Wednesday, January 5, 2011

Girilaya : Serba-serbi Batik

Catatan perjalanan Agustus 2007 – Juli 2008

Booming batik akhir-akhir ini begitu luar biasa. Di setiap sudut, di segala waktu, batik telah menjadi pakaian wajib yang dikenakan. Aneka gaya, model dan motif yang ditawarkan menjadikan batik terasa nyaman dipakai. Padahal dahulu batik identik dengan kesan formal, kuno dan berkesan orang tua. Kini batik bisa dipakai mulai dari balita hingga orang tua, laki-laki atau perempuan tidak sungkan lagi mengenakan batik baik untuk acara formal maupun informal (sekedar jalan-jalan dsb). Namun setelah masa booming itu berlalu, kini pemakaian batik dalam keseharian mulai terlihat berkurang…ya betul…selera masyarakat memang ditentukan oleh waktu…hanya mereka yang setia pada batik sajalah yang tetap memakai batik tanpa terikat waktu dan tempat.
Saya sendiri dahulu tidak tahu betul tentang batik. Setahu saya, dipasar Beringharjo, Yogyakarta, dijual batik mulai harga Rp 10.000 hingga kisaran ratusan ribu rupiah. Dalam benak saya, semua yang djual di pasar beringharjo adalah batik yang kata orang adalah kain khas/tradisional dan wajib serta harus dilestarikan. Tapi ternyata tidak semua batik adalah batik..nah lho……
Berinteraksi dengan para pembatik di dusun Girilaya hampir selama satu tahun lamanya bersama Jogja Heritage Society dan AIP merupakan pengalaman yang luar bisa. Kesederhanaan pola pikir, keterbukaan dan keramahan masyarakat Girilaya merupakan pembelajaran hidup yang tidak akan terlupakan.

Batik untuk hidup dan hidup untuk batik
Kesetiaan masyarakat Girilaya terhadap batik tidak perlu lagi diragukan. Dari jaman nenek moyang tradisi membatik terus mengakar hingga kini. Para pembatik yang mayoritas perempuan (bahkan hampir semua) menggeluti batik mulai dari kanak-kanak. Ada yang memulai membatik dari umur 8 tahun hingga kini berumur 60 tahun masih terus setia pada batik. Regenerasi usaha batik ini terus dilakukan hingga sekarang. Anak-anak mulai dikenalkan untuk mencintai batik dari dini agar tradisi batik di dusun ini tidak hilang oleh waktu.
Jika kita berjalan-jalan mengelilingi dusun, para perempuan yang sedang membatik merupakan pemandangan umum disana. Dengan peralatan yang cukup sederhana mereka membatik di emperan rumah maupun di sudut-sudut rumah yang pencahayaannya cukup terang. Biasanya mereka membatik di dekat pintu atau di samping rumah dengan dingklik dan gawangan seadanya. Pemandangan ini hanya akan kita temukan dari pagi hingga sore hari. Menjelang gelap, sangat jarang para pembatik menekuni pekerjaannya karena factor penerangan.
Batik memang telah menjadi aktivitas harian para perempuan di Girilaya. Menurut mereka, “menawi sedinten mboten nyerat kok rasane nggih malah pegel-pegel (kalo sehari saja tidak membatik tubuh rasanya tidak enak)”. Pernyataan ini membuktikan bahwa batik benar-benar sudah mengakar dalam kehidupan mereka. Batik tidak sekedar untuk mencari uang belaka namun merupakan wujud kecintaan terhadap warisan nenek moyang dan nilai-nilai tradisi merupakan alasan yang utama.
Apabila dilihat dari sisi penghasilan, pekerjaan membatik tidaklah cukup mengguntungkan. Mereka mengatakan, “Penghasilane pancen mboten kathah ning kok nggih cekap terus. Saged kagem jajan lare-lare (penghasilannya memang tidak banyak namun tetap saja terasa cukup. Bisa untuk jajan anak-anak).” Begitulah hidup, berapapun yang kita dapatkan asalkan selalu bersyukur pasti akan terasa cukup. Inilah nilai-nilai kesederhanaan yang ditunjukkan oleh masyarakat seperti mereka. Tidak heran bahwa batik memang telah mendarah daging. Penghasilan yang tidak besar bukanlah sebagai penghalang untuk tidak menekuni batik karena bagi mereka batik telah menjadi urat nadi kehidupan para perempuan di sana. Mereka mengatakan akan terus membatik hingga tidak sanggup membatik lagi. Biasanya para pembatik akan berhenti membatik ketika koordinasi antara tangan dan mata tidak lagi bagus.

