Tuesday, January 4, 2011

Suku Laut : Sejuta Bintang di Temiang

Mau melihat jutaan bintang di langit? Datanglah ke tempat yang belum terkena polusi cahaya. Salah satunya di Pulau Temiang yang berada di Kepulauan Riau. Penggunaan cahaya (baca listrik) yang masih minimalis di komunitas suku laut maupun masyarakat melayu menyebabkan langit malam di pulau ini terasa begitu indah. Jika cuaca cerah kita bisa melihat jutaan bintang. Kalo mau melihat bintang jatuh disinilah tempat yang cocok. Selama 3 jam di bawah langit malam Temiang, kami melihat 3 kali bintang jatuh (atau bintang pindah, atau benda langit yang lain??entahlah yang penting keren abis). Kata orang-orang, kalo melihat bintang jatuh buatlah permohonan. Alhasil selama 3 kali melihat bintang jatuh yang ada hanyalah terkagum-kagum tanpa make a wish. Maklumlah jarang bisa melihat bintang jatuh sih. Apalagi di Jakarta yang memiliki polusi cahaya yang cukup tinggi. Langit Jakarta bukan lagi dipenuhi oleh taburan bintang tapi dipenuhi asap kendaraan, asap pabrik dan pendar cahaya yang berasal dari penerangan yang dipakai masyarakat.

Bagi orang laut di belahan pulau yang lain, bintang dijadikan pemandu ketika mereka berada di lautan luas. Dengan bintang mereka bisa mengetahui arah mata angin. Bagi kita terkadang bintang hanyalah sekedar bintang. Benda langit yang terlihat berkelip jika di lihat dari bumi. Keindahannya telah terkalahkan oleh gemerlap lampu listrik. Akibatnya bintang tidak lagi menjadi “bintang” di kalangan masyarakat perkotaan. Bahkan cenderung di lupakan.

Penggunaan lampu di kota-kota besar memang menjadikan kota begitu indah. Tapi keindahan tersebut tidak akan sebanding dengan jutaan bintang yang bertaburan di kelam malam. Kita bisa melihat kelap-kelip bintang di langit atau pesawat yang melintas di angkasa. Kadang kita bisa mencari rasi bintang yang ada di langit. Sangat indah dan akan semakin membuat kita merasakan betapa kecilnya kita di hadapan Sang Pencipta.

Tidak bisa dibayangkan bagi orang yang tidak terbiasa hidup tanpa lampu listrik. Kegelapan adalah suatu siksaan. Padahal di balik kegelapan masih ada kehidupan lain yang tidak kita sadari. Masih ada binatang-binatang malam (nocturnal) yang hidup dalam kegelapan dan pastinya akan terganggu ketika kegelapan tersebut terdistorsi oleh gemerlapnya lampu listrik.
Di Temiang, jutaan bintang masih bisa dinikmati kala langit cerah. Apalagi ketika kita bisa menikmatnya dengan berbaring di atas sampan sambil dibuai oleh alunan ombak. Temiang akan selalu menjadi tempat yang tidak akan dilupakan. Begitu indah…..

