Tuesday, October 12, 2010

Suku Laut : Sang Pengelana yang Terlupakan

Sang Pengelana Laut yang Terlupakan

Berita di Kompas kemarin (5 April 2010) membuat miris. Bagaimana tidak, suku Bajau Pala’u yang selama ini dikenal sebagai pengelana laut ditangkap di wilayah Berau, Kalimantan Timur saat sedang memancing ikan di wilayah Indonesia. Mereka di tangkap dengan alasan tidak memiliki identitas. Meski mereka mengaku datang dari Malaysia namun mereka enggan dipulangkan ke sana dan memilih lebih baik mati. Di sisi lain Malaysia dan Filipina pun enggan mengakui keberadaan mereka hanya karena tidak tercatat sebagai warga negara. Akhirnya nasib mereka kini tidak jelas. Hanya karena selembar identitas mereka harus merasakan kehidupan darat yang mungkin saja jauh dari angan-angan mereka.
Secara pribadi saya tidak mengenal kehidupan suku Bajau. Baik dari adat istiadat maupun kehidupan social budaya mereka. Namun saya bisa membayangkan betapa sulitnya beradaptasi dengan kehidupan daratan karena selama ini kehidupan dan penghidupan mereka berada di lautan. Saya sendiri pernah merasakan bagaimana sulitnya sebagai “orang daratan” harus beradaptasi dengan kehidupan di laut. Pengalaman ini bermula ketika saya mengadakan penelitian mengenai kehidupan suku Laut yang berada di Kepulauan Riau. Suku Laut di wilayah ini memang berbeda dengan suku Bajau. Mereka sudah bermukim dan tercatat sebagai penduduk wilayah tertentu. Namun di saat-saat tertentu, masih ada kelompok suku Laut yang berkelana dari pulau ke pulau dengan menggunakan sampan. Biasanya hal ini dilakukan ketika mereka ingin mencari ikan di tempat yang agak jauh atau mengunjungi saudara di pulau lain dll
Saya beruntung bisa mengikuti perjalanan mereka berkelam/berlakin (hidup di atas sampan) selama 3 hari. Selama tiga hari tersebut saya harus membiasakan diri hidup di atas sampan. Tidur dengan posisi meringkuk dalam buaian air laut, kebingungan untuk buang air kecil, tidak bisa mandi dll. Hal-hal yang kelihatannya sepele menjadi begitu menyusahkan begitu dihadapkan pada situasi dan kondisi lingkungan yang berbeda. Begitu pula suku Laut di Kepulauan Riau. Ketika memutuskan bermukim, mereka juga melewati proses adaptasi yang panjang. Salah satu bentuk adaptasi mereka contohnya adalah mereka tidur dengan pintu rumah terbuka dengan alasan tidak bisa tidur jika tidak merasakan hembusan angin laut. Bahkan ada seorang bujang yang lebih memilih tidur di luar rumah agar bisa merasakan angin laut secara langsung.
Saya yakin itu juga yang dialami suku Bajau. Mereka terbiasa tidur dalam buaian air laut dan melakukan semua aktivitas di atas sampan. Begitu mereka dihadapkan dengan kehidupan darat, tentu saja butuh waktu untuk menyesuaikan diri karena bagaimanapun lingkungan laut dan daratan sangatlah berbeda.
Tidak semestinya mereka “didaratkan” meski untuk sementara. Apalagi dengan alasan tidak memiliki identitas. Kecuali jika mereka menginginkannya sendiri. Sudah banyak bukti program memukimkan suku bangsa tertentu mengalami banyak kegagalam karena ketidakpahaman pemerintah mengenai kehidupan social budaya mereka. Program baru benar-benar bisa berjalan selama masyarakat yang dijadikan sasaran program merasakan bahwa hal tersebut adalah yang mereka butuhkan dan merasakan manfaat dari program tersebut. dan yang lebih penting kalaupun akan dimukimkan, buruh riset yang mendalam, dan tentu saja proses pelaksanaan yang panjang, setahap demi setahap tidak bisa langusng dimukimkan begitu saja. Suku Bajau Palau juga tidak berbeda dengan suku lain yang hidup di darat. Beberapa kelompok tidak memiliki identitas karena mereka berada jauh di dalam hutan dan tentu saja jauh dari control pemerintah.
Akan lebih baik jika suku Bajau Palau segera dikembalikan ke rumah mereka yaitu lautan. Pemerintah Indonesia tidak perlu merisaukan keberadaan mereka. Suku Bajau Palau bukanlah sebuah kelompok yang patut dicurigai meski mereka tidak memiliki identitas. Bahkan kalau perlu diakui sebagai warga negara Indonesia. Toh kehidupan mereka tidak pernah merugikan negara ini. Mereka bukan pencuri kekayaan laut kita karena hanya mengambil secukupnya dari alam dengan alat yang sederhana. Hanya cukup untuk makan dan memenuhi kebutuhan harian. Mereka juga bukan teroris yang mengancam kedaulatan negara ini. Mereka hanyalah orang-orang yang menjadikan laut sebagai rumah tanpa peduli batas negara. Pergi dari satu pulau ke pulau lain untuk mencari lauk. Di mana terdapat banyak ikan, ke tempat itulah mereka akan datang. Bukan untuk mengumpulkan kekayaan namun hanya sekedar memenuhi kebutuhan perut.
Biarkan suku Bajau Palau tetap hidup di laut dan berkelana dari satu pulau ke pulau lain. Namun jika suatu saat nanti mereka memilih untuk bermukim di darat, pemerintah Kaltim ada baiknya memfasilitasi. Bagi saya, mereka tidak perlu selembar identitas. Identitas mereka sudah cukup jelas bahkan tidak akan hilang karena sudah menempel dalam diri mereka sejak lahir yaitu suku Bajau, sang pengelana laut. Cukup dengan hal itu saja. Dan jika ingin tahu lebih jauh tentang kehidupan di laut, merekalah ahlinya. Belajarlah mengenal laut dari mereka karena sejak dahulu mereka telah menjadikan laut sebagai sahabat kehidupan.

Yogya, April 6, 2010

No comments:

Post a Comment