Showing posts with label suku laut. Show all posts
Showing posts with label suku laut. Show all posts

Sunday, December 16, 2012

Berita dari Laut

Mamok dan seragam

Mamok kembali ke sekolah! Senang rasanya mendengar berita ini. Yosep, anak laut yang selama ini selalu rajin menghubungiku, membagi berita ini melalui telepon. Setelah sempat absen cukup lama dan menyatakan tidak mau sekolah, akhirnya Mamok mau belajar di sekolah lagi.  Mamok dan Yosep adalah dua dari dua belas anak laut yang mulai mengenyam pendidikan formal angkatan pertama di kelompok suku Laut Tajur Biru. Mereka mulai sekolah di SDN 004 pada bulan September tahun 2011. Di antara dua belas anak laut, Mamoklah yang selalu bisa membuat aku dan Ninuk tertawa dengan tingkah lakunya.

Mamok adalah anak berusia sekitar 15 an tahun. Di antara anak laut yang bersekolah, Mamok lah yang paling tua dan paling usil. Menurut cerita bu Ros, wali kelas 1 SDN 004, Mamok sering membuat anak lain menangis dengan keisengannya. Namun meskipun sering iseng dan usil, Mamok adalah anak yang baik dan lucu. Ia tidak malu untuk belajar dan bermain meski bertubuh paling besar dan paling tua di antara kawan-kawan kelas 1. Sayangnya, prestasi Mamok di kelas tidak begitu baik. Ia tertinggal di kelas 1 bersama 3 anak perempuan laut lain sementara anak-anak lainnya bisa naik ke kelas 2.

Sejak pertama kali mengajari anak laut belajar di rumah, aku dan Ninuk tahu bila kami harus berusaha ekstra keras untuk mengajari Mamok menulis. Mamok membutuhkan waktu lama untuk belajar mengenal huruf. Ia sering lupa pelajaran yang baru saja kami ajarkan. Butuh kesabaran untuk mengajari Mamok dan anak-anak Laut lain yang masing-masing memiliki karakter unik. Aku selalu ingat kebiasaan-kebiasaan Mamok yang selalu membuatku mengulum senyum. Yang pertama, ia selalu hormat ketika berpapasan denganku dan Ninuk dimana saja dan kapanpun itu. Yang kedua, ketika sudah pusing belajar, ia akan meletakkan jarinya di kening dan memutar-mutar jarinya sambil berkata "sebentar". Jika sudah seperti itu, kami biarkan Mamok berhenti belajar dan melanjutkannya kapan pun ia suka.

Di antara kawan-kawannya, Mamok paling jarang belajar di rumah pak Akob, rumah dimana aku dan Ninuk tinggal. Ia sering diajak pergi ke laut oleh orang dewasa atau pergi nyandit seorang diri. Untuk urusan mencari uang, Mamok cukup rajin. Ia bahkan bisa membeli sepatu baru dari hasil nyandit (mencari nos). Beda halnya untuk sekolah, Mamok tidak rajin seperti kawan lainnya. Ia sukar bangun pagi dan jika dibangunkan akan marah. Itulah yang membuat orang tua, nenek dan adik-adiknya enggan membangunkan Mamok. Mereka akan membiarkan Mamok tidak berangkat sekolah.

Berita Mamok kembali bersekolah benar-benar berita luar biasa untukku. Menurut Yosep, Mamok memang tidak setiap hari masuk sekolah. Namun tetap saja aku senang. Dengan kembali bersekolah setidaknya semangat Mamok untuk belajar masih ada, ia tidak malu untuk belajar di kelas 1 kembali bersama kawan-kawan barunya. Semoga Mamok tetap mau belajar baik di rumah maupun sekolah.

Berita Mamok sekolah memang membuatku senang. Namun aku juga merasa sedih ketika aku mendengar dari Yosep bahwa ada 3 anak laut yang memutuskan untuk berhenti sekolah. Sudah hampir tiga minggu Norman (Nod), Karmer (Kincil) dan Jun tidak masuk sekolah. Entah apa alasan mereka. Semoga keputusan itu hanyalah keputusan sesaat dan suatu hari nanti mereka akan kembali ke sekolah.

Aku jadi berpikir, apakah mungkin Mamok, Jun, Nod dan Karmer memutuskan untuk berhenti sekolah karena tidak memahami apa yang diajarkan di sekolah? Apakah sekolah tidak menjadi kebutuhan untuk anak-anak laut itu? Apakah kehidupan di laut jauh lebih menyenangkan dibandingkan sekolah mengingat semua anak-anak itu telah mengenal kerja laut dan bisa mencari uang sendiri? Tepatkah memasukkan anak-anak laut ke sekolah formal? Ada banyak pertanyaan yang muncul. Pertanyaan yang juga sering menjadi bahan diskusiku bersama Ninuk.