Belajar dari Pembatik
Batik memang unik. Seiring dengan perkembangan jaman, batik menjadi sesuatu yang terus berkembang dan telah mengalami masa pasang surut yang cukup dinamis. Dahulu batik selalu identik dengan yang namanya handmade alias kerajinan tangan sehingga sangat layak dihargai dengan nilai ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Kini hanya dengan uang sepuluh ribu rupiah, masyarakat sudah merasa memakai batik. Tapi tahukah jika tidak semua batik yang ada dipasaran adalah batik?
Batik yang sebenarnya ada 3 jenis yaitu batik tulis (handmade), batik cap dan batik cap yang dikombinasikan dengan tulis (pembatik di Girilaya menyebutnya sebagai batik pecelan). Batik tulis murni dibuat dengan goresan canting dan menggunakan malam. Murni merupakan ketrampilan tangan si pembuat sehingga terkadang meskipun dengan motif sama, namun hasilnya bisa berbeda jika dikerjakan oleh dua orang yang berbeda misalnya dari goresan canting, kerapian dan lain sebagainya. Dari sisi pembuatannya juga memakan waktu lama. Selembar kain bisa dibatik (belum proses warna) selama ± 2 minggu. Ini baru pembatikan tahap pertama karena setelah diwarna biasanya akan dibatik lagi untuk memberi hiasan (isen-isen atau menutup bagian yang tidak ingin diwarnai).
Batik cap dibuat dengan menggunakan media cap dan malam/lilin. Dibutuhkan ketrampilan tangan untuk bisa mengecap dengan baik dan teratur. Biasanya batik cap dibuat secara masal dan dengan harga yang cukup terjangkau oleh konsumen. Sayangnya tidak semua motif tradisional bisa dibuat dengan media cap. Biasanya motif yang bisa dibuat dengan cap adalah motif batik simetris.
Batik pecelan dibuat dengan cara dicap dahulu baru kemudian isen-isen (isian) dibatik dengan menggunakan canting. Harga batik pecelan berada di antara harga batik cap dengan batik tulis. Batik pecelan bisa juga diproduksi secara masal.
Nah….batik yang selama ini diakui sebagai batik dengan harga murah meriah sebenarnya bukan batik tapi.…tekstil dengan motif batik. Tidak bisa disebut dengan batik karena jenis yang satu ini tidak menggunakan malam/lilin untuk pembuatannya (ini menurut beberapa pakar lho)….tapi menggunakan tinta/warna biasa dengan cara seperti ketika kita ngeprint kertas…gitu ceritanya. Kelebihan jenis ini, karena dibuat oleh mesin, maka bisa membuat/meniru dengan sama persis motif-motif batik yang ada. Bahkan kesannya terlalu sempurna. Motif yang tidak bisa dibuat dengan cara dicap semua dengan lancar bisa dibuat dengan cara ini dan bisa dihasilkan produk masal dalam waktu relative singkat. Makanya harganya jadi murah karena bukan handmade sih tapi mesin yang membuat. Dengan cara ini, makanya bisa dihargai dari mulai Rp 10.000 hingga Rp 50.000 tergantung bahan dan mode. Jenis yang seperti inilah yang laris manis dipasaran…dan diklaim sebagai batik.
Bukan sebuah kesalahan jika kita menggunakan tekstil dengan motif batik. Bisa dimaklumi karena harga batik yang sesungguhnya terkadang bikin kantong kering. Harga batik tulis ataupun cap yang harganya di atas Rp 100.000 sebenarnya wajar karena sebanding dengan lamanya proses pembuatan dan kerumitannya serta nilai seninya yang tinggi. Jadi kalau benar-benar menyukai dan peduli gak ada salahnya sekali-kali membeli batik yang benar-benar batik….

