Tuesday, October 12, 2010

Suku Talang Mamak : Berita dari Datai

Berita dari Datai

“Halo ini siapa?” tanya suara dari seberang.
Biasanya pertanyaan itu muncul dari si penerima telepon. Ini malah kebalikannya.“Lha ini siapa?” tanyaku balik.
“Ini Bang Peheng.”jawab suara itu
“O..bang Peheng..pa kabar bang?”
“Baik…kami baru di Keritang. Ada urusan.”
“Siapa temennya, bang? Naik apa kesana?”
“Ada sama adik. Kami naik kereta (motor).”
“Sudah bisa naik motor ya? Kereta siapa yang dipakai? Bang Peheng sendiri?”
“Sudah. Ini kereta Taitek. Kami pinjam. “
“O begitu……berapa jam naik motor?”
“tiga sampai empat jam lah.”
“Jalannya sudah bagus ya Bang?”
“Yah lumayanlah…..setidaknya masih bisa dilewati motor.”
“Syukurlah kalau begitu…tidak perlu berhari-hari melewati sungai lagi kan untuk ke luar dusun?”
“Iya….”
“Bagaimana kabar teman-teman di sana?”
“Baik semua. Ini Samsiar sudah mau nikah.”
“Oh ya…sama siapa?”tanyaku, “Madi, bukan?”tebakku
“Iya….ini ambil belanja buat pernikahan Samsiar. Dani bisa datang tidak?”
“Wah..maaf bang..tidak bisa…gak ada ongkos..” jawabku sambil tertawa.”salam saja buat Samsiar…doakan semoga kami bisa kesana lagi….”

***

Itulah percakapan Bang Peheng - seorang bapak beranak tiga - denganku melalui handphone. Kalau ia sedang keluar, ia selalu menelpon sekedar bertanya kabar. Begitu pula dengan anggota Suku Talang Mamak yang lain di Dusun Datai. Mereka selalu menghubungi kami ketika sedang berada di Keritang atau Belilas. Bahkan tak jarang mereka menelpon dari sebuah bukit tak jauh dari dusun (sekitar satu jam berjalan kaki). Inilah hebatnya kemajuan yang begitu cepat terjadi. 
Di bulan Agustus 2008, ketika aku dan temanku Wening datang berkunjung, hanya ada sebuah handphone dan satu sepeda kayuh. Seorang pemuda, Sukar, sedang giat-giatnya berlatih naik sepeda. Meskipun sepeda itu milik anaknya yang masih kecil, ia tetap belajar hingga akhirnya ia berhasil. Di kunjungan kami yang kedua, di buklan September, Sukar ternyata sudah membeli sepeda motor. Setiap hari ia belajar naik motor di tanah lapang yang terletak di tengah dusun. Madi, pemuda Melayu anak buah Sukar, bertindak sebagai guru. Apa yang dilakukan Sukar ini kemudian dilakukan oleh pemuda lain. Mereka juga belajar naik sepeda. Bahkan ada yang sengaja membeli sepeda baru. Suasana kampung semakin ramai dengan tambahan kegiatan tersebut. Setidaknya mereka memiliki hiburan selain televisi yang tidak bisa setiap hari dinikmati karena keterbatasan bahan bakar.

Keberhasilan para bikers (ojek) menembus jalanan yang cukup parah dari Simpang Datai hingga dusun Datai mendorong warga Datai untuk membeli sepeda motor. Biasanya motor hanya bisa sampai Simpang Datai dan dilanjutkan dengan berjalan kaki melewati hutan. Sukar menyatakan bahwa ia yakin dengan sepeda motor, ia bisa lebih mudah keluar dusun dan membeli bahan kebutuhan sehari-hari. Selama ini ketika musim kemarau tiba, terkadang bahan kebutuhan pokok sulit diperoleh. Surutnya air sungai menyebabkan mereka tidak bisa pergi ke desa lain untuk berbelanja. Belum lagi transportasi air membutuhkan waktu lebih lama. Paling cepat satu atau dua hari baru bisa sampai ke desa Rantau Langsat. Itupun dengan menggunakan sampan bermesin. Jalan darat sebenarnya bisa juga dilewati namun dengan berjalan kaki selama satu hari. Namun ini tidak bisa diandalkan mengingat mereka tidak bisa membawa banyak barang dengan berjalan kaki.
Alasan itulah yang mendorong Sukar membeli sepeda motor. Bersama dengan warga lain mereka membuat jalan. Semak-semak dibersihkan bahkan ada tanah yang dibuat rata agar lebih mudah dilewati. Mereka berharap, dengan  terbukanya akses jalan darat, sekolah juga bisa dilakukan setiap hari. Selama ini transportasi sering dikeluhkan para guru sebagai kendala utama. Mereka hanya mengajar beberapa hari dalam satu atau dua bulan karena terbatasnya biaya transportasi dan bekal yang bisa dibawa dengan sampan. Dengan adanya jalan darat, warga Datai berharap guru lebih sering masuk dan mengajar lebih lama.
****
Di awal tahun 2009, warga Talang Mamak ternyata sudah begitu banyak berubah. Tanpa perlu datang ke Dusun Datai kami tahu beberapa hal yang terjadi di sana. Bang Peheng, Joli, Jul dan lainnya sering membawa berita mengenai kondisi di sana melalui handphone. Seperti percakapan di atas, kami jadi tahu kalau Samsiar, gadis Datai sahabat kami, akan menikah. Kami juga tahu kalau disana mereka sedang sibuk nugal/menanam padi. Dari mereka jugalah kami tahu kalau sekarang tidak hanya satu motor yang ada, sudah ada 4 buah sepeda motor dan beberapa handphone. Dengan kenyataan ini, sangat pantas jika mobilitas mereka menjadi jauh lebih tinggi. 