Semoga segera ada volunteer yang mau mengajari dan mendampingi anak-anak laut belajar di rumah sehingga kemampuan mereka semakin terasah dan mampu memahami pelajaran di sekolah. Semoga tidak ada lagi berita anak-anak laut yang mundur dari bangku sekolah lagi. Semoga generasi pertama ini bukan generasi terakhir yang mengenyam pendidikan karena akan ada anak-anak laut yang lahir. Harapan-harapan yang terus tumbuh meski tidak mudah mewujudkannya.

Aku berharap kalaupun anak-anak tetap tidak mau melanjutkan sekolah formal, mereka tetap bisa menguasai membaca dan menulis. Bisa jadi pendidikan alternatif adalah jawabnnya. Setidaknya dengan menguasai pendidikan dasar, anak-anak laut bisa lebih percaya diri menghadapi dunia luar yang selama ini selalu memberikan cap negatif pada identitas kesukuan mereka. Yosep, Jun, Mamok dan anak-anak laut lain adalah generasi penerus suku laut. Suatu hari nanti mereka akan menjadi pelaut ulung seperti nenek moyang mereka...sang pengelana laut.....


Kapuas, 16 Desember 2012



Wednesday, March 7, 2012

Berburu Air di Pulau

Beberapa buah jerigen berukuran sedang berjajar di sampan Iyus.  Dengan santai ia mendayung sampannya sambil bertanya ini itu. Kadang tawa kecil menghiasi wajah polosnya. Tak nampak nafasnya terengah-engah meski telah cukup lama mendayung. Tubuhnya yang kecil berbanding terbalik dengan tenaganya. Lengannya sangat kokoh menggerakan dayung. Iyus memang telah terbiasa menjadi tekong (pendayung) sejak masih kecil. Sebagai anak sulung dari 4 bersaudara dan cucu tertua di keluarga besarnya, Iyus memang dididik untuk menjadi mandiri sejak kecil. Berbagai tugas rumah tangga sering dilimpahkan kepadanya. 

Satu-satu (foto : CLI)
Salah satu tugasnya adalah mengambil air di perigi yang terletak di pulau lain. Untuk menuju ke tempat ini, ia harus menggunakan sampan kira-kira 10-15 menit perjalanan. 

Sesampainya di pulau berperigi, dengan cekatan Iyus segera menambatkan sampannya di antara jajaran bakau. Rupanya ia tidak sendiri. Deretan sampan terlihat berjejer, menunggu pemiliknya mengisi jerigen dengan air tawar. Dengan gesit ia membawa jerigen kosong ke perigi. Sebuah gayung tak bertuan menjadi alat bagi Iyus mengambil air. Untung saja perigi tak begitu dalam sehingga dengan mudah Iyus mengisi jerigen miliknya. Selain gayung, terkadang Iyus juga menggunakan ember kecil yang diberi tali. 

Setelah jerigen terisi penuh, ia kembali membawanya ke sampan. Jalan setapak yang licin, membuatnya harus lebih berhati-hati. Tak mudah bagi anak sekecil Iyus membawa jerigen sebesar itu. Terkadang ia berhenti sekedar untuk mengatur nafas. Satu demi satu jerigenpun mulai terisi. Ia pun kembali mendayung sampannya yang terasa semakin berat. Pulang.

Perigi menjadi tumpuan pemenuhan sumber air bersih bagi suku Laut. Meskipun hanya berupa lubang di tanah (biasanya tak begitu dalam) namun kualitas airnya cukup bagus. Senang rasanya melihat air yang terus menerus keluar dari tanah. Seakan tak ada habisnya. Tak jarang anak-anak atau perempuan mandi disana. Mereka bisa sepuasnya mengguyur tubuh. Hmmm segarnya.

Hampir semua perigi dibiarkan apa adanya. Hanya berupa lubang dalam tanah. Disekeliling lubang terkadang dipasangi papan untuk pijakan atau berfungsi sebagai pembatas dengan tanah sekitar. Tidak setiap pulau memiliki perigi sehingga jika perigi yang satu kering, suku Laut atau penduduk desa harus mencari di tempat lain. 

Perigi bukan satu-satunya sumber air bagi mereka. Kala hujan datang, drum-drum besar, ember, panci semua diletakkan di luar rumah, siap menampung air. Air hujan akan digunakan untuk mandi dan mencuci, terkadang juga untuk memasak. Musim hujan benar-benar membantu ketersediaan air di rumah mereka. 