Tips membedakan jenis batik
Salah satu manfaat mendampingi masyarakat Girilaya adalah kita bisa belajar membedakan mana batik yang asli dan mana tekstil dengan motif batik. Kain batik yang asli biasanya harganya mahal (diatas Rp 100.000 an tapi ini tidak bisa dijadikan patokan karena bisa jadi pedagangnya yang curang). Bisa jadi tekstil dengan motif batik dijual dengan harga mahal. Oleh karena itu perlu dicermati secara mendalam jika ingin membeli batik. Kata para ibu-ibu pembatik di Girilaya, batik tulis yang asli biasanya terlihat dari coretan-coretan yang justru tidak sempurna dan tidak mengkilap serta tembus ke bagian bawah (tapi tergantung kualitas batikannya juga sih karena ada juga batik tulis yang tidak tembus hingga ke bagian bawah kain biasanya merupakan batik kasar). Bisa juga dilihat dari kerumitan motif. Kalau untuk batik cap, biasanya motifnya lebih terbatas dibandingkan dengan batik tulis karena untuk kain batik dengan motif lung-lungan jarang dibuat dengan menggunakan cap karena motifnya yang kebanyakan berupa sulur-sulur panjang. Pada batik cap juga bisa ditandai dengan adanya batas imajiner antara satu cap dengan cap yang lain dalam satu lembar kain. Selembar kain batik cap bisa dihargai dari Rp 130.000 ke atas tergantung motif dan jenis kain.
Kalau untuk membedakan batik tulis dan batik cap dengan tekstil dengan motif batik (kata-kata ibu-ibu pembatik lho) cukup mudah ……meski ketika dipraktekkan lumayan membingungkan hehehehe. Untuk membedakannya cukup dengan cara, pertama mengkilat tidaknya kain. Kain dengan motif batik biasanya mengkilat karena tidak menggunakan malam namun dengan tinta warna. Kedua, kesempurnaan motif. Logikanya seperti ini. Motif yang dibuat dengan mesin, memiliki tingkat kesempurnaan yang tinggi. Bahkan tanpa cacat cela. Kalau buatan tangan tentu tergantung dengan goresan tangan si pembatik karena berkaitan dengan rasa. Selain itu batik handmade biasanya juga memiliki motif yang lebih detail. Ketiga, lihat dibagian belakang kain, apakah gambar dan warna hanya di satu sisi kain saja atau tidak. Jika hanya di satu sisi kain (tidak tembus bagian belakang), bisa dipastikan merupakan kain dengan motif batik. Batik yang dibuat dengan canting biasanya tembus hingga ke sisi kain yang lain sehingga di kedua sisinya memiliki gambar dan warna yang sama. Pada batik tulis ada proses yang dinamakan nerusi yang intinya membatik di sisi belakang kain yang tidak tembus oleh malam/lilin. Lilin/malam yang digoreskan ketika memiliki kadar panas yang cukup matang dan kualitas malam yang cukup bagus biasanya akan langsung tembus hingga ke sisi lain. Namun adakalanya lilin tidak tembus sehingga harus melalui proses nerusi. Tapi inipun tidak menjadi jaminan bisa membedakan antara kain batik dengan tekstil dengan motif batik karena perkembangan akhir-akhir ini tekstil batik juga mulai dibuat sesempurna mungkin sehingga sulit dibedakan dengan batik yang benar-benar batik. Jika ingin batik dengan beragam aplikasi dan berinteraksi langsung dengan para pembatik datang saja langsung ke Girilaya. Dijamin batik yang benar-benar batik saja yang akan diperoleh di sana dengan beragam motif dan harga. Tergantung kemauan dan kemampuan
Girilaya: Dusun Batik dengan banyak Potensi
Girilaya merupakan sebuah dusun yang cukup menarik. Selain dikenal sebagai dusun batik, sejak awal Girilaya juga dikenal karena tradisi gurah. Banyak pegurah dari Girilaya yang cukup terkenal hingga luar kota (Jakarta dsb) sehingga terkadang ada artis ibukota yang sengaja datang ke dusun ini hanya untuk melakukan gurah. Sayang sekali era keemasan gurah sudah mulai pudar. Gurah menjadi primadona tahun 1990 an. Kini meskipun bisnis ini tidak lagi seramai dahulu namun gurah tetap digeluti warga.
Selain gurah, dusun ini juga sering dikunjungi untuk berziarah. Keberadaan makam Sunan Cirebon menjadikan Girilaya memiliki potensi yang cukup lengkap untuk dijadikan tujuan wisata.
Dari sisi geografis, Girilaya juga memiliki pemandangan yang cukup menarik. Letak dusun yang berada di lereng perbukitan, rumah-rumah yang tertata cukup rapi di sepanjang kanan dan kiri jalan dusun, rindangnya pepohonan memberikan kesan khas kehidupan pedesaan yang asri. Nah berkaitan dengan batik, kita juga bisa belajar membatik di sini serta melihat proses pembatikan mulai dari membatik hingga pewarnaan. Gurunya cukup terpercaya karena merupakan pembatik yang sudah mumpuni dibidangnya. Gak ada salahnya berkunjung ke dusun ini karena selain bisa berjalan-jalan menikmati pemandangan alam dan wisata ritual, bisa juga menambah pengetahuan tentang batik…jalan-jalan tidak sekedar jalan-jalan belaka tapi juga belajar sambil ikut serta melestarikan warisan budaya yang adiluhung hehehehehehe…tumben bijak…..wakakakak…………………merasakan susahnya membatik akan membuat kita menghargai batik dan menghargai masyarakat kecil yang memiliki kesetiaan terhadap warisan nenek moyang karena bagi mereka batik adalah untuk hidup dan hidup adalah untuk batik………………………………

