Thursday, November 3, 2011

Manusia Kadang-Kadang

Mendengarkan suara penyiar di radio membuatku berpikir. Kali ini tentang manusia kadang-kadang….bukan kadang-kadang manusia lho….beda nih…Kalau kadang-kadang manusia berarti bisa jadi dia tidak selamanya manusia (emangnya ada ya…manusia yang kadang-kadang menjadi monyet hahahaha?!@$%&) …tapi kalo manusia kadang-kadang ya manusia tulen tentunya……tapi dengan sikap yang tidak jelas karena sikap yang diambil sesuai kebutuhan.
            Menjadi manusia kadang-kadang merupakan pilihan yang aman bagi sebagian orang. Mengapa?karena menjadi manusia kadang-kadang berarti tidak berpihak pada satu pilihan. Ia berada di tengah-tengah. Tidak hitam dan juga tidak putih. Ia berada di grey area. Kadang-kadang menepati janji…tapi kadang-kadang mengingkarinya…kadang-kadang bener, kadang-kadang salah, kadang-kadang konsisten tapi kadang-kadang juga tidak…semua tergantung kebutuhan. Kalau dibutuhkan untuk konsisten ya konsisten tapi kalau situasi mendorong kita untuk tidak bersikap konsisten ya ga perlu konsisten……Kita terkadang tidak menyadari bahwa kita sering berada di wilayah ini. Manusiawi sih…dan tidak ada yang salah dengan menjadi manusia kadang-kadang asalkan tidak melewati batas. Masalahnya batas kadang-kadang tiap orang berbeda karena setiap tindakan selalu diikuti oleh alasan, kondisi tertentu  dan bahkan pembenaran..iya gak sih????mau jadi manusia kadang-kadang atau tidak semuanya tergantung kita sebagai aktornya bukankah begitu?
              

Thursday, September 29, 2011

Daek : Kota Kecil dengan Sejuta Pesona

Gunung Daek
Jika membuka peta Kepulauan Riau, kita akan temukan sebuah pulau bernama Lingga. Pulau Lingga tak begitu besar namun jangan pernah bertanya tentang keindahan alam dan peninggalan sejarah yang tersebar di pulau ini. Mengunjungi pulau Lingga, kita akan dibuai dengan romansa masa lalu yang terbingkai dalam cerita dan legenda yang terus hidup hingga kini. 

Sebagai bagian dari perjalanan dari pulau ke pulau di Kepulauan Riau, perjalanan menuju Pulau Lingga dimulai dari pulau tetangga yaitu pulau Singkep. Dari Pelabuhan Jagoh di Pulau Singkep, sebuah speedboat siap mengantarkan para penumpang menuju Daek, sebuah kota kecil di pulau Lingga. Cukup ± 45 menit menyusuri laut dengan pemandangan luar biasa. Di antara deretan pegunungan yang hijau terlihat puncak gunung Daek. Puncaknya yang seakan terbelah menjadikannya mudah dikenali diantara jajaran pegunungan di sana. 

Dari pelabuhan kecil di Daek, perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan ojek (±20 menit) menuju pusat kota Daek. Meski kota kecil, namun ada beberapa fasilitas umum yang tersedia seperti penginapan yang terletak cukup strategis di tengah area pasar serta bank BRI. Rumah makan juga tersedia disana. Jika ingin menyusuri kota ini, cukup dengan menggunakan jasa ojek.

Daek merupakan ibukota kabupaten Lingga yang
Replika Istana Damnah
dibentuk pada tanggal 18 Desember 2003 sebagai hasil pemekaran wilayah di Kepulauan Riau. Luas wilayahnya 889 km². Di tahun 2009, geliat pembangunan fasiltias umum tampak jelas disana. Kota kecil yang cukup menyenangkan. Di tengah pasar kita bisa melihat dengan jelas puncak gunung Daek yang merupakan icon kota ini. Yang menarik, kota ini menjadi tempat persinggahan bagi suku Laut ketika musim angin utara tiba. Bagi suku Laut, musim angin utara adalah musim paceklik pangan karena ombak yang besar tidak memungkinkan mereka melaut. Sebagai nelayan kecil, mereka masih menggunakan peralatan sederhana dan sampan dayung sehingga tatkala ombak kuat, mereka kesulitan memperoleh tangkapan. Oleh karena itu ketika musim utara, suku Laut akan pergi ke pulau-pulau yang terlindung dari angin utara. Salah satunya adalah pergi ke Daek. Di sana mereka  sering mendapatkan bantuan pangan dari pemerintah setempat.  Sebenarnya yang penting bagi suku Laut, pergi ke Daek seperti pulang ke tanah leluhur.  Konon menurut cerita, Daek merupakan tempat asal mula nenek moyang suku Laut.  Jika ingin mengunjungi suku Laut yang sudah tinggal menetap, kita bisa mengunjungi daerah Kelumu, disanalah mereka tinggal.  

