Tuesday, October 12, 2010

Suku Talang Mamak : Potret Pendidikan di Pedalaman

Catatan kecil tentang Pendidikan di Suku Talang Mamak

Sekolah marginal. Itulah sebutan bagi sebuah sekolah yang didirikan di dusun Datai desa Rantau Langsat., Indra Giri Hilir, Provinsi Riau. Bangunan yang cukup megah (untuk konteks pedalaman) ternyata tidak menjamin kelancaran pendidikan di dusun ini. Rumah sekolah yang dibangun beberapa tahun yang lalu tersebut masih tetap berdiri dengan kokoh namun sayangnya tidak dengan pilar pendidikan yang ada. Rumah sekolah (kalo boleh disebut demikian karena seharusnya sekolah adalah sebuah rumah yang nyaman dan aman untuk mengenyam pendidikan dan bukan hanya pendidikan dalam arti ilmu pengetahuan belaka namun juga pendidikan untuk rasa, untuk hidup), dibangun dengan perjuangan yang cukup berat karena semua bahan bangunan dibawa melalui transportasi air dengan menggunakan sampan bermesin karena akses darat masih sulit

Dinding sekolah itu terbuat dari papan, berlantaikan semen dan beratapkan daun sirap. Meja kursi juga disediakan dengan kualitas yang cukup bagus (lumayan kokoh). Meski hanya ada 3 ruangan (2 ruang kelas, 1 ruang guru), namun cukup memadai untuk belajar. Para siswa juga tidak mengeluarkan biaya sedikitpun untuk sekolah. Semua fasilitas belajar mengajar disediakan tanpa bayar alias gratis. Mulai dari seragam dan sepatu, buku tulis dan alat-alat sekolah lain diperoleh cuma-cuma. Pihak departemen pendidikan memang sudah memberikan perhatian yang cukup bagus kepada masyarakat Datai. Namun kemudahan fasilitas ini ternyata tidak diimbangi dengan hasil pendidikan yang maksimal. 

Ada banyak factor yang menyebabkan pendidikan di Datai tidak berhasil secara maksimal (setidaknya hingga  tahun 2010). Pertama, pendidikan tidak dilakukan secara regular. Di sekolah formal, sekolah diselenggarakan setiap hari (kecuali hari minggu tentunya). Namun di Datai, sekolah hanya ada di saat para pengajar datang ke Datai. Sulitnya akses jalan menuju lokasi ini memang menjadi salah satu factor penghambat pelaksanaan pendidikan. Selama ini para pengajar masuk ke Datai melalui sungai dengan menggunakan sampan bermesin. Adakalanya perjalanan mereka terhambat ketika air sungai Gansal surut atau bahkan banjir besar. Waktu tempuh yang seharusnya bisa satu hari bisa memakan waktu hingga 3 atau 4 hari dengan bermalam di dusun terdekat. Jumlah barang yang dibawa juga tidak banyak karena harus disesuaikan dengan kapasitas sampan. Oleh karena itu masyarakat Datai sangat berharap akses jalan darat akan membuka peluang pendidikan yang jauh lebih baik lagi. 

Kedua, pemahaman terhadap pola hidup masyarakat Talang Mamak belum dimiliki oleh para pengajar yang bertugas. Tanpa adanya pemahaman terhadap pola hidup sangat sulit bagi para pengajar untuk bisa memformulasikan bentuk pendidikan yang paling pas untuk masyarakat. Bagaimanapun masyarakat adat memiliki pola hidup yang cukup kompleks untuk bisa dipahami. Jika para pengajar memiliki pengetahuan dan pemahaman ini mereka akan memiliki gambaran mengenai waktu yang efektif untuk mengajar maupun pengetahuan apa yang seharusnya diberikan kepada anak-anak. 

Selama ini kurikulum pendidikan di Datai disamakan dengan pendidikan dasar pada umumnya. Kondisi dan latar belakang masyarakat tidak dijadikan pertimbangan untuk membuat system pendidikan yang pas untuk mereka. Para pengajar di Datai mengakui bahwa meskipun disamakan dengan pendidikan umum namun mereka tidak mengharapkan hasil yang sama dengan pendidikan dasar pada umumnya. Tujuan utama pendidikan di Datai adalah mengenalkan baca tulis hitung (BTH) kepada anak-anak serta membekali mereka dengan pengetahuan umum. Jika dilihat dari tujuannya sebenarnya cukup bagus namun tujuan ini akan sulit terlaksana jika kuantitas mengajar para pengajar tidak ditingkatkan. Selain itu akan lebih pas jika para pengajar memahami psikologi masyarakat setempat. 

