Wednesday, March 7, 2012

Berburu Air di Pulau

Beberapa buah jerigen berukuran sedang berjajar di sampan Iyus.  Dengan santai ia mendayung sampannya sambil bertanya ini itu. Kadang tawa kecil menghiasi wajah polosnya. Tak nampak nafasnya terengah-engah meski telah cukup lama mendayung. Tubuhnya yang kecil berbanding terbalik dengan tenaganya. Lengannya sangat kokoh menggerakan dayung. Iyus memang telah terbiasa menjadi tekong (pendayung) sejak masih kecil. Sebagai anak sulung dari 4 bersaudara dan cucu tertua di keluarga besarnya, Iyus memang dididik untuk menjadi mandiri sejak kecil. Berbagai tugas rumah tangga sering dilimpahkan kepadanya. 

Satu-satu (foto : CLI)
Salah satu tugasnya adalah mengambil air di perigi yang terletak di pulau lain. Untuk menuju ke tempat ini, ia harus menggunakan sampan kira-kira 10-15 menit perjalanan. 

Sesampainya di pulau berperigi, dengan cekatan Iyus segera menambatkan sampannya di antara jajaran bakau. Rupanya ia tidak sendiri. Deretan sampan terlihat berjejer, menunggu pemiliknya mengisi jerigen dengan air tawar. Dengan gesit ia membawa jerigen kosong ke perigi. Sebuah gayung tak bertuan menjadi alat bagi Iyus mengambil air. Untung saja perigi tak begitu dalam sehingga dengan mudah Iyus mengisi jerigen miliknya. Selain gayung, terkadang Iyus juga menggunakan ember kecil yang diberi tali. 

Setelah jerigen terisi penuh, ia kembali membawanya ke sampan. Jalan setapak yang licin, membuatnya harus lebih berhati-hati. Tak mudah bagi anak sekecil Iyus membawa jerigen sebesar itu. Terkadang ia berhenti sekedar untuk mengatur nafas. Satu demi satu jerigenpun mulai terisi. Ia pun kembali mendayung sampannya yang terasa semakin berat. Pulang.

Perigi menjadi tumpuan pemenuhan sumber air bersih bagi suku Laut. Meskipun hanya berupa lubang di tanah (biasanya tak begitu dalam) namun kualitas airnya cukup bagus. Senang rasanya melihat air yang terus menerus keluar dari tanah. Seakan tak ada habisnya. Tak jarang anak-anak atau perempuan mandi disana. Mereka bisa sepuasnya mengguyur tubuh. Hmmm segarnya.

Hampir semua perigi dibiarkan apa adanya. Hanya berupa lubang dalam tanah. Disekeliling lubang terkadang dipasangi papan untuk pijakan atau berfungsi sebagai pembatas dengan tanah sekitar. Tidak setiap pulau memiliki perigi sehingga jika perigi yang satu kering, suku Laut atau penduduk desa harus mencari di tempat lain. 

Perigi bukan satu-satunya sumber air bagi mereka. Kala hujan datang, drum-drum besar, ember, panci semua diletakkan di luar rumah, siap menampung air. Air hujan akan digunakan untuk mandi dan mencuci, terkadang juga untuk memasak. Musim hujan benar-benar membantu ketersediaan air di rumah mereka. 

Meski tinggal dikelilingi air, namun bagi mereka yang tinggal di pulau-pulau kecil seperti suku laut di desa Tajur Biru, ketersediaan air tawar menjadi hal yang langka dan begitu penting. Tinggal disana bersama mereka, kita akan belajar banyak hal terutama hematlah menggunakan air karena begitu banyak tenaga yang dicurahkan hanya untuk setetes air.