Terlepas dari banyaknya cerita mitos, legenda, sejarah yang ada, Daek menyimpan peninggalan budaya. Yang pertama ada situs sejarah peninggalan Istana Damnah. Meski yang tersisa hanyalah pondasi istana namun kebesaran kesultanan di masa itu bisa kita lihat karena tepat di samping bekas istana ini, terdapat replica Istana Damnah. Konon katanya replica ini dibuat semirip mungkin dengan bentuk istana jaman dahulu sehingga kita akan terbantu ketika membayangkan kehidupan kesultanan di masa lampau. Dengan latar belakang hutan dan pegunungan yang menghijau, replica istana ini tampak membaur dengan suasana sekitar karena dindingnya didominasi warna hijau dan kuning. latar belakang pegunungan menambah daya tarik istana ini. Masih di area yang sama, terdapat bekas pemandian keluarga kesultanan.  Sungai yang jernih dikelilingi pepohonan, menjadi tempat wisata yang menarik bagi siapa saja yang senang bermain air. Sementara bagi yang tidak ingin berbasah-basah ria , bisa duduk manis di tempat duduk yang disediakan dan menikmati segarnya udara di sana. 

Jika ingin melihat barang-barang peninggalan kesultanan Lingga – Riau, museum Lingga Cahaya tempatnya. Museum ini tak jauh dari Istana Damnah. Bangunanya yang kecil terlihat penuh sesak dipenuhi barang-barang berharga. Mulai dari guci keramik, tempat makan dari kuningan, gong, baju, sampai fosil ikan gajah Mina. Semua lengkap di sana. Hanya saja benda-benda yang dipamerkan tidak diletakkan di tempat yang memadai. Kebanyakan benda-benda tersebut hanya diletakkan di meja sehingga riskan rusak baik oleh debu – jalan di depan musem masih berupa jalan tanah --, tersenggol pengunjung atau dijamah tangan-tangan jahil.
Satu lagi tempat yang menarik dikunjungi yaitu Gunung Daek. Meski direkomendasikan oleh penduduk dan tukang ojek, sayangnya keterbatasan waktu membuat kami tak sempat mengunjungi icon kota Daek ini.  Konon ceritanya puncak gunung Daek dahulu terbelah menjadi tiga bagian namun salah satunya patah dan kini tinggal dua bagian. Cerita dibalik keberadaan gunung inilah yang sebenarnya menarik karena bagi penduduk disana gunung Daek menyimpan sisi mistis. 

Perjalanan selanjutnya, masih di wilayah Lingga, kita bisa mengunjungi Pancur. Pancur merupakan kota kecamatan Lingga Utara. Untuk menuju tempat ini, dari Daek, kita harus menggunakan ojek menuju ke sungai Resun dan dilanjutkan dengan menggunakan speed menyusuri perairan di sana. Perjalanan dengan speed tak memakan waktu lama namun kita harus siap-siap terkena cipratan air. Maklumlah speed berukuran kecil hingga jarak antara tempat duduk dan permukaan air sangatlah dekat hingga tangan bisa dengan mudah menyentuh air. 

Pancur merupakan kota kecamatan yang cukup ramai. Letaknya tepat di pinggir pulau sehingga mayoritas bangunan dibangun di atas air. Mulai dari rumah penduduk, pasar hingga penginapan  semua dibangun di atas air. Jauh dari darat bukan berarti kehidupan menjadi membosankan.  Aktivitas perdagangan tampak begitu hidup di sana. Pancur memang pusat perdagangan untuk pulau-pulau disekitarnya. Selain melihat aktivitas perdagangan di pasar, kita juga bisa berjalan menyusuri pelantar (jalan yang dibangun di atas air terbuat dari kayu). Atau bisa juga nongkrong di atas atap hotel Winner yang tinggi menjulang di antara bangunan lainnya (tahun 2009 jika menginap cukup merogoh kantong Rp 150.000 untuk kamar yang cukup luas dan nyaman dengan bonus pemandangan keren). Tepat diseberang hotel ini terbentang jajaran pegunungan nan menghijau. Meski kabut terkadang menyelimutinya, namun dijamin mata tak akan lelah memandang. Apalagi di kala senja, pemandangan akan lebih indah. Lembayung senja tampak menawan, perlahan mengantar matahari kembali ke peraduan. Halaman hotel Winner juga sering dijadikan arena nongkrong anak muda kala sore menjelang hingga malam tiba. Untuk menemani menikmati desiran angin laut, minuman dan makanan siap tersaji dari hotel. Tak terlalu ramai memang. Tapi bagi yang suka dengan ketenangan, tempat ini layak dikunjungi. 

Sebagai tempat persinggahan, Pancur memperlihatkan keberagaman. Etnis Melayu, Tionghoa dan Suku Laut berbaur menjadi satu merangkai kehidupan di sana yang penuh keberagaman mata pencaharian, budaya dsb. Jangan lupa kalau ingin meninggalkan Pancur dengan menggunakan speedboat, bangunlah pagi-pagi karena hanya ada satu kali pelayaran menuju Tanjung Pinang jam 07.00 tepat.