Suku Laut : Catatan awal perjalanan

Akhir Oktober 2008 – Awal Desember 2008



Laut. Tidak terbayang sebelumnya bahwa petualangan berikutnya ternyata berhubungan dengan laut. Jika dua perjalanan yang lalu selalu berhubungan dengan darat dan sedikit kombinasi air (sungai maksudnya), kini kami harus berhadapan dengan dunia bahari. Dunia yang cukup mengerikan bagi siapa saja yang tidak bisa berenang dan takut akan air. Itulah yang dirasakan.
Laut adalah misteri. Gelombang, kapal tenggelam, angin ribut, badai dan lain sebagainya menghantui perjalanan kali ini. Kita tidak akan pernah tau apa yang akan terjadi ketika berada di lautan. Di titik akhir, bersikap pasrah adalah hal utama yang harus dimiliki karena tak ada seorangpun yang bisa menduga terjadinya perubahan cuaca yang seringkali datang tanpa diundang.
Perjalanan di awali dari Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Tanjung Pinang adalah kota kecil di Pulau Bintan yang cukup padat. Sebagai kota yang cukup padat dengan lalu lalang orang – maklumlah karena merupakan kota transit, Tanjung Pinang penuh dengan hotel, pertokoan dan pusat bisnis yang lain. Orang-orang dari Batam, Singapura, Malaysia banyak berdatangan di kota ini untuk berbisnis.
Dari kota kecil Tanjung Pinang, perjalanan dilanjutkan dengan naik kapal (sering disebut sebagai speed) dari pelabuhan Sri Tanjung Pura menuju kecamatan Senayang. Butuh waktu 3-4 jam untuk menuju lokasi ini. Setelah terbanting-banting selama perjalanan di atas kapal, akhirnya kami sampai di pelabuhan Senayang.
Senayang merupakan kota kecamatan. Kami menyebutnya Indonesia kecil. Mengapa?multi etnis tinggal di sini dan melakukan pembauran. Mereka hidup berdampingan secara damai. Symbol keagamaan juga menunjukkan toleransi yang cukup tinggi. Klenteng, gereja, masjid saling berdampingan di wilayah yang panjangnya hanya 14 km ini. Jalan-jalan dibangun mengelilingi dan membelah kampung dengan pemukiman warga disebelah kanan dan kiri jalan. Fasilitas umum juga cukup lengkap mulai dari kantor pos, kantor pemerintahan, PLN, sekolah, penginapan, puskesmas rawat inap hingga menara dua provider telekomunikasi ada di pulau ini.
Keindahan Senayang masih ditambah dengan pantai pasir putih yang berada di sisi belakang pulau ini. Setiap sabtu dan minggu, pantai ini akan ramai oleh anak muda maupun keluarga yang ingin bersantai. Secara keseluruhan, Senayang adalah kota kecamatan yang cukup menyenangkan.
Mengurus perijinan dan mengumpulkan data mengenai kehidupan suku laut adalah tugas utama di kecamatan ini. Di Senayang memang tinggal satu keluarga suku laut yang telah tinggal menetap dan menganut agama tertentu. Bersama Pak Amun, kami memperoleh banyak data mengenai kehidupan suku laut. Pak Amun jugalah yang mengajak kami berkeliling ke Pulau kentar, tempat dimana salah satu kelompok suku laut bermukim. Pak Amun juga memberi kesempatan kami untuk bermalam di kelong (tempat menangkap ikan) miliknya. Terkena angin ribut di kelong, melihat pengambilan ikan di kelong adalah pengalaman yang kami peroleh di sana. Sebenarnya pengalaman pertama bertemu suku laut adalah ketika kami bertemu dengan rombongan dari Tajur Biru yang berkelam (bersampan selama beberapa hari untuk menangkap ikan)di pulau Ibu Hile. Kesan pertama bertemu suku laut adalah mereka sangat ramah.
Agenda selanjutnya adalah mengunjungi suku laut yang ada di Pulau Linau dan mengunjungi dapur arang di Pulau Manic. Dengan diantar Pak Awing, seorang nelayan melayu, kami pergi ke dua lokasi ini. Sayangnya dapur arang telah ditutup oleh pemerintah karena mengganggu ekosistem bakau sehingga kami tidak memperoleh data pengolahan dapur arang. Tapi tak apalah, setidaknya sedikit kami mendapatkan gambaran tentang pengolahan bakau menjadi arang.
Perjalanan berikutnya, mengunjungi suku laut yang tinggal di Pulau Kongki. Keramahan suku laut sangat terasa di wilayah ini. Mereka tinggal di tengah-tengah bakau sehingga terlidung dari angin. Transfer pengetahuanpun dimulai. Tak terasa, sehari telah berlalu sehingga kamipun akhirnya harus pulang. Di tengah perjalanan, tiba-tiba cuca buruk datang. Gelombang laut cukup tinggi dan membuat kami merasa ketakutan. Akhirnya pelampungpun dipakai. Hampir satu jam kami terombang-ambing ditengah laut. Ternyata ini merupakan fenomena yang biasa terjadi. Menurut suku laut, sebagai pendatang baru, laut ingin berkenalan dengan kami.
Selanjutnya, Senayang ditinggalkan dan beralih ke Pulau Temiang di Desa Tajur Biru. Perjalanan dilakukan dengan pompong meski speed juga lewat desa ini. Perjalanan menuju temiang dilalui hampir selama 2 jam. Meski berangkat jam 8 pagi namun ternyata kami masih harus terpanggang teriknya matahari. Suhu di tengah laut mencapai 40 derajat celcius. Sangat panas dan membuat pusing. Namun akhirnya perjalanan selesai sudah. Kami menginap di rumah Pak Akob di Tajur Biru.
Tiga minggu lamanya, kami tinggal di komunitas suku laut yang telah menetap dan menganut satu agama tertentu. Menangkap ikan diwaktu malam, mengambil hasil hutan seperti rotan, berkayu, menjual hasil tangkapan adalah aktivitas yang dilakukan sehari-hari. Sedikit membosankan karena mobilitas kami bergantung dengan sampan padahal kami tidak bisa bersampan. Beberapa kali mencoba namun tetap tidak bisa juga. Untuk mengunjungi tetanggapun harus dilakukan dengan sampan karena tidak ada pelantar (jembatan dari kayu untuk menghubungkan dari rumah-ke rumah, berfungsi sebagai jalan). Hiburan kami satu-satunya adalah nongkrong di waktu malam di luar rumah dan memandang langit yang bertabur jutaan bintang. Terkadang bisa juga nonton tivi tapi karena yang dilihat adalah sinetron yang penuh adegan saling teriak dan memelototkan mata akhirnya kami lebih memilih untuk dekat dengan alam. Ternyata mereka sangat menyukai sinetron laga yang ditayangkan oleh TPI maupun Indosiar. Kadang-kadang mereka nonton film bajakan yang mereka beli di pasar terdekat.
bersama partner dan anak-anak laut
Live in selama 3 minggu bersama suku laut merupakan hal yang aneh di mata masyarakat melayu. Ketika bertemu kami mereka selalu bertanya apakah kami tidak takut dipelet/diguna-guna? Bagaimana kalau akhirnya kami tidak bisa pulang? Pertanyaan itu terus mereka pertanyakan dan selalu saja kami jawab dengan mengatakan kami tidak takut. Memang image yang terbentuk selama ini begitu menyudutkan suku laut. Bagi mereka yang tidak berinteraksi dengan suku laut secara langsung, anggapan bahwa suku laut jorok dan suka mengguna-guna orang memang masih ada. Padahal begitu dekat dengan suku Laut, semua stigma negative itu tidak benar adanya. Mereka adalah suku bangsa yang ramah dan baik meskipun lebih sering merasa rendah diri.
Ketika kami harus pulang lagi ke Jakarta, ada sesuatu yang hilang. Kebersamaan dengan suku Laut sangatlah membekas di hati. Keinginan untuk kembali lagi ke sana selalu ada. Keindahan alam dan keramahan Suku Laut adalah hal yang paling menarik untuk bisa kembali. Yang lebih penting, ada begitu banyak hal yang masih harus dipelajari terutama tentang kehidupan mereka sebagai pengelana laut……..