Meski tinggal dikelilingi air, namun bagi mereka yang tinggal di pulau-pulau kecil seperti suku laut di desa Tajur Biru, ketersediaan air tawar menjadi hal yang langka dan begitu penting. Tinggal disana bersama mereka, kita akan belajar banyak hal terutama hematlah menggunakan air karena begitu banyak tenaga yang dicurahkan hanya untuk setetes air.



Monday, January 9, 2012

mengarungi laut,... dari pulau ke pulau

Iyus kecil (10 tahun) mendayung sampan sendiri kala keluarganya berkelana dari pulau ke pulau untuk mencari ikan. Sebagai anggota suku Laut ia tidak hanya sigap mendayung sampan, namun mulai belajar menjadi lelaki yang bisa diandalkan. Bagi Iyus, laut merupakan sekolah tanpa batas. Disanalah ia belajar bagaimana menjadi lelaki laut yang sejati. Ia belajar mengenal tanda-tanda alam, mengenal laut tempatnya hidup dan mencari penghidupan kelak ketika ia dewasa. Alamlah yang akan mengantarkannya menjadi lelaki laut yang tangguh seperti nenek moyangnya. Suatu hari nanti ialah yang akan memimpin kelompoknya mengarungi lautan kehidupan di laut sana.

Thursday, December 1, 2011

Dapur Arang dan Suku Laut

tumpukan arang yang tak jadi diekspor di salah satu dapur arang
Dapur arang merupakan tempat dimana kayu bakau diolah menjadi arang dan diekspor ke megara tetangga (biasanya ke Singapura). Sebagai bahan baku utama pembuatan arang, kayu bakau terus menerus diambil agar produksi terus berjalan. Semakin tinggi produksi itu berarti semakin tinggi pula ancaman terhadap ekosistem bakau. Oleh karena itu tahun 2006/2007 dapur arang mulai ditutup oleh pemerintah. Penutupan ini tak ayal membuat Suku Laut kehilangan sumber mata pencahariannya. Pasalnya, bekerja di dapur arang adalah satu-satunya pekerjaan di sector public yang bisa dimasuki oleh Suku Laut. Di penghujung tahun 2008, masih ada dapur arang yang tetap beroperasi meskipun harus bermain  kucing-kucingan dengan aparat keamanan. Namun hal ini tidak ada artinya bagi Suku Laut. Mereka telah kehilangan sumber penghasilan selain sebagai nelayan.
Tidak semua Suku Laut bekerja di dapur arang karena bekerja di tempat ini tidaklah mudah. Perlu tenaga kuat untuk memilah, menebang dan mengukur besaran kayu bakau yang digunakan. Belum lagi mereka harus berkutat dengan akar-akar bakau. Perjuangan yang tidak imbang dengan penghasilan mereka. Mereka sering mengatakan bekerja di dapur arang ibarat “makan darah” yang berarti bekerja namun tak menghasilkan apapun. Biasanya upah kerja dibayarkan setelah pekerjaan selesai. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, para pekerja diijinkan untuk mengambil barang belanjaan ditempatnya bekerja misalnya mengambil beras, minyak, gula dll. Nantinya barang-barang tersebut akan dibayar dengan cara memotong upah kerja mereka. Tak jarang mereka tak memperoleh apapun karena habis dipotong untuk kebutuhan belanja. Bahkan meninggalkan hutang yang harus mereka bayar. Jika hutang belum terbayar akan sulit bagi mereka untuk pergi dari dapur arang tersebut. Itulah sebabnya mereka mengibaratkan kerja di dapur arang seperti “makan darah”.
Upah bekerja di dapur arang memang tidak banyak. Satu sampan yang berisi kayu bakau penuh akan dihargai Rp 35.000 – Rp 45.000. Dalam waktu satu hari mereka bisa mengumpulkan 2-3 sampan (sampan berukuran 20 kaki) penuh kayu bakau. Biasanya mereka harus mencari 10-20 sampan sekali kerja. Setelah memenuhi jumlah yang dibutuhkan, barulah mereka memperoleh upah. Bisa juga mereka memperoleh upah harian. Besaran upah yang diterima tergantung dari banyak tidaknya kayu bakau yang dikumpulkan dalam waktu sehari. Cara ini jarang digunakan karena Suku laut lebih senang menggunakan pembayaran setelah semua pekerjaan selesai.
Walaupun penghasilan tak banyak, bekerja di dapur arang terbukti mampu membantu kehidupan Suku Laut terutama saat musim angin besar datang. Maklumlah sebagai nelayan tradisional, Suku Laut sangat mengandalkan kemurahan alam. Suku Laut hanya mengandalkan kemampuan mereka menangkap ikan dengan menggunakan serampang (semacam tombak terbuat dari bamboo dengan mata tombak terbuat dari besi bermata tiga mirip garpu). Dengan alat sederhana seperti itu mereka hanya bisa menangkap ikan kala laut teduh (tidak banyak angin) di waktu petang hingga dinihari tiba.  Mereka tidak memiliki alat-alat besar (misalnya sampan besar bermesin, kelong dll) atau melakukan budidaya ikan sehingga kala musim angin datang tak banyak yang bisa dilakukan kecuali “kerja darat” atau bekerja di dapur arang.  
Penutupan dapur arang membuat Suku Laut kehilangan sumber penghasilan kala musim angin besar datang. Oleh karena itu beragam cara ditempuh agar mereka tetap memperoleh penghasilan seperti berkayu (menebang kayu di hutan dan menjualnya), membuat kajang (untuk menjemur ikan ataupun sebagai atap) hingga berkelana ke pulau-pulau lain agar bisa terus menangkap ikan. Penutupan dapur arang adalah sebuah dilemma. Di satu sisi penutupan dapur arang akan menyelamatkan ekosistem bakau namun di sisi lain para pekerja dari suku laut harus kehilangan salah satu sumber penghasilan.  Kini mereka hanya bisa mengandalkan “kerja laut” . Uang sebesar Rp 20.000 – Rp 50.000 harus cukup untuk memenuhi kebutuhan karena hanya itulah hasil yang bisa mereka peroleh dari melaut setiap harinya.  Tidak banyak yang bisa diharapkan. Hidup  hanya untuk hari ini karena esok adalah urusan esok.