Tuesday, January 4, 2011

Suku Laut : Berita Duka dari Seberang




Hari ketiga di bulan maret 2010. Dari seberang laut terkirim kabar, seorang gadis kecil suku Laut meninggal. Namanya Sumi. Seorang anak yang lucu dengan pipi tembem, rambut poni, mata bulat dan berkulit hitam. Ia baru menjalani hidup hampir selama dua setengah tahun. Usia yang masih sangat muda untuk pergi tapi mungkin itulah jalan yang terbaik.
Menurut berita, ia meninggal di hari pertama bulan Maret. Entah sakit apa yang membuatnya bisa meninggal. Nodi, sang kakak hanya berkata, Sumi kecil meninggal setelah mengalami panas dan jantungnya berdebar-debar selama beberapa hari. Keluarganya sudah berusaha membawanya ke Puskesmas yang terletak di seberang tempat tinggal mereka. Namun dokter tidak sanggup merawat Sumi dan merujuknya ke rumah sakit di Tanjung Pinang. Sayang, Sumi kecil keburu meninggal.
Di kunjungan terakhir masih teringat jelas Sumi kecil menangis dan tertawa atau merengek minum susu. Dibandingkan anak-anak suku Laut yang lain, Sumi cukup beruntung, ia bisa minum susu kaleng meskipun encer.
Kepergian Sumi kecil adalah sebuah hal yang lumrah. Kematian bisa datang kapan saja dengan berbagai sebab. Namun sebenarnya dibalik kepergian Sumi kecil terdapat fakta bahwa masih banyak masyarakat seperti suku Laut yang belum mendapatkan akses kesehatan yang layak.
Pemerintah memang sudah memberikan fasilitas seperti Jamkesmas (entah apa sekarang namanya….mungkin sudah berubah lagi) namun fasilitas ini tanpa didukung adanya pengetahuan mengenai hidup sehat (ini tidak hanya terjadi di kalangan komunitas suku namun juga terjadi di masyarakat lain yang notabene memiliki kehidupan dan pengetahuan yang jauh lebih baik). Ada di antara mereka yang hanya menyimpan kartu tersebut dan tidak menggunakannya kala sakit. Sikap ini selain disebabkan belum adanya kesadaran untuk mengakses fasilitas kesehatan (kurangnya pengetahuan) juga disebabkan kondisi social budaya. Masih ada beberapa kelompok suku Laut yang jauh lebih percaya dengan pengobatan tradisional (dukun) yang diyakini mampu memberikan penjelasan sebab musabab penyakit.
Masih segar dalam ingatan di penghujung 2008, kami berkenalan dengan seorang perempuan suku Laut yang masih bertahan hidup/tinggal di dalam sampan. Ia baru saja melahirkan. Kondisi perempuan dan anaknya sangat sehat. Ibu itu juga sudah beraktivitas seperti biasa. Namun pada kedatangan kami yang kedua – selang beberapa bulan, awal 2009) ternyata perempuan itu sudah meninggal. Entah bagaimana nasib mereka. Kami tidak lagi bertemu dengan keluarga itu lagi karena mereka telah berkelana entah kemana dengan sampan.
Tingkat kematian suku Laut memang belum diketahui. Namun fakta-fakta tersebut membuktikan bahwa kemungkinan angka kematian di kalangan suku Laut cukup tinggi. Sayangnya belum ada studi mengenai hal tersebut.
Sumi kecil sudah tiada. Semoga tidak ada lagi Sumi-Sumi lain yang menyusul. Sampai kini masih teringat jelas bagaimana Sumi berceloteh dan bermain bersama kami.....selamat jalan Sumi…….

