekerjaan di sector public yang bisa dimasuki oleh Suku Laut. Di penghujung tahun 2008, masih ada dapur arang yang tetap beroperasi meskipun harus bermain  kucing-kucingan dengan aparat keamanan. Namun hal ini tidak ada artinya bagi Suku Laut. Mereka telah kehilangan sumber penghasilan selain sebagai nelayan.
Tidak semua Suku Laut bekerja di dapur arang karena bekerja di tempat ini tidaklah mudah. Perlu tenaga kuat untuk memilah, menebang dan mengukur besaran kayu bakau yang digunakan. Belum lagi mereka harus berkutat dengan akar-akar bakau. Perjuangan yang tidak imbang dengan penghasilan mereka. Mereka sering mengatakan bekerja di dapur arang ibarat “makan darah” yang berarti bekerja namun tak menghasilkan apapun. Biasanya upah kerja dibayarkan setelah pekerjaan selesai. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, para pekerja diijinkan untuk mengambil barang belanjaan ditempatnya bekerja misalnya mengambil beras, minyak, gula dll. Nantinya barang-barang tersebut akan dibayar dengan cara memotong upah kerja mereka. Tak jarang mereka tak memperoleh apapun karena habis dipotong untuk kebutuhan belanja. Bahkan meninggalkan hutang yang harus mereka bayar. Jika hutang belum terbayar akan sulit bagi mereka untuk pergi dari dapur arang tersebut. Itulah sebabnya mereka mengibaratkan kerja di dapur arang seperti “makan darah”.
Upah bekerja di dapur arang memang tidak banyak. Satu sampan yang berisi kayu bakau penuh akan dihargai Rp 35.000 – Rp 45.000. Dalam waktu satu hari mereka bisa mengumpulkan 2-3 sampan (sampan berukuran 20 kaki) penuh kayu bakau. Biasanya mereka harus mencari 10-20 sampan sekali kerja. Setelah memenuhi jumlah yang dibutuhkan, barulah mereka memperoleh upah. Bisa juga mereka memperoleh upah harian. Besaran upah yang diterima tergantung dari banyak tidaknya kayu bakau yang dikumpulkan dalam waktu sehari. Cara ini jarang digunakan karena Suku laut lebih senang menggunakan pembayaran setelah semua pekerjaan selesai.
Walaupun penghasilan tak banyak, bekerja di dapur arang terbukti mampu membantu kehidupan Suku Laut terutama saat musim angin besar datang. Maklumlah sebagai nelayan tradisional, Suku Laut sangat mengandalkan kemurahan alam. Suku Laut hanya mengandalkan kemampuan mereka menangkap ikan dengan menggunakan serampang (semacam tombak terbuat dari bamboo dengan mata tombak terbuat dari besi bermata tiga mirip garpu). Dengan alat sederhana seperti itu mereka hanya bisa menangkap ikan kala laut teduh (tidak banyak angin) di waktu petang hingga dinihari tiba.  Mereka tidak memiliki alat-alat besar (misalnya sampan besar bermesin, kelong dll) atau melakukan budidaya ikan sehingga kala musim angin datang tak banyak yang bisa dilakukan kecuali “kerja darat” atau bekerja di dapur arang.  
Penutupan dapur arang membuat Suku Laut kehilangan sumber penghasilan kala musim angin besar datang. Oleh karena itu beragam cara ditempuh agar mereka tetap memperoleh penghasilan seperti berkayu (menebang kayu di hutan dan menjualnya), membuat kajang (untuk menjemur ikan ataupun sebagai atap) hingga berkelana ke pulau-pulau lain agar bisa terus menangkap ikan. Penutupan dapur arang adalah sebuah dilemma. Di satu sisi penutupan dapur arang akan menyelamatkan ekosistem bakau namun di sisi lain para pekerja dari suku laut harus kehilangan salah satu sumber penghasilan.  Kini mereka hanya bisa mengandalkan “kerja laut” . Uang sebesar Rp 20.000 – Rp 50.000 harus cukup untuk memenuhi kebutuhan karena hanya itulah hasil yang bisa mereka peroleh dari melaut setiap harinya.  Tidak banyak yang bisa diharapkan. Hidup  hanya untuk hari ini karena esok adalah urusan esok.