Tuesday, January 4, 2011

Suku Laut : Berita Duka dari Seberang




Hari ketiga di bulan maret 2010. Dari seberang laut terkirim kabar, seorang gadis kecil suku Laut meninggal. Namanya Sumi. Seorang anak yang lucu dengan pipi tembem, rambut poni, mata bulat dan berkulit hitam. Ia baru menjalani hidup hampir selama dua setengah tahun. Usia yang masih sangat muda untuk pergi tapi mungkin itulah jalan yang terbaik.
Menurut berita, ia meninggal di hari pertama bulan Maret. Entah sakit apa yang membuatnya bisa meninggal. Nodi, sang kakak hanya berkata, Sumi kecil meninggal setelah mengalami panas dan jantungnya berdebar-debar selama beberapa hari. Keluarganya sudah berusaha membawanya ke Puskesmas yang terletak di seberang tempat tinggal mereka. Namun dokter tidak sanggup merawat Sumi dan merujuknya ke rumah sakit di Tanjung Pinang. Sayang, Sumi kecil keburu meninggal.
Di kunjungan terakhir masih teringat jelas Sumi kecil menangis dan tertawa atau merengek minum susu. Dibandingkan anak-anak suku Laut yang lain, Sumi cukup beruntung, ia bisa minum susu kaleng meskipun encer.
Kepergian Sumi kecil adalah sebuah hal yang lumrah. Kematian bisa datang kapan saja dengan berbagai sebab. Namun sebenarnya dibalik kepergian Sumi kecil terdapat fakta bahwa masih banyak masyarakat seperti suku Laut yang belum mendapatkan akses kesehatan yang layak.
Pemerintah memang sudah memberikan fasilitas seperti Jamkesmas (entah apa sekarang namanya….mungkin sudah berubah lagi) namun fasilitas ini tanpa didukung adanya pengetahuan mengenai hidup sehat (ini tidak hanya terjadi di kalangan komunitas suku namun juga terjadi di masyarakat lain yang notabene memiliki kehidupan dan pengetahuan yang jauh lebih baik). Ada di antara mereka yang hanya menyimpan kartu tersebut dan tidak menggunakannya kala sakit. Sikap ini selain disebabkan belum adanya kesadaran untuk mengakses fasilitas kesehatan (kurangnya pengetahuan) juga disebabkan kondisi social budaya. Masih ada beberapa kelompok suku Laut yang jauh lebih percaya dengan pengobatan tradisional (dukun) yang diyakini mampu memberikan penjelasan sebab musabab penyakit.
Masih segar dalam ingatan di penghujung 2008, kami berkenalan dengan seorang perempuan suku Laut yang masih bertahan hidup/tinggal di dalam sampan. Ia baru saja melahirkan. Kondisi perempuan dan anaknya sangat sehat. Ibu itu juga sudah beraktivitas seperti biasa. Namun pada kedatangan kami yang kedua – selang beberapa bulan, awal 2009) ternyata perempuan itu sudah meninggal. Entah bagaimana nasib mereka. Kami tidak lagi bertemu dengan keluarga itu lagi karena mereka telah berkelana entah kemana dengan sampan.
Tingkat kematian suku Laut memang belum diketahui. Namun fakta-fakta tersebut membuktikan bahwa kemungkinan angka kematian di kalangan suku Laut cukup tinggi. Sayangnya belum ada studi mengenai hal tersebut.
Sumi kecil sudah tiada. Semoga tidak ada lagi Sumi-Sumi lain yang menyusul. Sampai kini masih teringat jelas bagaimana Sumi berceloteh dan bermain bersama kami.....selamat jalan Sumi…….

