Sunday, December 16, 2012

Berita dari Laut

Mamok dan seragam

Mamok kembali ke sekolah! Senang rasanya mendengar berita ini. Yosep, anak laut yang selama ini selalu rajin menghubungiku, membagi berita ini melalui telepon. Setelah sempat absen cukup lama dan menyatakan tidak mau sekolah, akhirnya Mamok mau belajar di sekolah lagi.  Mamok dan Yosep adalah dua dari dua belas anak laut yang mulai mengenyam pendidikan formal angkatan pertama di kelompok suku Laut Tajur Biru. Mereka mulai sekolah di SDN 004 pada bulan September tahun 2011. Di antara dua belas anak laut, Mamoklah yang selalu bisa membuat aku dan Ninuk tertawa dengan tingkah lakunya.

Mamok adalah anak berusia sekitar 15 an tahun. Di antara anak laut yang bersekolah, Mamok lah yang paling tua dan paling usil. Menurut cerita bu Ros, wali kelas 1 SDN 004, Mamok sering membuat anak lain menangis dengan keisengannya. Namun meskipun sering iseng dan usil, Mamok adalah anak yang baik dan lucu. Ia tidak malu untuk belajar dan bermain meski bertubuh paling besar dan paling tua di antara kawan-kawan kelas 1. Sayangnya, prestasi Mamok di kelas tidak begitu baik. Ia tertinggal di kelas 1 bersama 3 anak perempuan laut lain sementara anak-anak lainnya bisa naik ke kelas 2.

Sejak pertama kali mengajari anak laut belajar di rumah, aku dan Ninuk tahu bila kami harus berusaha ekstra keras untuk mengajari Mamok menulis. Mamok membutuhkan waktu lama untuk belajar mengenal huruf. Ia sering lupa pelajaran yang baru saja kami ajarkan. Butuh kesabaran untuk mengajari Mamok dan anak-anak Laut lain yang masing-masing memiliki karakter unik. Aku selalu ingat kebiasaan-kebiasaan Mamok yang selalu membuatku mengulum senyum. Yang pertama, ia selalu hormat ketika berpapasan denganku dan Ninuk dimana saja dan kapanpun itu. Yang kedua, ketika sudah pusing belajar, ia akan meletakkan jarinya di kening dan memutar-mutar jarinya sambil berkata "sebentar". Jika sudah seperti itu, kami biarkan Mamok berhenti belajar dan melanjutkannya kapan pun ia suka.

Di antara kawan-kawannya, Mamok paling jarang belajar di rumah pak Akob, rumah dimana aku dan Ninuk tinggal. Ia sering diajak pergi ke laut oleh orang dewasa atau pergi nyandit seorang diri. Untuk urusan mencari uang, Mamok cukup rajin. Ia bahkan bisa membeli sepatu baru dari hasil nyandit (mencari nos). Beda halnya untuk sekolah, Mamok tidak rajin seperti kawan lainnya. Ia sukar bangun pagi dan jika dibangunkan akan marah. Itulah yang membuat orang tua, nenek dan adik-adiknya enggan membangunkan Mamok. Mereka akan membiarkan Mamok tidak berangkat sekolah.

Berita Mamok kembali bersekolah benar-benar berita luar biasa untukku. Menurut Yosep, Mamok memang tidak setiap hari masuk sekolah. Namun tetap saja aku senang. Dengan kembali bersekolah setidaknya semangat Mamok untuk belajar masih ada, ia tidak malu untuk belajar di kelas 1 kembali bersama kawan-kawan barunya. Semoga Mamok tetap mau belajar baik di rumah maupun sekolah.

Berita Mamok sekolah memang membuatku senang. Namun aku juga merasa sedih ketika aku mendengar dari Yosep bahwa ada 3 anak laut yang memutuskan untuk berhenti sekolah. Sudah hampir tiga minggu Norman (Nod), Karmer (Kincil) dan Jun tidak masuk sekolah. Entah apa alasan mereka. Semoga keputusan itu hanyalah keputusan sesaat dan suatu hari nanti mereka akan kembali ke sekolah.

Aku jadi berpikir, apakah mungkin Mamok, Jun, Nod dan Karmer memutuskan untuk berhenti sekolah karena tidak memahami apa yang diajarkan di sekolah? Apakah sekolah tidak menjadi kebutuhan untuk anak-anak laut itu? Apakah kehidupan di laut jauh lebih menyenangkan dibandingkan sekolah mengingat semua anak-anak itu telah mengenal kerja laut dan bisa mencari uang sendiri? Tepatkah memasukkan anak-anak laut ke sekolah formal? Ada banyak pertanyaan yang muncul. Pertanyaan yang juga sering menjadi bahan diskusiku bersama Ninuk.