Awal Maret 2009

Suku Laut : Sejuta Bintang di Temiang

Mau melihat jutaan bintang di langit? Datanglah ke tempat yang belum terkena polusi cahaya. Salah satunya di Pulau Temiang yang berada di Kepulauan Riau. Penggunaan cahaya (baca listrik) yang masih minimalis di komunitas suku laut maupun masyarakat melayu menyebabkan langit malam di pulau ini terasa begitu indah. Jika cuaca cerah kita bisa melihat jutaan bintang. Kalo mau melihat bintang jatuh disinilah tempat yang cocok. Selama 3 jam di bawah langit malam Temiang, kami melihat 3 kali bintang jatuh (atau bintang pindah, atau benda langit yang lain??entahlah yang penting keren abis). Kata orang-orang, kalo melihat bintang jatuh buatlah permohonan. Alhasil selama 3 kali melihat bintang jatuh yang ada hanyalah terkagum-kagum tanpa make a wish. Maklumlah jarang bisa melihat bintang jatuh sih. Apalagi di Jakarta yang memiliki polusi cahaya yang cukup tinggi. Langit Jakarta bukan lagi dipenuhi oleh taburan bintang tapi dipenuhi asap kendaraan, asap pabrik dan pendar cahaya yang berasal dari penerangan yang dipakai masyarakat.

Bagi orang laut di belahan pulau yang lain, bintang dijadikan pemandu ketika mereka berada di lautan luas. Dengan bintang mereka bisa mengetahui arah mata angin. Bagi kita terkadang bintang hanyalah sekedar bintang. Benda langit yang terlihat berkelip jika di lihat dari bumi. Keindahannya telah terkalahkan oleh gemerlap lampu listrik. Akibatnya bintang tidak lagi menjadi “bintang” di kalangan masyarakat perkotaan. Bahkan cenderung di lupakan.

Penggunaan lampu di kota-kota besar memang menjadikan kota begitu indah. Tapi keindahan tersebut tidak akan sebanding dengan jutaan bintang yang bertaburan di kelam malam. Kita bisa melihat kelap-kelip bintang di langit atau pesawat yang melintas di angkasa. Kadang kita bisa mencari rasi bintang yang ada di langit. Sangat indah dan akan semakin membuat kita merasakan betapa kecilnya kita di hadapan Sang Pencipta.

Tidak bisa dibayangkan bagi orang yang tidak terbiasa hidup tanpa lampu listrik. Kegelapan adalah suatu siksaan. Padahal di balik kegelapan masih ada kehidupan lain yang tidak kita sadari. Masih ada binatang-binatang malam (nocturnal) yang hidup dalam kegelapan dan pastinya akan terganggu ketika kegelapan tersebut terdistorsi oleh gemerlapnya lampu listrik.
Di Temiang, jutaan bintang masih bisa dinikmati kala langit cerah. Apalagi ketika kita bisa menikmatnya dengan berbaring di atas sampan sambil dibuai oleh alunan ombak. Temiang akan selalu menjadi tempat yang tidak akan dilupakan. Begitu indah…..