Awal Maret 2009

Suku Laut : Sejuta Bintang di Temiang

Mau melihat jutaan bintang di langit? Datanglah ke tempat yang belum terkena polusi cahaya. Salah satunya di Pulau Temiang yang berada di Kepulauan Riau. Penggunaan cahaya (baca listrik) yang masih minimalis di komunitas suku laut maupun masyarakat melayu menyebabkan langit malam di pulau ini terasa begitu indah. Jika cuaca cerah kita bisa melihat jutaan bintang. Kalo mau melihat bintang jatuh disinilah tempat yang cocok. Selama 3 jam di bawah langit malam Temiang, kami melihat 3 kali bintang jatuh (atau bintang pindah, atau benda langit yang lain??entahlah yang penting keren abis). Kata orang-orang, kalo melihat bintang jatuh buatlah permohonan. Alhasil selama 3 kali melihat bintang jatuh yang ada hanyalah terkagum-kagum tanpa make a wish. Maklumlah jarang bisa melihat bintang jatuh sih. Apalagi di Jakarta yang memiliki polusi cahaya yang cukup tinggi. Langit Jakarta bukan lagi dipenuhi oleh taburan bintang tapi dipenuhi asap kendaraan, asap pabrik dan pendar cahaya yang berasal dari penerangan yang dipakai masyarakat.

Bagi orang laut di belahan pulau yang lain, bintang dijadikan pemandu ketika mereka berada di lautan luas. Dengan bintang mereka bisa mengetahui arah mata angin. Bagi kita terkadang bintang hanyalah sekedar bintang. Benda langit yang terlihat berkelip jika di lihat dari bumi. Keindahannya telah terkalahkan oleh gemerlap lampu listrik. Akibatnya bintang tidak lagi menjadi “bintang” di kalangan masyarakat perkotaan. Bahkan cenderung di lupakan.

Penggunaan lampu di kota-kota besar memang menjadikan kota begitu indah. Tapi keindahan tersebut tidak akan sebanding dengan jutaan bintang yang bertaburan di kelam malam. Kita bisa melihat kelap-kelip bintang di langit atau pesawat yang melintas di angkasa. Kadang kita bisa mencari rasi bintang yang ada di langit. Sangat indah dan akan semakin membuat kita merasakan betapa kecilnya kita di hadapan Sang Pencipta.

Tidak bisa dibayangkan bagi orang yang tidak terbiasa hidup tanpa lampu listrik. Kegelapan adalah suatu siksaan. Padahal di balik kegelapan masih ada kehidupan lain yang tidak kita sadari. Masih ada binatang-binatang malam (nocturnal) yang hidup dalam kegelapan dan pastinya akan terganggu ketika kegelapan tersebut terdistorsi oleh gemerlapnya lampu listrik.
Di Temiang, jutaan bintang masih bisa dinikmati kala langit cerah. Apalagi ketika kita bisa menikmatnya dengan berbaring di atas sampan sambil dibuai oleh alunan ombak. Temiang akan selalu menjadi tempat yang tidak akan dilupakan. Begitu indah…..