Bukan bermaksud mengajari para pengajar yang tentunya lebih pintar dan berpengalaman dalam hal mentransfer ilmu kepada anak-anak namun ada baiknya para guru lebih mengenal kondisi masyarakat. misalnya saja, dusun ini akan ramai kala panen telah usai hingga musim membuka ladang datang. lagi Agar proses belajar mengajar efektif, ada baiknya untuk memanfaatkan waktu tersebut untuk mengajari anak-anak. Selain itu, waktu pelajaran tidak hanya dilakukan pagi hari namun bisa sewaktu-waktu di saat anak-anak berkumpul. Dengan cara itu, proses belajar mengajar menjadi jauh lebih efektif. Selama ini para guru tidak rutin datang ke Datai. Dalam sebulan, mereka hanya tinggal selama 5 hari. Lebih sering para guru justru datang  hanya 2 atau 3 bulan sekali dengan kondisi sama (paling lama mengajar 5 hari).

Dengan kondisi ini tidak heran bila kemampuan anak-anak tidak kunjung berkembang. Bisa jadi anak-anak lupa dengan yang telah diajarkan karena lamanya jeda waktu para guru datang. Anak-anak juga kurang memiliki semangat belajar di luar waktu sekolah.  

Ketiga. Dukungan dari orang tua terasa mengambang. Di satu sisi mereka menuntut diadakannya pendidikan yang regular (tiap hari anak-anak bisa belajar). Di sisi lain, ketika membutuhkan tenaga anaknya untuk membantu bekerja, mereka akan meminta anaknya untuk membantu di ladang sehingga tidak perlu sekolah.

Pengalaman mengajar
Mengajar anak-anak Talang Mamak di Datai merupakan pengalaman yang menarik, membosankan sekaligus menggemaskan. Setiap pagi (dari senin sampai sabtu), anak-anak sudah siap dengan seragam sekolah dan sepatu hitam. Ada juga yang memakai baju bebas dan sandal.  Menyenangkan  melihat anak-anak itu. Mereka begitu polos dan penuh semangat. Dasi yang terpasang miring, seragam yang tidak lengkap kancingnya, hingga bekas ingus  yang mengering dibawah hidung menjadi pemandangan sehari-hari di sekolah.

Aktivitas belajar di rumah sekolah dimulai pukul 8 atau kadang lebih dan berhenti sejenak kala anak-anak tak lagi konsentrasi. Istirahat di isi dengan bermain bebas, permainan di kelas atau menyanyi. Cukup sulit mengajar mereka. Butuh kesabaran tingkat tinggi. Salut untuk mereka yang mengabdikan dirinya sebagai pengajar karena cukup sulit untuk membuat anak-anak memahami dan bukan sekedar menghapal sesuatu.  Selama ini anak-anak kelas 1 dan 2 sangat hafal urutan angka dan huruf namun begitu diminta untuk menuliskan secara acak terrnyata sulit sekali. Wajah-wajah bingung dan malu bermunculan lantas, "cemano huruf o?", "cemano angka 8?" dan cemano-cemano yang lain. Cemano adalah bahasa lokal yang merupakan kependekan dari macam mano atau jika dibahasa Indonesiakan artinya seperti apa. Terkadang rasa jengkel dan nyaris menyerah juga muncul ketika anak-anak tidak mengingat lagi apa yang baru saja diajarkan.

Tanpa pengetahuan cara mengajar yang baik, kami mencoba untuk mengajari anak-anak tersebut. Lidi, bunga, daun, batu menjadi alat bantu yang ternyata efektif untuk mengajar berhitung. Senyum, kepolosan dan tawa ceria anak-anaklah yang membuat kami bertahan mengajari mereka. Sayangnya, murid yang selama ini telah duduk di kelas 3 enggan mengikuti pelajaran. Alasannya mereka sibuk bekerja namun sebenarnya, mereka malu karena diajar oleh dua perempuan yang telah dianggap sebagai teman sejak awal. Merekalah para bujang gadis berusia 15-18 tahun. Dari sisi kemampuan, para bujang gadis ini sudah lumayan pandai membaca, menulis dan berhitung. Kemampuan ini sering mereka gunakan untuk merayu perempuan dengan berkirim surat.

Berbeda dengan sekolah pada umumnya, di sekolah marginal, kelas tertinggi yang pernah diikuti oleh anak-anak hanya sampai kelas 3. Sampai tahun 2009, belum ada satupun yang duduk di kelas 4. Hal ini wajar mengingat kuantitas belajar mengajar yang sangat rendah. Mungkin karena sejak awal hanya ingin mengajari baca tulis hitung sehingga kelas 3dianggap lebih dari cukup. 

Baca tulis hitung memang penting diajarkan kepada anak-anak di pedalaman. Tetapi mungkin saja akan lebih berarti bila anak-anak juga diajari pengetahuan yang tepat guna untuk kehidupan mereka di masa mendatang misalnya pengetahuan tentang pertanian, perkebunan dll sehingga mereka tidak hanya mengambil apa yang disediakan alam namun juga mampu membudidayakannya. 

Potret pendidikan di pedalaman memang masih sangat muram, semuram dunia pendidikan pada umumnya yang penuh carut marut............



No comments:

Post a Comment