Suku Laut : Catatan awal perjalanan

Akhir Oktober 2008 – Awal Desember 2008



Laut. Tidak terbayang sebelumnya bahwa petualangan berikutnya ternyata berhubungan dengan laut. Jika dua perjalanan yang lalu selalu berhubungan dengan darat dan sedikit kombinasi air (sungai maksudnya), kini kami harus berhadapan dengan dunia bahari. Dunia yang cukup mengerikan bagi siapa saja yang tidak bisa berenang dan takut akan air. Itulah yang dirasakan.
Laut adalah misteri. Gelombang, kapal tenggelam, angin ribut, badai dan lain sebagainya menghantui perjalanan kali ini. Kita tidak akan pernah tau apa yang akan terjadi ketika berada di lautan. Di titik akhir, bersikap pasrah adalah hal utama yang harus dimiliki karena tak ada seorangpun yang bisa menduga terjadinya perubahan cuaca yang seringkali datang tanpa diundang.
Perjalanan di awali dari Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Tanjung Pinang adalah kota kecil di Pulau Bintan yang cukup padat. Sebagai kota yang cukup padat dengan lalu lalang orang – maklumlah karena merupakan kota transit, Tanjung Pinang penuh dengan hotel, pertokoan dan pusat bisnis yang lain. Orang-orang dari Batam, Singapura, Malaysia banyak berdatangan di kota ini untuk berbisnis.
Dari kota kecil Tanjung Pinang, perjalanan dilanjutkan dengan naik kapal (sering disebut sebagai speed) dari pelabuhan Sri Tanjung Pura menuju kecamatan Senayang. Butuh waktu 3-4 jam untuk menuju lokasi ini. Setelah terbanting-banting selama perjalanan di atas kapal, akhirnya kami sampai di pelabuhan Senayang.
Senayang merupakan kota kecamatan. Kami menyebutnya Indonesia kecil. Mengapa?multi etnis tinggal di sini dan melakukan pembauran. Mereka hidup berdampingan secara damai. Symbol keagamaan juga menunjukkan toleransi yang cukup tinggi. Klenteng, gereja, masjid saling berdampingan di wilayah yang panjangnya hanya 14 km ini. Jalan-jalan dibangun mengelilingi dan membelah kampung dengan pemukiman warga disebelah kanan dan kiri jalan. Fasilitas umum juga cukup lengkap mulai dari kantor pos, kantor pemerintahan, PLN, sekolah, penginapan, puskesmas rawat inap hingga menara dua provider telekomunikasi ada di pulau ini.
Keindahan Senayang masih ditambah dengan pantai pasir putih yang berada di sisi belakang pulau ini. Setiap sabtu dan minggu, pantai ini akan ramai oleh anak muda maupun keluarga yang ingin bersantai. Secara keseluruhan, Senayang adalah kota kecamatan yang cukup menyenangkan.
Mengurus perijinan dan mengumpulkan data mengenai kehidupan suku laut adalah tugas utama di kecamatan ini. Di Senayang memang tinggal satu keluarga suku laut yang telah tinggal menetap dan menganut agama tertentu. Bersama Pak Amun, kami memperoleh banyak data mengenai kehidupan suku laut. Pak Amun jugalah yang mengajak kami berkeliling ke Pulau kentar, tempat dimana salah satu kelompok suku laut bermukim. Pak Amun juga memberi kesempatan kami untuk bermalam di kelong (tempat menangkap ikan) miliknya. Terkena angin ribut di kelong, melihat pengambilan ikan di kelong adalah pengalaman yang kami peroleh di sana. Sebenarnya pengalaman pertama bertemu suku laut adalah ketika kami bertemu dengan rombongan dari Tajur Biru yang berkelam (bersampan selama beberapa hari untuk menangkap ikan)di pulau Ibu Hile. Kesan pertama bertemu suku laut adalah mereka sangat ramah.
