Tuesday, October 12, 2010

Suku Talang Mamak : Catatan Perjalanan

Perjalanan ke Suku Talang Mamak
Agustus – September 2008
Dusun Tuo Datai. Nama ini sangat terkenal bagi siapa saja yang ingin mengenal kehidupan suku Talang Mamak. Dusun Tuo Datai terletak di dalam kawasan Taman nasional Bukit 30. Secara administrative, dusun ini masuk wilayah Desa Rantau Langsat, kabupaten Indragiri Hulu. Untuk menuju ke dusun ini bisa ditempuh melalui 2 jalan yaitu jalan darat atau jalan air. Jalan darat bisa ditempuh melewati Simpang Pendowo, Keritang. Dengan para bikers (baca – tukang ojek) yang sudah berpengalaman, “hanya” dibutuhkan waktu 2 jam untuk menuju dusun ini. Perjalanannya cukup asyik bagi yang suka tantangan dan bertualang lho. Bagi orang-orang yang hanya menyukai kenyamanan dan fasilitas yang lengkap, jangan pernah berpikir untuk berkunjung hehehehehe…gak ding….
Sepanjang perjalanan kita akan bertemu dengan hamparan hutan (dulunya) yang sudah mulai dibuka menjadi ladang. Jalan yang ditempuh merupakan jalan yang dibuat oleh sebuah perusahaan. Dahulu sih jalannya cukup bagus dan lebar..namun seiring dengan selesainya kontrak kerja (ciee..bahasanya)..jalan yang dibuat pun selesai juga kontraknya melayani orang dengan nyaman alias mulai rusak. Kerusakan bisa dilihat dari lubang yang mengangga di sepanjang jalan, semak belukar yang tumbuh subur, dan jalan yang mulai bergelombang (mungkin harus rebonding dulu ya…..biar gak keriting gitu)
Naik ojek perlu kewaspadaan tinggi. Kuncinya percayalah pada para bikers dan banyak-banyak doa. Dijamin semuanya aman dan terkendali hehehehe…..soalnya kiri kanan jalan adalah jurang dan bukit-bukit kalo gak ya semak belukar yang cukup tajam jika terkena kulit. Dalam perjalanan, kita juga akan melewati simpang 86. Kata orang2 sih, di sana terdapat air terjun yang masih sangat alami tapi akses menuju kesana juga cukup alami alias agak susah. Nah setelah terguncang-guncang hampir selama 1 jam di atas motor, sampailah kita ke simpang Datai. Simpang Datai merupakan perbatasan antara wilayah Keritang dan Datai. Simpang ini sudah masuk dalam kawasan taman nasional entah zona penyangga atau pemanfaatan atau zona yang lain kurang begitu jelas. Yang pasti di pertengahan tahun 2008, simpang Datai masih berupa hutan. Pembukaan ladang belum sampai ke wilayah ini. Tapi kalo pembukaan ladang oleh masyarakat asli tentu saja ada.
Dari simpang Datai, kita bisa berjalan kaki ± 3 jam menuju Dusun Tuo Datai. Jika tidak ingin capek bisa juga ditempuh dengan naik ojek. Akses jalan yang sudah cukup bagus memungkinkan motor untuk bisa masuk sampai ke Dusun Tuo Datai.
Dusun Tuo Datai
Meskipun para bikers nekat membawa motor hingga kedalam, kami tetap kukuh untuk berjalan kaki meski bukan pejalan tangguh. Jalan setapak yang ada cukup bersemak di beberapa tempat sedangkan selebihnya cukup bagus untuk dilewati. Jalan setapak yang teduh karena rimbunnya pepohonan cukup membantu kami menghemat tenaga. Keteduhan itu terus kami rasakan hingga kami menemukan sebuah ladang yang baru saja dibakar. Hembusan angin yang terasa panas dikulit langsung menyapa kami. Teriknya matahari seakan tidak mau mengalah. Dengan melintas tengah ladang, akhirnya kami tiba di sebuah sungai yang bernama Datai. Di sana ada 3 anak kecil yang melihat kami tanpa kata. Tak lama kemudian datang seorang lelaki menyapa. Para bikers dan lelaki tadi asyik ngobrol sementara kami justru asyik melihat tingkah polah lucu dari ketiga anak tadi yang ternyata bernama Opi, Narni dan Bondi.
Rasa lelah berjalan cukup terbayar dengan berendam di air Sungai Datai yang dingin dan bening. Akhirnya kami melanjutkan perjalanan menuju perkampungan penduduk. Setelah berjalan hampir 10 menit, sampailah kami di ladang kedua yang belum lama dibakar. Ternyata kedatangan kami bertepatan dengan musim tanam sehingga tak heran dimana-mana terdapat pembukaan ladang. Dari tempat itu, beberapa anak Talang Mamak telah menyambut kami. Kami berharap untuk segera sampai namun ternyata perjalanan belum berakhir. Tak jauh dari ladang tersebut terdapat sebuah sekolah yang cukup bagus. Setelah melewati sekolah akhirnya kami pun sampai ke Dusun Tuo Datai.
