Wednesday, January 5, 2011

Girilaya : Serba-serbi Batik

Catatan perjalanan Agustus 2007 – Juli 2008

Booming batik akhir-akhir ini begitu luar biasa. Di setiap sudut, di segala waktu, batik telah menjadi pakaian wajib yang dikenakan. Aneka gaya, model dan motif yang ditawarkan menjadikan batik terasa nyaman dipakai. Padahal dahulu batik identik dengan kesan formal, kuno dan berkesan orang tua. Kini batik bisa dipakai mulai dari balita hingga orang tua, laki-laki atau perempuan tidak sungkan lagi mengenakan batik baik untuk acara formal maupun informal (sekedar jalan-jalan dsb). Namun setelah masa booming itu berlalu, kini pemakaian batik dalam keseharian mulai terlihat berkurang…ya betul…selera masyarakat memang ditentukan oleh waktu…hanya mereka yang setia pada batik sajalah yang tetap memakai batik tanpa terikat waktu dan tempat.
Saya sendiri dahulu tidak tahu betul tentang batik. Setahu saya, dipasar Beringharjo, Yogyakarta, dijual batik mulai harga Rp 10.000 hingga kisaran ratusan ribu rupiah. Dalam benak saya, semua yang djual di pasar beringharjo adalah batik yang kata orang adalah kain khas/tradisional dan wajib serta harus dilestarikan. Tapi ternyata tidak semua batik adalah batik..nah lho……
Berinteraksi dengan para pembatik di dusun Girilaya hampir selama satu tahun lamanya bersama Jogja Heritage Society dan AIP merupakan pengalaman yang luar bisa. Kesederhanaan pola pikir, keterbukaan dan keramahan masyarakat Girilaya merupakan pembelajaran hidup yang tidak akan terlupakan.

Batik untuk hidup dan hidup untuk batik
Kesetiaan masyarakat Girilaya terhadap batik tidak perlu lagi diragukan. Dari jaman nenek moyang tradisi membatik terus mengakar hingga kini. Para pembatik yang mayoritas perempuan (bahkan hampir semua) menggeluti batik mulai dari kanak-kanak. Ada yang memulai membatik dari umur 8 tahun hingga kini berumur 60 tahun masih terus setia pada batik. Regenerasi usaha batik ini terus dilakukan hingga sekarang. Anak-anak mulai dikenalkan untuk mencintai batik dari dini agar tradisi batik di dusun ini tidak hilang oleh waktu.
Jika kita berjalan-jalan mengelilingi dusun, para perempuan yang sedang membatik merupakan pemandangan umum disana. Dengan peralatan yang cukup sederhana mereka membatik di emperan rumah maupun di sudut-sudut rumah yang pencahayaannya cukup terang. Biasanya mereka membatik di dekat pintu atau di samping rumah dengan dingklik dan gawangan seadanya. Pemandangan ini hanya akan kita temukan dari pagi hingga sore hari. Menjelang gelap, sangat jarang para pembatik menekuni pekerjaannya karena factor penerangan.
Batik memang telah menjadi aktivitas harian para perempuan di Girilaya. Menurut mereka, “menawi sedinten mboten nyerat kok rasane nggih malah pegel-pegel (kalo sehari saja tidak membatik tubuh rasanya tidak enak)”. Pernyataan ini membuktikan bahwa batik benar-benar sudah mengakar dalam kehidupan mereka. Batik tidak sekedar untuk mencari uang belaka namun merupakan wujud kecintaan terhadap warisan nenek moyang dan nilai-nilai tradisi merupakan alasan yang utama.
Apabila dilihat dari sisi penghasilan, pekerjaan membatik tidaklah cukup mengguntungkan. Mereka mengatakan, “Penghasilane pancen mboten kathah ning kok nggih cekap terus. Saged kagem jajan lare-lare (penghasilannya memang tidak banyak namun tetap saja terasa cukup. Bisa untuk jajan anak-anak).” Begitulah hidup, berapapun yang kita dapatkan asalkan selalu bersyukur pasti akan terasa cukup. Inilah nilai-nilai kesederhanaan yang ditunjukkan oleh masyarakat seperti mereka. Tidak heran bahwa batik memang telah mendarah daging. Penghasilan yang tidak besar bukanlah sebagai penghalang untuk tidak menekuni batik karena bagi mereka batik telah menjadi urat nadi kehidupan para perempuan di sana. Mereka mengatakan akan terus membatik hingga tidak sanggup membatik lagi. Biasanya para pembatik akan berhenti membatik ketika koordinasi antara tangan dan mata tidak lagi bagus.