Agenda selanjutnya adalah mengunjungi suku laut yang ada di Pulau Linau dan mengunjungi dapur arang di Pulau Manic. Dengan diantar Pak Awing, seorang nelayan melayu, kami pergi ke dua lokasi ini. Sayangnya dapur arang telah ditutup oleh pemerintah karena mengganggu ekosistem bakau sehingga kami tidak memperoleh data pengolahan dapur arang. Tapi tak apalah, setidaknya sedikit kami mendapatkan gambaran tentang pengolahan bakau menjadi arang.
Perjalanan berikutnya, mengunjungi suku laut yang tinggal di Pulau Kongki. Keramahan suku laut sangat terasa di wilayah ini. Mereka tinggal di tengah-tengah bakau sehingga terlidung dari angin. Transfer pengetahuanpun dimulai. Tak terasa, sehari telah berlalu sehingga kamipun akhirnya harus pulang. Di tengah perjalanan, tiba-tiba cuca buruk datang. Gelombang laut cukup tinggi dan membuat kami merasa ketakutan. Akhirnya pelampungpun dipakai. Hampir satu jam kami terombang-ambing ditengah laut. Ternyata ini merupakan fenomena yang biasa terjadi. Menurut suku laut, sebagai pendatang baru, laut ingin berkenalan dengan kami.
Selanjutnya, Senayang ditinggalkan dan beralih ke Pulau Temiang di Desa Tajur Biru. Perjalanan dilakukan dengan pompong meski speed juga lewat desa ini. Perjalanan menuju temiang dilalui hampir selama 2 jam. Meski berangkat jam 8 pagi namun ternyata kami masih harus terpanggang teriknya matahari. Suhu di tengah laut mencapai 40 derajat celcius. Sangat panas dan membuat pusing. Namun akhirnya perjalanan selesai sudah. Kami menginap di rumah Pak Akob di Tajur Biru.
Tiga minggu lamanya, kami tinggal di komunitas suku laut yang telah menetap dan menganut satu agama tertentu. Menangkap ikan diwaktu malam, mengambil hasil hutan seperti rotan, berkayu, menjual hasil tangkapan adalah aktivitas yang dilakukan sehari-hari. Sedikit membosankan karena mobilitas kami bergantung dengan sampan padahal kami tidak bisa bersampan. Beberapa kali mencoba namun tetap tidak bisa juga. Untuk mengunjungi tetanggapun harus dilakukan dengan sampan karena tidak ada pelantar (jembatan dari kayu untuk menghubungkan dari rumah-ke rumah, berfungsi sebagai jalan). Hiburan kami satu-satunya adalah nongkrong di waktu malam di luar rumah dan memandang langit yang bertabur jutaan bintang. Terkadang bisa juga nonton tivi tapi karena yang dilihat adalah sinetron yang penuh adegan saling teriak dan memelototkan mata akhirnya kami lebih memilih untuk dekat dengan alam. Ternyata mereka sangat menyukai sinetron laga yang ditayangkan oleh TPI maupun Indosiar. Kadang-kadang mereka nonton film bajakan yang mereka beli di pasar terdekat.
bersama partner dan anak-anak laut
Live in selama 3 minggu bersama suku laut merupakan hal yang aneh di mata masyarakat melayu. Ketika bertemu kami mereka selalu bertanya apakah kami tidak takut dipelet/diguna-guna? Bagaimana kalau akhirnya kami tidak bisa pulang? Pertanyaan itu terus mereka pertanyakan dan selalu saja kami jawab dengan mengatakan kami tidak takut. Memang image yang terbentuk selama ini begitu menyudutkan suku laut. Bagi mereka yang tidak berinteraksi dengan suku laut secara langsung, anggapan bahwa suku laut jorok dan suka mengguna-guna orang memang masih ada. Padahal begitu dekat dengan suku Laut, semua stigma negative itu tidak benar adanya. Mereka adalah suku bangsa yang ramah dan baik meskipun lebih sering merasa rendah diri.
Ketika kami harus pulang lagi ke Jakarta, ada sesuatu yang hilang. Kebersamaan dengan suku Laut sangatlah membekas di hati. Keinginan untuk kembali lagi ke sana selalu ada. Keindahan alam dan keramahan Suku Laut adalah hal yang paling menarik untuk bisa kembali. Yang lebih penting, ada begitu banyak hal yang masih harus dipelajari terutama tentang kehidupan mereka sebagai pengelana laut……..