Pemandangan awal yang kami lihat adalah rumah-rumah panggung yang berjajar rapi di bagian kanan dan kiri jalan. Jarak yang cukup jauh antara kanan dan kiri jalan menjadikan bagian tengah kampung terasa lapang sehingga sering digunakan sebagai lapangan voli. Meski tampak ramai, kondisi kampung terasa sangat panas. Beberapa pohon yang ada di kanan dan kiri jalan tak mampu lagi memberikan keteduhan. Hal ini disebabkan tanah yang ada di sekitar kampong sudah dibuka menjadi ladang. Jadi jangan pernah berharap bisa melihat areal hutan di sekitar dusun Datai. Keteduhan baru akan terasa ketika melihat gemericik air di sungai Datai. Kondisi sungai yang surut justru membuat sungai menjadi terlihat bagus (coba kalo banjir…gak asik banget…gak bisa renang soalnya hehehehe). Dengan kedalaman air yang hanya setinggi lutut orang dewasa, kita bisa sepuasnya bermain di sungai. Airnya yang bening memperlihatkan dasar sungai yang berisi bebatuan kecil. Wow…keren habis…….
Ketakjuban kami tidak hanya sampai disitu saja, keramahan penduduknya cukup memberikan kesan positif. Ketika kami sedang beristirahat di bawah pohon bersama para bikers, seorang gadis berambut panjang datang dan menyapa kami. Namanya Yopi. Ia begitu berani dan justru menyapa kami terlebih dahulu. Kesan pertama yang cukup menyenangkan.
Selanjutnya………tugas pun dimulai…………ikut menjadi bagian dalam kehidupan keseharian masyarakat adalah hal penting. Kami mencoba menjadi insider meskipun tetap saja kami dianggap sebagai outsider hehehehe…….ikut nugal (menanam padi di ladang) bersama masyarakat, nongkrong, tanya adat ini adat itu, bermain air, menenggok si Nuang - seekor rusa, bersampan, berjalan-jalan ke air terjun, main domino bersama para gadis dan bujang di sana hingga tak tahu lagi mesti berbuat apa menjadi aktivitas kami selama 26 hari di Datai. Untuk menghindari rasa bosan seringkali kami harus berkhayal ala film-film kartun….tapi ternyata rasa bosan itu memang alami dan susah dihilangkan jadi kalo bosan ya bosan saja……………nanti juga hilang sendiri. Yang pasti selama di sana berjuta rasa bercampur aduk…berasa seperti permen nano nano……..hehehehe………….
Pastinya saat yang paling mengesankan adalah naik rakit menuju ke hilir. Maksudnya setelah kemarin masuk ke Datai melalui Simpang Pendowo atau via jalan darat, kami memutuskan untuk keluar ke desa dengan naik rakit. Sebenarnya dengan naik sampan bisa juga namun karena airnya surut tidak mungkin dilakukan. Sampan bisa saja pecah karena menghantam batu. Apalagi dengan muatan yang cukup banyak pasti justru akan menyengsarakan penumpangnya. Akhirnya rakit dipilih sebagai sarana transportasi yang paling aman meskipun harus menempuh perjalanan dua hari satu malam…eit jangan membayangkan kami juga tidur di atas rakit karena ketika sore menjelang, kami akan singgah di dusun terdekat untuk bermalam. Kan gak mungkin memasak di atas rakit bisa2 rakitnya terbakar…..lagi pula berakit di malam hari juga penuh dengan resiko karena batu-batu besar yang ada di sepanjang sungai bisa membuat rakit terbalik jika tidak hati-hati.
Hari pertama berakit cukup menyenangkan meskipun sedikit khawatir karena kami tidak bisa berenang hiks hiks hiks………..tapi berbekal kepercayaan kepada para penggalah (tukang rakit)….misi berakit ke hilir terlaksana dengan sukses. …sepanjang perjalanan kami bisa menyaksikan aktivitas masyarakat yang tinggal di sepanjang Sungai. Mulai dari mandi, mencuci, bersampan, memancing, menjala ikan dan lain sebagainya. Terkadang kami juga merasa takjub karena di dalam kawasan taman nasional, sudah terdapat parabola dan lalu lalang sampan dengan mesin boat….sudah modern lah pokoknya…….Di sepanjang sungai kami juga bisa melihat jamban masyarakat. Jangan berpikir jamban adalah sebuah ruangan tertutup seperti layaknya kamar mandi atau wc yang biasa kita gunakan. Jamban adalah sebutan untuk tempat mandi di sungai. Biasanya tempat mandi ini dilengkapi dengan rakit sebagai tempat nangkring selagi mandi atau mencuci………dan bahkan melaksanakan panggilan alam alias BAB.
Saat yang terasa sedikit membosankan adalah melewati Lubuk Teberau hingga Suit. Berjam-jam pemandangan yang ada hanyalah hamparan hutan yang masih cukup bagus. Di antara kedua wilayah ini tidak ada satupun orang yang tinggal. Benar- benar hamparan hutan tanpa penghuni. Yang ada hanyalah suara-suara alam. Terkadang aneka jenis burung dengan warna-warniyang camtik menampakkan dirinya kepada kami….untuk bukan hantu yang menampakkan diri. ……begitu keluar dari hutan, kami pun bernapas lega….akhirnya bertemu dengan peradaban lagi….bertemu rumah-rumah warga dan melihat kembali aktivitas mereka…….
Tak terasa perjalanan panjang yang cukup menyenangkan (meski terkadang ada juga rasa bosan) harus berakhir begitu kami tiba di Desa Rantau Langsat. Selanjutnya kami lagi-lagi menjalankan tugas yang harus kami emban..hehehehehe……yaitu berjalan-jalan menikmati kehidupan kota kecil sembari menyiapkan diri untuk kembali lagi masuk ke Dusun Datai untuk kedua kalinya…………………..