Semoga segera ada volunteer yang mau mengajari dan mendampingi anak-anak laut belajar di rumah sehingga kemampuan mereka semakin terasah dan mampu memahami pelajaran di sekolah. Semoga tidak ada lagi berita anak-anak laut yang mundur dari bangku sekolah lagi. Semoga generasi pertama ini bukan generasi terakhir yang mengenyam pendidikan karena akan ada anak-anak laut yang lahir. Harapan-harapan yang terus tumbuh meski tidak mudah mewujudkannya.

Aku berharap kalaupun anak-anak tetap tidak mau melanjutkan sekolah formal, mereka tetap bisa menguasai membaca dan menulis. Bisa jadi pendidikan alternatif adalah jawabnnya. Setidaknya dengan menguasai pendidikan dasar, anak-anak laut bisa lebih percaya diri menghadapi dunia luar yang selama ini selalu memberikan cap negatif pada identitas kesukuan mereka. Yosep, Jun, Mamok dan anak-anak laut lain adalah generasi penerus suku laut. Suatu hari nanti mereka akan menjadi pelaut ulung seperti nenek moyang mereka...sang pengelana laut.....


Kapuas, 16 Desember 2012



Wednesday, March 7, 2012

Berburu Air di Pulau

Beberapa buah jerigen berukuran sedang berjajar di sampan Iyus.  Dengan santai ia mendayung sampannya sambil bertanya ini itu. Kadang tawa kecil menghiasi wajah polosnya. Tak nampak nafasnya terengah-engah meski telah cukup lama mendayung. Tubuhnya yang kecil berbanding terbalik dengan tenaganya. Lengannya sangat kokoh menggerakan dayung. Iyus memang telah terbiasa menjadi tekong (pendayung) sejak masih kecil. Sebagai anak sulung dari 4 bersaudara dan cucu tertua di keluarga besarnya, Iyus memang dididik untuk menjadi mandiri sejak kecil. Berbagai tugas rumah tangga sering dilimpahkan kepadanya. 

Satu-satu (foto : CLI)
Salah satu tugasnya adalah mengambil air di perigi yang terletak di pulau lain. Untuk menuju ke tempat ini, ia harus menggunakan sampan kira-kira 10-15 menit perjalanan. 

Sesampainya di pulau berperigi, dengan cekatan Iyus segera menambatkan sampannya di antara jajaran bakau. Rupanya ia tidak sendiri. Deretan sampan terlihat berjejer, menunggu pemiliknya mengisi jerigen dengan air tawar. Dengan gesit ia membawa jerigen kosong ke perigi. Sebuah gayung tak bertuan menjadi alat bagi Iyus mengambil air. Untung saja perigi tak begitu dalam sehingga dengan mudah Iyus mengisi jerigen miliknya. Selain gayung, terkadang Iyus juga menggunakan ember kecil yang diberi tali. 

Setelah jerigen terisi penuh, ia kembali membawanya ke sampan. Jalan setapak yang licin, membuatnya harus lebih berhati-hati. Tak mudah bagi anak sekecil Iyus membawa jerigen sebesar itu. Terkadang ia berhenti sekedar untuk mengatur nafas. Satu demi satu jerigenpun mulai terisi. Ia pun kembali mendayung sampannya yang terasa semakin berat. Pulang.

Perigi menjadi tumpuan pemenuhan sumber air bersih bagi suku Laut. Meskipun hanya berupa lubang di tanah (biasanya tak begitu dalam) namun kualitas airnya cukup bagus. Senang rasanya melihat air yang terus menerus keluar dari tanah. Seakan tak ada habisnya. Tak jarang anak-anak atau perempuan mandi disana. Mereka bisa sepuasnya mengguyur tubuh. Hmmm segarnya.

Hampir semua perigi dibiarkan apa adanya. Hanya berupa lubang dalam tanah. Disekeliling lubang terkadang dipasangi papan untuk pijakan atau berfungsi sebagai pembatas dengan tanah sekitar. Tidak setiap pulau memiliki perigi sehingga jika perigi yang satu kering, suku Laut atau penduduk desa harus mencari di tempat lain. 

Perigi bukan satu-satunya sumber air bagi mereka. Kala hujan datang, drum-drum besar, ember, panci semua diletakkan di luar rumah, siap menampung air. Air hujan akan digunakan untuk mandi dan mencuci, terkadang juga untuk memasak. Musim hujan benar-benar membantu ketersediaan air di rumah mereka. 

Meski tinggal dikelilingi air, namun bagi mereka yang tinggal di pulau-pulau kecil seperti suku laut di desa Tajur Biru, ketersediaan air tawar menjadi hal yang langka dan begitu penting. Tinggal disana bersama mereka, kita akan belajar banyak hal terutama hematlah menggunakan air karena begitu banyak tenaga yang dicurahkan hanya untuk setetes air.