Belajar dari Pembatik
Batik memang unik. Seiring dengan perkembangan jaman, batik menjadi sesuatu yang terus berkembang dan telah mengalami masa pasang surut yang cukup dinamis. Dahulu batik selalu identik dengan yang namanya handmade alias kerajinan tangan sehingga sangat layak dihargai dengan nilai ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Kini hanya dengan uang sepuluh ribu rupiah, masyarakat sudah merasa memakai batik. Tapi tahukah jika tidak semua batik yang ada dipasaran adalah batik?
Batik yang sebenarnya ada 3 jenis yaitu batik tulis (handmade), batik cap dan batik cap yang dikombinasikan dengan tulis (pembatik di Girilaya menyebutnya sebagai batik pecelan). Batik tulis murni dibuat dengan goresan canting dan menggunakan malam. Murni merupakan ketrampilan tangan si pembuat sehingga terkadang meskipun dengan motif sama, namun hasilnya bisa berbeda jika dikerjakan oleh dua orang yang berbeda misalnya dari goresan canting, kerapian dan lain sebagainya. Dari sisi pembuatannya juga memakan waktu lama. Selembar kain bisa dibatik (belum proses warna) selama ± 2 minggu. Ini baru pembatikan tahap pertama karena setelah diwarna biasanya akan dibatik lagi untuk memberi hiasan (isen-isen atau menutup bagian yang tidak ingin diwarnai).
Batik cap dibuat dengan menggunakan media cap dan malam/lilin. Dibutuhkan ketrampilan tangan untuk bisa mengecap dengan baik dan teratur. Biasanya batik cap dibuat secara masal dan dengan harga yang cukup terjangkau oleh konsumen. Sayangnya tidak semua motif tradisional bisa dibuat dengan media cap. Biasanya motif yang bisa dibuat dengan cap adalah motif batik simetris.
Batik pecelan dibuat dengan cara dicap dahulu baru kemudian isen-isen (isian) dibatik dengan menggunakan canting. Harga batik pecelan berada di antara harga batik cap dengan batik tulis. Batik pecelan bisa juga diproduksi secara masal.
Nah….batik yang selama ini diakui sebagai batik dengan harga murah meriah sebenarnya bukan batik tapi.…tekstil dengan motif batik. Tidak bisa disebut dengan batik karena jenis yang satu ini tidak menggunakan malam/lilin untuk pembuatannya (ini menurut beberapa pakar lho)….tapi menggunakan tinta/warna biasa dengan cara seperti ketika kita ngeprint kertas…gitu ceritanya. Kelebihan jenis ini, karena dibuat oleh mesin, maka bisa membuat/meniru dengan sama persis motif-motif batik yang ada. Bahkan kesannya terlalu sempurna. Motif yang tidak bisa dibuat dengan cara dicap semua dengan lancar bisa dibuat dengan cara ini dan bisa dihasilkan produk masal dalam waktu relative singkat. Makanya harganya jadi murah karena bukan handmade sih tapi mesin yang membuat. Dengan cara ini, makanya bisa dihargai dari mulai Rp 10.000 hingga Rp 50.000 tergantung bahan dan mode. Jenis yang seperti inilah yang laris manis dipasaran…dan diklaim sebagai batik.
Bukan sebuah kesalahan jika kita menggunakan tekstil dengan motif batik. Bisa dimaklumi karena harga batik yang sesungguhnya terkadang bikin kantong kering. Harga batik tulis ataupun cap yang harganya di atas Rp 100.000 sebenarnya wajar karena sebanding dengan lamanya proses pembuatan dan kerumitannya serta nilai seninya yang tinggi. Jadi kalau benar-benar menyukai dan peduli gak ada salahnya sekali-kali membeli batik yang benar-benar batik….