Suku Talang Mamak : Potret Pendidikan di Pedalaman

Catatan kecil tentang Pendidikan di Suku Talang Mamak

Sekolah marginal. Itulah sebutan bagi sebuah sekolah yang didirikan di dusun Datai desa Rantau Langsat., Indra Giri Hilir, Provinsi Riau. Bangunan yang cukup megah (untuk konteks pedalaman) ternyata tidak menjamin kelancaran pendidikan di dusun ini. Rumah sekolah yang dibangun beberapa tahun yang lalu tersebut masih tetap berdiri dengan kokoh namun sayangnya tidak dengan pilar pendidikan yang ada. Rumah sekolah (kalo boleh disebut demikian karena seharusnya sekolah adalah sebuah rumah yang nyaman dan aman untuk mengenyam pendidikan dan bukan hanya pendidikan dalam arti ilmu pengetahuan belaka namun juga pendidikan untuk rasa, untuk hidup), dibangun dengan perjuangan yang cukup berat karena semua bahan bangunan dibawa melalui transportasi air dengan menggunakan sampan bermesin karena akses darat masih sulit

Dinding sekolah itu terbuat dari papan, berlantaikan semen dan beratapkan daun sirap. Meja kursi juga disediakan dengan kualitas yang cukup bagus (lumayan kokoh). Meski hanya ada 3 ruangan (2 ruang kelas, 1 ruang guru), namun cukup memadai untuk belajar. Para siswa juga tidak mengeluarkan biaya sedikitpun untuk sekolah. Semua fasilitas belajar mengajar disediakan tanpa bayar alias gratis. Mulai dari seragam dan sepatu, buku tulis dan alat-alat sekolah lain diperoleh cuma-cuma. Pihak departemen pendidikan memang sudah memberikan perhatian yang cukup bagus kepada masyarakat Datai. Namun kemudahan fasilitas ini ternyata tidak diimbangi dengan hasil pendidikan yang maksimal. 