Suku Laut : Catatan awal perjalanan

Akhir Oktober 2008 – Awal Desember 2008



Laut. Tidak terbayang sebelumnya bahwa petualangan berikutnya ternyata berhubungan dengan laut. Jika dua perjalanan yang lalu selalu berhubungan dengan darat dan sedikit kombinasi air (sungai maksudnya), kini kami harus berhadapan dengan dunia bahari. Dunia yang cukup mengerikan bagi siapa saja yang tidak bisa berenang dan takut akan air. Itulah yang dirasakan.
Laut adalah misteri. Gelombang, kapal tenggelam, angin ribut, badai dan lain sebagainya menghantui perjalanan kali ini. Kita tidak akan pernah tau apa yang akan terjadi ketika berada di lautan. Di titik akhir, bersikap pasrah adalah hal utama yang harus dimiliki karena tak ada seorangpun yang bisa menduga terjadinya perubahan cuaca yang seringkali datang tanpa diundang.
Perjalanan di awali dari Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Tanjung Pinang adalah kota kecil di Pulau Bintan yang cukup padat. Sebagai kota yang cukup padat dengan lalu lalang orang – maklumlah karena merupakan kota transit, Tanjung Pinang penuh dengan hotel, pertokoan dan pusat bisnis yang lain. Orang-orang dari Batam, Singapura, Malaysia banyak berdatangan di kota ini untuk berbisnis.
Dari kota kecil Tanjung Pinang, perjalanan dilanjutkan dengan naik kapal (sering disebut sebagai speed) dari pelabuhan Sri Tanjung Pura menuju kecamatan Senayang. Butuh waktu 3-4 jam untuk menuju lokasi ini. Setelah terbanting-banting selama perjalanan di atas kapal, akhirnya kami sampai di pelabuhan Senayang.
Senayang merupakan kota kecamatan. Kami menyebutnya Indonesia kecil. Mengapa?multi etnis tinggal di sini dan melakukan pembauran. Mereka hidup berdampingan secara damai. Symbol keagamaan juga menunjukkan toleransi yang cukup tinggi. Klenteng, gereja, masjid saling berdampingan di wilayah yang panjangnya hanya 14 km ini. Jalan-jalan dibangun mengelilingi dan membelah kampung dengan pemukiman warga disebelah kanan dan kiri jalan. Fasilitas umum juga cukup lengkap mulai dari kantor pos, kantor pemerintahan, PLN, sekolah, penginapan, puskesmas rawat inap hingga menara dua provider telekomunikasi ada di pulau ini.
Keindahan Senayang masih ditambah dengan pantai pasir putih yang berada di sisi belakang pulau ini. Setiap sabtu dan minggu, pantai ini akan ramai oleh anak muda maupun keluarga yang ingin bersantai. Secara keseluruhan, Senayang adalah kota kecamatan yang cukup menyenangkan.
Mengurus perijinan dan mengumpulkan data mengenai kehidupan suku laut adalah tugas utama di kecamatan ini. Di Senayang memang tinggal satu keluarga suku laut yang telah tinggal menetap dan menganut agama tertentu. Bersama Pak Amun, kami memperoleh banyak data mengenai kehidupan suku laut. Pak Amun jugalah yang mengajak kami berkeliling ke Pulau kentar, tempat dimana salah satu kelompok suku laut bermukim. Pak Amun juga memberi kesempatan kami untuk bermalam di kelong (tempat menangkap ikan) miliknya. Terkena angin ribut di kelong, melihat pengambilan ikan di kelong adalah pengalaman yang kami peroleh di sana. Sebenarnya pengalaman pertama bertemu suku laut adalah ketika kami bertemu dengan rombongan dari Tajur Biru yang berkelam (bersampan selama beberapa hari untuk menangkap ikan)di pulau Ibu Hile. Kesan pertama bertemu suku laut adalah mereka sangat ramah.