Melalui handphone pula kami jadi tahu bahwa pendidikan di Datai tidak lebih baik dibanding dahulu. Ternyata terbukanya akses jalan darat bukan jaminan pendidikan menjadi lebih baik. Para pengajar masih saja datang satu bulan sekali bahkan dua atau tiga bulan sekali. Itupun hanya mengajar selama 4-5 hari saja. Pantas saja jika perkembangan kemampuan baca tulis hitung generasi muda Datai sangat rendah. Mengapa? Inilah yang perlu dicari jawabannya.
***

Aku mencoba merekonstrusksikan jawaban atas pertanyaan itu dengan mengingat pengalaman waktu berkunjung ke Datai. Waktu itu kami sempat bertemu dengan dua orang guru dan bercakap-cakap dengan mereka. Percakapan itu membuka beberapa fakta mengenai pekerjaan mereka.
Pertama, mereka memang membenarkan kalau mereka jarang mengajar karena terhambat transportasi. Dibutuhkan waktu beberapa hari untuk sampai ke dusun ini. Apalagi mereka harus melawan arus sungai (menuju ke hulu). Belum lagi dengan biaya sewa sampan/boat yang lumayan mencekik leher. Biaya tersebut memang disediakan oleh Dinas setempat namun tetap saja terasa berat. Dengan sampan/boat, mereka juga tidak bisa membawa bekal makanan cukup banyak sehingga hanya bisa mengajar sebentar. Factor gaji bisa juga berpengaruh terhadap ketidakhadiran mereka. Sebagai guru honorer tidak banyak yang mereka dapatkan.
Kedua, dari percakapan itu tersirat bahwa mereka berdua masih merasa “harus berhati-hati” saat berinteraksi dengan warga Datai. Sikap itu terlihat ketika mereka bercerita bahwa mereka tidak mau makan dan minum apa yang disuguhkan ketika berkunjung ke rumah warga. Mereka lebih senang menolak dengan mengatakan telah membawa minuman sendiri. Untuk makan sehari-hari mereka juga memasak makanan mereka sendiri. Mungkin saja ketidaknyamanan ini dipengaruhi stigma yang masih diberikan warga Melayu dan transmigran kepada suku Talang Mamak. Ini juga kami alami ketika masih berada di Keritang. Beberapa warga mempertanyakan mengapa kami berani masuk ke Datai dan tinggal bersama warga. Bisa jadi inilah yang menyebabkan para guru enggan mengajar. Sebenarnya mereka juga berinteraksi dengan warga. Mereka bermain voli dan melakukan beberapa aktivitas lain. Hanya bersikap hati-hati jika menyangkut makanan dan minuman. Saya tidak tahu apakah guru lain juga bersikap demikian. Dari empat guru yang ada, kami hanya bertemu dengan guru yang berasal dari Belilas yang adalah orang Jawa (Pujakesuma). Dua guru lain yang berasal dari Desa Rantau Langsat mungkin saja berbeda.

Ketiga, sulit beradaptasi. Menurut asumsi saya, jika sudah biasa hidup dengan beragam fasilitas dan hiburan, akan sangat sulit untuk beradaptasi dengan kehidupan di pedalaman yang terisolir dan tidak bisa kemana-mana dalam jagka waktu lama. Apalagi jika harus hidup jauh dari keluarga dan dengan bekal makanan yang terbatas (mie, ikan kering dll) dan hiburan (televisi) yang kadang ada kadang tidak. Mereka juga harus tidur seadanya di ruang guru. Beralaskan kasur dan hanya menggunakan lampu minyak sebagai penerangan. Mungkin akan lebih baik jika mencari orang yang memiliki jiwa pengabdian. Mereka yang mampu menembus beragam rintangan demi membuat kehidupan orang lain menjadi lebih baik. Tidak mudah memang. Padahal selama ini banyak orang memiliki jiwa pengabdian namun sayangnya seringkali tidak memiliki persyaratan yang ditentukan/dinilai tidak berkualitas. Sebaliknya orang yang memenuhi syarat dan memiliki kesempatan itu seringkali tidak memiliki jiwa pengabdian. 

Ketiga hal di atas hanyalah sebuah asumsi. Bisa benar dan bisa juga tidak. Apapun itu kami hanya bisa berharap pendidikan di Datai bisa jauh lebih baik lagi sehingga generasi muda disana mendapat bekal yang cukup untuk masa depan mereka. Mereka tidak lagi hidup dalam lingkaran yang sama. Hanya bisa mengulang apa yang dilakukan orang tua mereka. Dengan pendidikan yang lebih tinggi setidaknya mereka bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Paling tidak ada alternative penghidupan selain menggantungkan diri pada sumber daya alam yang ada yang mungkin akan habis karena dieksploitasi terus menerus.
Berita dari Datai akan selalu menarik untuk dinanti….semoga mereka tidak bosan memberi kabar………


Jogja, 25 Februari 2010

No comments:

Post a Comment