Ada banyak factor yang menyebabkan pendidikan di Datai tidak berhasil secara maksimal (setidaknya hingga  tahun 2010). Pertama, pendidikan tidak dilakukan secara regular. Di sekolah formal, sekolah diselenggarakan setiap hari (kecuali hari minggu tentunya). Namun di Datai, sekolah hanya ada di saat para pengajar datang ke Datai. Sulitnya akses jalan menuju lokasi ini memang menjadi salah satu factor penghambat pelaksanaan pendidikan. Selama ini para pengajar masuk ke Datai melalui sungai dengan menggunakan sampan bermesin. Adakalanya perjalanan mereka terhambat ketika air sungai Gansal surut atau bahkan banjir besar. Waktu tempuh yang seharusnya bisa satu hari bisa memakan waktu hingga 3 atau 4 hari dengan bermalam di dusun terdekat. Jumlah barang yang dibawa juga tidak banyak karena harus disesuaikan dengan kapasitas sampan. Oleh karena itu masyarakat Datai sangat berharap akses jalan darat akan membuka peluang pendidikan yang jauh lebih baik lagi. 

Kedua, pemahaman terhadap pola hidup masyarakat Talang Mamak belum dimiliki oleh para pengajar yang bertugas. Tanpa adanya pemahaman terhadap pola hidup sangat sulit bagi para pengajar untuk bisa memformulasikan bentuk pendidikan yang paling pas untuk masyarakat. Bagaimanapun masyarakat adat memiliki pola hidup yang cukup kompleks untuk bisa dipahami. Jika para pengajar memiliki pengetahuan dan pemahaman ini mereka akan memiliki gambaran mengenai waktu yang efektif untuk mengajar maupun pengetahuan apa yang seharusnya diberikan kepada anak-anak. 

Selama ini kurikulum pendidikan di Datai disamakan dengan pendidikan dasar pada umumnya. Kondisi dan latar belakang masyarakat tidak dijadikan pertimbangan untuk membuat system pendidikan yang pas untuk mereka. Para pengajar di Datai mengakui bahwa meskipun disamakan dengan pendidikan umum namun mereka tidak mengharapkan hasil yang sama dengan pendidikan dasar pada umumnya. Tujuan utama pendidikan di Datai adalah mengenalkan baca tulis hitung (BTH) kepada anak-anak serta membekali mereka dengan pengetahuan umum. Jika dilihat dari tujuannya sebenarnya cukup bagus namun tujuan ini akan sulit terlaksana jika kuantitas mengajar para pengajar tidak ditingkatkan. Selain itu akan lebih pas jika para pengajar memahami psikologi masyarakat setempat. 

Bukan bermaksud mengajari para pengajar yang tentunya lebih pintar dan berpengalaman dalam hal mentransfer ilmu kepada anak-anak namun ada baiknya para guru lebih mengenal kondisi masyarakat. misalnya saja, dusun ini akan ramai kala panen telah usai hingga musim membuka ladang datang. lagi Agar proses belajar mengajar efektif, ada baiknya untuk memanfaatkan waktu tersebut untuk mengajari anak-anak. Selain itu, waktu pelajaran tidak hanya dilakukan pagi hari namun bisa sewaktu-waktu di saat anak-anak berkumpul. Dengan cara itu, proses belajar mengajar menjadi jauh lebih efektif. Selama ini para guru tidak rutin datang ke Datai. Dalam sebulan, mereka hanya tinggal selama 5 hari. Lebih sering para guru justru datang  hanya 2 atau 3 bulan sekali dengan kondisi sama (paling lama mengajar 5 hari).

Dengan kondisi ini tidak heran bila kemampuan anak-anak tidak kunjung berkembang. Bisa jadi anak-anak lupa dengan yang telah diajarkan karena lamanya jeda waktu para guru datang. Anak-anak juga kurang memiliki semangat belajar di luar waktu sekolah.  

Ketiga. Dukungan dari orang tua terasa mengambang. Di satu sisi mereka menuntut diadakannya pendidikan yang regular (tiap hari anak-anak bisa belajar). Di sisi lain, ketika membutuhkan tenaga anaknya untuk membantu bekerja, mereka akan meminta anaknya untuk membantu di ladang sehingga tidak perlu sekolah.