Agenda selanjutnya adalah mengunjungi suku laut yang ada di Pulau Linau dan mengunjungi dapur arang di Pulau Manic. Dengan diantar Pak Awing, seorang nelayan melayu, kami pergi ke dua lokasi ini. Sayangnya dapur arang telah ditutup oleh pemerintah karena mengganggu ekosistem bakau sehingga kami tidak memperoleh data pengolahan dapur arang. Tapi tak apalah, setidaknya sedikit kami mendapatkan gambaran tentang pengolahan bakau menjadi arang.
Perjalanan berikutnya, mengunjungi suku laut yang tinggal di Pulau Kongki. Keramahan suku laut sangat terasa di wilayah ini. Mereka tinggal di tengah-tengah bakau sehingga terlidung dari angin. Transfer pengetahuanpun dimulai. Tak terasa, sehari telah berlalu sehingga kamipun akhirnya harus pulang. Di tengah perjalanan, tiba-tiba cuca buruk datang. Gelombang laut cukup tinggi dan membuat kami merasa ketakutan. Akhirnya pelampungpun dipakai. Hampir satu jam kami terombang-ambing ditengah laut. Ternyata ini merupakan fenomena yang biasa terjadi. Menurut suku laut, sebagai pendatang baru, laut ingin berkenalan dengan kami.
Selanjutnya, Senayang ditinggalkan dan beralih ke Pulau Temiang di Desa Tajur Biru. Perjalanan dilakukan dengan pompong meski speed juga lewat desa ini. Perjalanan menuju temiang dilalui hampir selama 2 jam. Meski berangkat jam 8 pagi namun ternyata kami masih harus terpanggang teriknya matahari. Suhu di tengah laut mencapai 40 derajat celcius. Sangat panas dan membuat pusing. Namun akhirnya perjalanan selesai sudah. Kami menginap di rumah Pak Akob di Tajur Biru.
Tiga minggu lamanya, kami tinggal di komunitas suku laut yang telah menetap dan menganut satu agama tertentu. Menangkap ikan diwaktu malam, mengambil hasil hutan seperti rotan, berkayu, menjual hasil tangkapan adalah aktivitas yang dilakukan sehari-hari. Sedikit membosankan karena mobilitas kami bergantung dengan sampan padahal kami tidak bisa bersampan. Beberapa kali mencoba namun tetap tidak bisa juga. Untuk mengunjungi tetanggapun harus dilakukan dengan sampan karena tidak ada pelantar (jembatan dari kayu untuk menghubungkan dari rumah-ke rumah, berfungsi sebagai jalan). Hiburan kami satu-satunya adalah nongkrong di waktu malam di luar rumah dan memandang langit yang bertabur jutaan bintang. Terkadang bisa juga nonton tivi tapi karena yang dilihat adalah sinetron yang penuh adegan saling teriak dan memelototkan mata akhirnya kami lebih memilih untuk dekat dengan alam. Ternyata mereka sangat menyukai sinetron laga yang ditayangkan oleh TPI maupun Indosiar. Kadang-kadang mereka nonton film bajakan yang mereka beli di pasar terdekat.
bersama partner dan anak-anak laut
Live in selama 3 minggu bersama suku laut merupakan hal yang aneh di mata masyarakat melayu. Ketika bertemu kami mereka selalu bertanya apakah kami tidak takut dipelet/diguna-guna? Bagaimana kalau akhirnya kami tidak bisa pulang? Pertanyaan itu terus mereka pertanyakan dan selalu saja kami jawab dengan mengatakan kami tidak takut. Memang image yang terbentuk selama ini begitu menyudutkan suku laut. Bagi mereka yang tidak berinteraksi dengan suku laut secara langsung, anggapan bahwa suku laut jorok dan suka mengguna-guna orang memang masih ada. Padahal begitu dekat dengan suku Laut, semua stigma negative itu tidak benar adanya. Mereka adalah suku bangsa yang ramah dan baik meskipun lebih sering merasa rendah diri.
Ketika kami harus pulang lagi ke Jakarta, ada sesuatu yang hilang. Kebersamaan dengan suku Laut sangatlah membekas di hati. Keinginan untuk kembali lagi ke sana selalu ada. Keindahan alam dan keramahan Suku Laut adalah hal yang paling menarik untuk bisa kembali. Yang lebih penting, ada begitu banyak hal yang masih harus dipelajari terutama tentang kehidupan mereka sebagai pengelana laut……..