Tips membedakan jenis batik
Salah satu manfaat mendampingi masyarakat Girilaya adalah kita bisa belajar membedakan mana batik yang asli dan mana tekstil dengan motif batik. Kain batik yang asli biasanya harganya mahal (diatas Rp 100.000 an tapi ini tidak bisa dijadikan patokan karena bisa jadi pedagangnya yang curang). Bisa jadi tekstil dengan motif batik dijual dengan harga mahal. Oleh karena itu perlu dicermati secara mendalam jika ingin membeli batik. Kata para ibu-ibu pembatik di Girilaya, batik tulis yang asli biasanya terlihat dari coretan-coretan yang justru tidak sempurna dan tidak mengkilap serta tembus ke bagian bawah (tapi tergantung kualitas batikannya juga sih karena ada juga batik tulis yang tidak tembus hingga ke bagian bawah kain biasanya merupakan batik kasar). Bisa juga dilihat dari kerumitan motif. Kalau untuk batik cap, biasanya motifnya lebih terbatas dibandingkan dengan batik tulis karena untuk kain batik dengan motif lung-lungan jarang dibuat dengan menggunakan cap karena motifnya yang kebanyakan berupa sulur-sulur panjang. Pada batik cap juga bisa ditandai dengan adanya batas imajiner antara satu cap dengan cap yang lain dalam satu lembar kain. Selembar kain batik cap bisa dihargai dari Rp 130.000 ke atas tergantung motif dan jenis kain.
Kalau untuk membedakan batik tulis dan batik cap dengan tekstil dengan motif batik (kata-kata ibu-ibu pembatik lho) cukup mudah ……meski ketika dipraktekkan lumayan membingungkan hehehehe. Untuk membedakannya cukup dengan cara, pertama mengkilat tidaknya kain. Kain dengan motif batik biasanya mengkilat karena tidak menggunakan malam namun dengan tinta warna. Kedua, kesempurnaan motif. Logikanya seperti ini. Motif yang dibuat dengan mesin, memiliki tingkat kesempurnaan yang tinggi. Bahkan tanpa cacat cela. Kalau buatan tangan tentu tergantung dengan goresan tangan si pembatik karena berkaitan dengan rasa. Selain itu batik handmade biasanya juga memiliki motif yang lebih detail. Ketiga, lihat dibagian belakang kain, apakah gambar dan warna hanya di satu sisi kain saja atau tidak. Jika hanya di satu sisi kain (tidak tembus bagian belakang), bisa dipastikan merupakan kain dengan motif batik. Batik yang dibuat dengan canting biasanya tembus hingga ke sisi kain yang lain sehingga di kedua sisinya memiliki gambar dan warna yang sama. Pada batik tulis ada proses yang dinamakan nerusi yang intinya membatik di sisi belakang kain yang tidak tembus oleh malam/lilin. Lilin/malam yang digoreskan ketika memiliki kadar panas yang cukup matang dan kualitas malam yang cukup bagus biasanya akan langsung tembus hingga ke sisi lain. Namun adakalanya lilin tidak tembus sehingga harus melalui proses nerusi. Tapi inipun tidak menjadi jaminan bisa membedakan antara kain batik dengan tekstil dengan motif batik karena perkembangan akhir-akhir ini tekstil batik juga mulai dibuat sesempurna mungkin sehingga sulit dibedakan dengan batik yang benar-benar batik. Jika ingin batik dengan beragam aplikasi dan berinteraksi langsung dengan para pembatik datang saja langsung ke Girilaya. Dijamin batik yang benar-benar batik saja yang akan diperoleh di sana dengan beragam motif dan harga. Tergantung kemauan dan kemampuan
Girilaya: Dusun Batik dengan banyak Potensi
Girilaya merupakan sebuah dusun yang cukup menarik. Selain dikenal sebagai dusun batik, sejak awal Girilaya juga dikenal karena tradisi gurah. Banyak pegurah dari Girilaya yang cukup terkenal hingga luar kota (Jakarta dsb) sehingga terkadang ada artis ibukota yang sengaja datang ke dusun ini hanya untuk melakukan gurah. Sayang sekali era keemasan gurah sudah mulai pudar. Gurah menjadi primadona tahun 1990 an. Kini meskipun bisnis ini tidak lagi seramai dahulu namun gurah tetap digeluti warga.
Selain gurah, dusun ini juga sering dikunjungi untuk berziarah. Keberadaan makam Sunan Cirebon menjadikan Girilaya memiliki potensi yang cukup lengkap untuk dijadikan tujuan wisata.
Dari sisi geografis, Girilaya juga memiliki pemandangan yang cukup menarik. Letak dusun yang berada di lereng perbukitan, rumah-rumah yang tertata cukup rapi di sepanjang kanan dan kiri jalan dusun, rindangnya pepohonan memberikan kesan khas kehidupan pedesaan yang asri. Nah berkaitan dengan batik, kita juga bisa belajar membatik di sini serta melihat proses pembatikan mulai dari membatik hingga pewarnaan. Gurunya cukup terpercaya karena merupakan pembatik yang sudah mumpuni dibidangnya. Gak ada salahnya berkunjung ke dusun ini karena selain bisa berjalan-jalan menikmati pemandangan alam dan wisata ritual, bisa juga menambah pengetahuan tentang batik…jalan-jalan tidak sekedar jalan-jalan belaka tapi juga belajar sambil ikut serta melestarikan warisan budaya yang adiluhung hehehehehehe…tumben bijak…..wakakakak…………………merasakan susahnya membatik akan membuat kita menghargai batik dan menghargai masyarakat kecil yang memiliki kesetiaan terhadap warisan nenek moyang karena bagi mereka batik adalah untuk hidup dan hidup adalah untuk batik………………………………

No comments:

Post a Comment