Pengalaman mengajar
Mengajar anak-anak Talang Mamak di Datai merupakan pengalaman yang menarik, membosankan sekaligus menggemaskan. Setiap pagi (dari senin sampai sabtu), anak-anak sudah siap dengan seragam sekolah dan sepatu hitam. Ada juga yang memakai baju bebas dan sandal.  Menyenangkan  melihat anak-anak itu. Mereka begitu polos dan penuh semangat. Dasi yang terpasang miring, seragam yang tidak lengkap kancingnya, hingga bekas ingus  yang mengering dibawah hidung menjadi pemandangan sehari-hari di sekolah.

Aktivitas belajar di rumah sekolah dimulai pukul 8 atau kadang lebih dan berhenti sejenak kala anak-anak tak lagi konsentrasi. Istirahat di isi dengan bermain bebas, permainan di kelas atau menyanyi. Cukup sulit mengajar mereka. Butuh kesabaran tingkat tinggi. Salut untuk mereka yang mengabdikan dirinya sebagai pengajar karena cukup sulit untuk membuat anak-anak memahami dan bukan sekedar menghapal sesuatu.  Selama ini anak-anak kelas 1 dan 2 sangat hafal urutan angka dan huruf namun begitu diminta untuk menuliskan secara acak terrnyata sulit sekali. Wajah-wajah bingung dan malu bermunculan lantas, "cemano huruf o?", "cemano angka 8?" dan cemano-cemano yang lain. Cemano adalah bahasa lokal yang merupakan kependekan dari macam mano atau jika dibahasa Indonesiakan artinya seperti apa. Terkadang rasa jengkel dan nyaris menyerah juga muncul ketika anak-anak tidak mengingat lagi apa yang baru saja diajarkan.

Tanpa pengetahuan cara mengajar yang baik, kami mencoba untuk mengajari anak-anak tersebut. Lidi, bunga, daun, batu menjadi alat bantu yang ternyata efektif untuk mengajar berhitung. Senyum, kepolosan dan tawa ceria anak-anaklah yang membuat kami bertahan mengajari mereka. Sayangnya, murid yang selama ini telah duduk di kelas 3 enggan mengikuti pelajaran. Alasannya mereka sibuk bekerja namun sebenarnya, mereka malu karena diajar oleh dua perempuan yang telah dianggap sebagai teman sejak awal. Merekalah para bujang gadis berusia 15-18 tahun. Dari sisi kemampuan, para bujang gadis ini sudah lumayan pandai membaca, menulis dan berhitung. Kemampuan ini sering mereka gunakan untuk merayu perempuan dengan berkirim surat.

Berbeda dengan sekolah pada umumnya, di sekolah marginal, kelas tertinggi yang pernah diikuti oleh anak-anak hanya sampai kelas 3. Sampai tahun 2009, belum ada satupun yang duduk di kelas 4. Hal ini wajar mengingat kuantitas belajar mengajar yang sangat rendah. Mungkin karena sejak awal hanya ingin mengajari baca tulis hitung sehingga kelas 3dianggap lebih dari cukup. 

Baca tulis hitung memang penting diajarkan kepada anak-anak di pedalaman. Tetapi mungkin saja akan lebih berarti bila anak-anak juga diajari pengetahuan yang tepat guna untuk kehidupan mereka di masa mendatang misalnya pengetahuan tentang pertanian, perkebunan dll sehingga mereka tidak hanya mengambil apa yang disediakan alam namun juga mampu membudidayakannya. 

Potret pendidikan di pedalaman memang masih sangat muram, semuram dunia pendidikan pada umumnya yang penuh carut marut............



Suku Talang Mamak : Berita dari Datai

Berita dari Datai

“Halo ini siapa?” tanya suara dari seberang.
Biasanya pertanyaan itu muncul dari si penerima telepon. Ini malah kebalikannya.“Lha ini siapa?” tanyaku balik.
“Ini Bang Peheng.”jawab suara itu
“O..bang Peheng..pa kabar bang?”
“Baik…kami baru di Keritang. Ada urusan.”
“Siapa temennya, bang? Naik apa kesana?”
“Ada sama adik. Kami naik kereta (motor).”
“Sudah bisa naik motor ya? Kereta siapa yang dipakai? Bang Peheng sendiri?”
“Sudah. Ini kereta Taitek. Kami pinjam. “
“O begitu……berapa jam naik motor?”
“tiga sampai empat jam lah.”
“Jalannya sudah bagus ya Bang?”
“Yah lumayanlah…..setidaknya masih bisa dilewati motor.”
“Syukurlah kalau begitu…tidak perlu berhari-hari melewati sungai lagi kan untuk ke luar dusun?”
“Iya….”
“Bagaimana kabar teman-teman di sana?”
“Baik semua. Ini Samsiar sudah mau nikah.”
“Oh ya…sama siapa?”tanyaku, “Madi, bukan?”tebakku
“Iya….ini ambil belanja buat pernikahan Samsiar. Dani bisa datang tidak?”
“Wah..maaf bang..tidak bisa…gak ada ongkos..” jawabku sambil tertawa.”salam saja buat Samsiar…doakan semoga kami bisa kesana lagi….”