Tuesday, October 12, 2010

Suku Laut : Sang Pengelana yang Terlupakan

Sang Pengelana Laut yang Terlupakan

Berita di Kompas kemarin (5 April 2010) membuat miris. Bagaimana tidak, suku Bajau Pala’u yang selama ini dikenal sebagai pengelana laut ditangkap di wilayah Berau, Kalimantan Timur saat sedang memancing ikan di wilayah Indonesia. Mereka di tangkap dengan alasan tidak memiliki identitas. Meski mereka mengaku datang dari Malaysia namun mereka enggan dipulangkan ke sana dan memilih lebih baik mati. Di sisi lain Malaysia dan Filipina pun enggan mengakui keberadaan mereka hanya karena tidak tercatat sebagai warga negara. Akhirnya nasib mereka kini tidak jelas. Hanya karena selembar identitas mereka harus merasakan kehidupan darat yang mungkin saja jauh dari angan-angan mereka.
Secara pribadi saya tidak mengenal kehidupan suku Bajau. Baik dari adat istiadat maupun kehidupan social budaya mereka. Namun saya bisa membayangkan betapa sulitnya beradaptasi dengan kehidupan daratan karena selama ini kehidupan dan penghidupan mereka berada di lautan. Saya sendiri pernah merasakan bagaimana sulitnya sebagai “orang daratan” harus beradaptasi dengan kehidupan di laut. Pengalaman ini bermula ketika saya mengadakan penelitian mengenai kehidupan suku Laut yang berada di Kepulauan Riau. Suku Laut di wilayah ini memang berbeda dengan suku Bajau. Mereka sudah bermukim dan tercatat sebagai penduduk wilayah tertentu. Namun di saat-saat tertentu, masih ada kelompok suku Laut yang berkelana dari pulau ke pulau dengan menggunakan sampan. Biasanya hal ini dilakukan ketika mereka ingin mencari ikan di tempat yang agak jauh atau mengunjungi saudara di pulau lain dll
Saya beruntung bisa mengikuti perjalanan mereka berkelam/berlakin (hidup di atas sampan) selama 3 hari. Selama tiga hari tersebut saya harus membiasakan diri hidup di atas sampan. Tidur dengan posisi meringkuk dalam buaian air laut, kebingungan untuk buang air kecil, tidak bisa mandi dll. Hal-hal yang kelihatannya sepele menjadi begitu menyusahkan begitu dihadapkan pada situasi dan kondisi lingkungan yang berbeda. Begitu pula suku Laut di Kepulauan Riau. Ketika memutuskan bermukim, mereka juga melewati proses adaptasi yang panjang. Salah satu bentuk adaptasi mereka contohnya adalah mereka tidur dengan pintu rumah terbuka dengan alasan tidak bisa tidur jika tidak merasakan hembusan angin laut. Bahkan ada seorang bujang yang lebih memilih tidur di luar rumah agar bisa merasakan angin laut secara langsung.
Saya yakin itu juga yang dialami suku Bajau. Mereka terbiasa tidur dalam buaian air laut dan melakukan semua aktivitas di atas sampan. Begitu mereka dihadapkan dengan kehidupan darat, tentu saja butuh waktu untuk menyesuaikan diri karena bagaimanapun lingkungan laut dan daratan sangatlah berbeda.
Tidak semestinya mereka “didaratkan” meski untuk sementara. Apalagi dengan alasan tidak memiliki identitas. Kecuali jika mereka menginginkannya sendiri. Sudah banyak bukti program memukimkan suku bangsa tertentu mengalami banyak kegagalam karena ketidakpahaman pemerintah mengenai kehidupan social budaya mereka. Program baru benar-benar bisa berjalan selama masyarakat yang dijadikan sasaran program merasakan bahwa hal tersebut adalah yang mereka butuhkan dan merasakan manfaat dari program tersebut. dan yang lebih penting kalaupun akan dimukimkan, buruh riset yang mendalam, dan tentu saja proses pelaksanaan yang panjang, setahap demi setahap tidak bisa langusng dimukimkan begitu saja. Suku Bajau Palau juga tidak berbeda dengan suku lain yang hidup di darat. Beberapa kelompok tidak memiliki identitas karena mereka berada jauh di dalam hutan dan tentu saja jauh dari control pemerintah.
Akan lebih baik jika suku Bajau Palau segera dikembalikan ke rumah mereka yaitu lautan. Pemerintah Indonesia tidak perlu merisaukan keberadaan mereka. Suku Bajau Palau bukanlah sebuah kelompok yang patut dicurigai meski mereka tidak memiliki identitas. Bahkan kalau perlu diakui sebagai warga negara Indonesia. Toh kehidupan mereka tidak pernah merugikan negara ini. Mereka bukan pencuri kekayaan laut kita karena hanya mengambil secukupnya dari alam dengan alat yang sederhana. Hanya cukup untuk makan dan memenuhi kebutuhan harian. Mereka juga bukan teroris yang mengancam kedaulatan negara ini. Mereka hanyalah orang-orang yang menjadikan laut sebagai rumah tanpa peduli batas negara. Pergi dari satu pulau ke pulau lain untuk mencari lauk. Di mana terdapat banyak ikan, ke tempat itulah mereka akan datang. Bukan untuk mengumpulkan kekayaan namun hanya sekedar memenuhi kebutuhan perut.
Biarkan suku Bajau Palau tetap hidup di laut dan berkelana dari satu pulau ke pulau lain. Namun jika suatu saat nanti mereka memilih untuk bermukim di darat, pemerintah Kaltim ada baiknya memfasilitasi. Bagi saya, mereka tidak perlu selembar identitas. Identitas mereka sudah cukup jelas bahkan tidak akan hilang karena sudah menempel dalam diri mereka sejak lahir yaitu suku Bajau, sang pengelana laut. Cukup dengan hal itu saja. Dan jika ingin tahu lebih jauh tentang kehidupan di laut, merekalah ahlinya. Belajarlah mengenal laut dari mereka karena sejak dahulu mereka telah menjadikan laut sebagai sahabat kehidupan.

Yogya, April 6, 2010