Monday, January 9, 2012

Berpetualang ke TN Berbak Jambi

Berwisata ke taman nasional? Kenapa tidak? Wisata tipe ini memang kurang populer namun sebenarnya sangat menarik. Terutama bagi yang senang petualangan. Salah satu taman nasional yang bisa dikunjungi adalah TNB atau Taman Nasional Berbak di provinsi Jambi. TN Berbak memiliki karakteristik unik yaitu kondisi alamnya yang berlahan basah (tanah gambut) dan merupakan taman nasional terluas di Asia Tenggara. Otomatis kita akan diajak menyusuri sungai dan rawa.
Taman Nasional Berbak terletak di wilayah kabupaten Tanjung Jabung Timur dan kabupaten Muaro Jambi dengan luas wilayah 162.700 hektar. Di Taman Nasional yang terbentang luas di pesisir timur pulau Sumatera ini kita bisa mengunjungi tiga tempat yang menarik yaitu Air Hitam Dalam, Air Hitam Laut dan Simpangkubu. Sayangnya karena keterbatasan waktu, saya hanya bisa mengunjungi Air Hitam Dalam.
Untuk menuju Air Hitam Dalam, kita bisa menggunakan dua cara. Pertama menggunakan angkutan umum (colt) dari depan WTC (salah satu pusat perbelanjaan, dekat dengan Pasar Angso Duo) Jambi atau menyewa mobil ke Suakkandis. Alternative kedua ini lebih disarankan. Jika menggunakan mobil sewaan, perjalanan bisa ditempuh selama 1,5 jam – 2 jam. Bila bertepatan dengan musim buah, dengan mudah kita bisa menemukan kebun-kebun buah di sepanjang jalan menuju Suakkandis dan berbelanja tentunya. Banyak buah yang dijajakan dari rambutan, duku hingga durian(tergantung musim). Perjalanan darat akan berakhir di pelabuhan sungai Suakkandis. Dari tempat ini, kita harus menyewa speed untuk menuju Air Hitam Dalam (pulang pergi).
Sebelum masuk ke taman nasional ini disarankan untuk menghubungi pihak BKSDA setempat karena untuk masuk ke sebuah taman nasional haruslah memiliki ijin masuk yang dikeluarkan oleh kantor ini. Akan lebih baik lagi jika didampingi salah satu staf disana sehingga benar-benar bisa mengeksplorasi tempat yang kita kunjungi.
Selama satu jam, kita akan dibawa menyusuri sungai Batanghari dengan menggunakan speed. Banyak pemandangan yang bisa dilihat seperti perkampungan penduduk di pinggir sungai (rumah panggung, rumah rakit), lalu lalang perahu dan jika ingin berziarah, pengunjung bisa singgah di makam Rangkayo Hitam yang konon katanya merupakan tokoh terkenal di masa lalu.  Perjalanan menyusuri Air Hitam Dalam dimulai dari kantor seksi BKSDA di sana yang terletak di desa Sungai Rambut, kecamatan Rantau Rasau.  Sebuah pintu gerbang dari kayu menjadi penyambut bagi siapa saja yang berniat menjelajahi wilayah ini.  Jajaran bakau di kiri kanan sungai menjadi pemandangan awal petualangan ini.
Menjelajahi Air Hitam Dalam bisa dilakukan dengan menggunakan speed bila air tidak surut dengan waktu tempuh satu jam. Namun bila air surut, kita harus berganti menggunakan ketek (sampan kecil) untuk menyusuri sungai Air Hitam Dalam selama 2 jam.  Hmm menyenangkan rasanya menyusuri sungai dibawah rindangnya pepohonan di kiri kanan sungai, begitu segar di mata. Benar-benar memasuki kawasan hutan namun kali ini tidak menjejakkan kaki di tanah melainkan duduk manis di speed atau sampan.
Sesuai dengan namanya, air di sungai Air Hitam Dalam berwarna hitam.  Warnanya yang terlalu hitam justru menjadikan sungai ini seperti cermin besar.  Apalagi  air sungai yang tenang menjadikan bayangan pepohonan disekitar sungai  seakan tergambar jelas dipermukaan air. Warna hitam sungai ini katanya disebabkan karena dasar sungai yang berupa tanah gambut.
Menyusuri Air Hitam Dalam benar-benar menyenangkan. Begitu tenang dan menghanyutkan karena yang ada hanyalah kita dan segala mahluk hidup disana. Namun jangan sampai terlena. Kata staf dari dari BKSDA, jangan sampai pengunjung memasukkan anggota tubuh ke dalam air apalagi sampai berenang! Menurut mereka, sungai ini banyak dihuni buaya.  Maklumlah sungai berair tenang memang menjadi tempat tinggal yang nyaman untuk buaya.
Di sungai ini kita juga bisa dengan mudah menjumpai tumbuhan rasau (sejenis pandan berduri). Kalau beruntung kita juga bisa melihat anggrek-anggrek liar  yang berbunga di batang-batang pohon. Meski mengasyikan namun perjalanan terkadang terganggu dengan keberadaan enceng gondok, sampah semak dan potongan-potongan kayu yang rebah karena angin. Sebenarnya bisa saja semua itu dibersihkan namun itu berarti akan membuka peluang bagi bagi para pebalok (pencuri kayu) berkeliaran disana. Semakin mudah akses menuju taman ini semakin tinggi pula potensi pencurian kayu. Buktinya waktu kesana, kami sempat bertemu dengan orang-orang yang sedang mengangkut kayu curian dengan sampan. 
Oh ya..sebelum menyusuri Air Hitam Dalam, kita juga bisa mengunjungi taman anggrek yang dikelola oleh balai taman nasional disana.  Berbagai macam anggrek dikembangbiakkan. Sayangnya kami kurang beruntung karena saat kami datang anggrek sedang tidak berbunga. Anggrek-anggrek tersebut diambil dari dalam taman nasional. Jadi bila tak bisa menemukan anggrek liar di hutan, tak usah khawatir, kita bisa melihatnya di taman anggrek ini. Mari berwisata ke TN Berbak dan merasakan sensasi petualangan di atas air!!