***

Itulah percakapan Bang Peheng - seorang bapak beranak tiga - denganku melalui handphone. Kalau ia sedang keluar, ia selalu menelpon sekedar bertanya kabar. Begitu pula dengan anggota Suku Talang Mamak yang lain di Dusun Datai. Mereka selalu menghubungi kami ketika sedang berada di Keritang atau Belilas. Bahkan tak jarang mereka menelpon dari sebuah bukit tak jauh dari dusun (sekitar satu jam berjalan kaki). Inilah hebatnya kemajuan yang begitu cepat terjadi. 
Di bulan Agustus 2008, ketika aku dan temanku Wening datang berkunjung, hanya ada sebuah handphone dan satu sepeda kayuh. Seorang pemuda, Sukar, sedang giat-giatnya berlatih naik sepeda. Meskipun sepeda itu milik anaknya yang masih kecil, ia tetap belajar hingga akhirnya ia berhasil. Di kunjungan kami yang kedua, di buklan September, Sukar ternyata sudah membeli sepeda motor. Setiap hari ia belajar naik motor di tanah lapang yang terletak di tengah dusun. Madi, pemuda Melayu anak buah Sukar, bertindak sebagai guru. Apa yang dilakukan Sukar ini kemudian dilakukan oleh pemuda lain. Mereka juga belajar naik sepeda. Bahkan ada yang sengaja membeli sepeda baru. Suasana kampung semakin ramai dengan tambahan kegiatan tersebut. Setidaknya mereka memiliki hiburan selain televisi yang tidak bisa setiap hari dinikmati karena keterbatasan bahan bakar.

Keberhasilan para bikers (ojek) menembus jalanan yang cukup parah dari Simpang Datai hingga dusun Datai mendorong warga Datai untuk membeli sepeda motor. Biasanya motor hanya bisa sampai Simpang Datai dan dilanjutkan dengan berjalan kaki melewati hutan. Sukar menyatakan bahwa ia yakin dengan sepeda motor, ia bisa lebih mudah keluar dusun dan membeli bahan kebutuhan sehari-hari. Selama ini ketika musim kemarau tiba, terkadang bahan kebutuhan pokok sulit diperoleh. Surutnya air sungai menyebabkan mereka tidak bisa pergi ke desa lain untuk berbelanja. Belum lagi transportasi air membutuhkan waktu lebih lama. Paling cepat satu atau dua hari baru bisa sampai ke desa Rantau Langsat. Itupun dengan menggunakan sampan bermesin. Jalan darat sebenarnya bisa juga dilewati namun dengan berjalan kaki selama satu hari. Namun ini tidak bisa diandalkan mengingat mereka tidak bisa membawa banyak barang dengan berjalan kaki.
Alasan itulah yang mendorong Sukar membeli sepeda motor. Bersama dengan warga lain mereka membuat jalan. Semak-semak dibersihkan bahkan ada tanah yang dibuat rata agar lebih mudah dilewati. Mereka berharap, dengan  terbukanya akses jalan darat, sekolah juga bisa dilakukan setiap hari. Selama ini transportasi sering dikeluhkan para guru sebagai kendala utama. Mereka hanya mengajar beberapa hari dalam satu atau dua bulan karena terbatasnya biaya transportasi dan bekal yang bisa dibawa dengan sampan. Dengan adanya jalan darat, warga Datai berharap guru lebih sering masuk dan mengajar lebih lama.
****
Di awal tahun 2009, warga Talang Mamak ternyata sudah begitu banyak berubah. Tanpa perlu datang ke Dusun Datai kami tahu beberapa hal yang terjadi di sana. Bang Peheng, Joli, Jul dan lainnya sering membawa berita mengenai kondisi di sana melalui handphone. Seperti percakapan di atas, kami jadi tahu kalau Samsiar, gadis Datai sahabat kami, akan menikah. Kami juga tahu kalau disana mereka sedang sibuk nugal/menanam padi. Dari mereka jugalah kami tahu kalau sekarang tidak hanya satu motor yang ada, sudah ada 4 buah sepeda motor dan beberapa handphone. Dengan kenyataan ini, sangat pantas jika mobilitas mereka menjadi jauh lebih tinggi. 

Melalui handphone pula kami jadi tahu bahwa pendidikan di Datai tidak lebih baik dibanding dahulu. Ternyata terbukanya akses jalan darat bukan jaminan pendidikan menjadi lebih baik. Para pengajar masih saja datang satu bulan sekali bahkan dua atau tiga bulan sekali. Itupun hanya mengajar selama 4-5 hari saja. Pantas saja jika perkembangan kemampuan baca tulis hitung generasi muda Datai sangat rendah. Mengapa? Inilah yang perlu dicari jawabannya.
***

Aku mencoba merekonstrusksikan jawaban atas pertanyaan itu dengan mengingat pengalaman waktu berkunjung ke Datai. Waktu itu kami sempat bertemu dengan dua orang guru dan bercakap-cakap dengan mereka. Percakapan itu membuka beberapa fakta mengenai pekerjaan mereka.
Pertama, mereka memang membenarkan kalau mereka jarang mengajar karena terhambat transportasi. Dibutuhkan waktu beberapa hari untuk sampai ke dusun ini. Apalagi mereka harus melawan arus sungai (menuju ke hulu). Belum lagi dengan biaya sewa sampan/boat yang lumayan mencekik leher. Biaya tersebut memang disediakan oleh Dinas setempat namun tetap saja terasa berat. Dengan sampan/boat, mereka juga tidak bisa membawa bekal makanan cukup banyak sehingga hanya bisa mengajar sebentar. Factor gaji bisa juga berpengaruh terhadap ketidakhadiran mereka. Sebagai guru honorer tidak banyak yang mereka dapatkan.
Kedua, dari percakapan itu tersirat bahwa mereka berdua masih merasa “harus berhati-hati” saat berinteraksi dengan warga Datai. Sikap itu terlihat ketika mereka bercerita bahwa mereka tidak mau makan dan minum apa yang disuguhkan ketika berkunjung ke rumah warga. Mereka lebih senang menolak dengan mengatakan telah membawa minuman sendiri. Untuk makan sehari-hari mereka juga memasak makanan mereka sendiri. Mungkin saja ketidaknyamanan ini dipengaruhi stigma yang masih diberikan warga Melayu dan transmigran kepada suku Talang Mamak. Ini juga kami alami ketika masih berada di Keritang. Beberapa warga mempertanyakan mengapa kami berani masuk ke Datai dan tinggal bersama warga. Bisa jadi inilah yang menyebabkan para guru enggan mengajar. Sebenarnya mereka juga berinteraksi dengan warga. Mereka bermain voli dan melakukan beberapa aktivitas lain. Hanya bersikap hati-hati jika menyangkut makanan dan minuman. Saya tidak tahu apakah guru lain juga bersikap demikian. Dari empat guru yang ada, kami hanya bertemu dengan guru yang berasal dari Belilas yang adalah orang Jawa (Pujakesuma). Dua guru lain yang berasal dari Desa Rantau Langsat mungkin saja berbeda.

Ketiga, sulit beradaptasi. Menurut asumsi saya, jika sudah biasa hidup dengan beragam fasilitas dan hiburan, akan sangat sulit untuk beradaptasi dengan kehidupan di pedalaman yang terisolir dan tidak bisa kemana-mana dalam jagka waktu lama. Apalagi jika harus hidup jauh dari keluarga dan dengan bekal makanan yang terbatas (mie, ikan kering dll) dan hiburan (televisi) yang kadang ada kadang tidak. Mereka juga harus tidur seadanya di ruang guru. Beralaskan kasur dan hanya menggunakan lampu minyak sebagai penerangan. Mungkin akan lebih baik jika mencari orang yang memiliki jiwa pengabdian. Mereka yang mampu menembus beragam rintangan demi membuat kehidupan orang lain menjadi lebih baik. Tidak mudah memang. Padahal selama ini banyak orang memiliki jiwa pengabdian namun sayangnya seringkali tidak memiliki persyaratan yang ditentukan/dinilai tidak berkualitas. Sebaliknya orang yang memenuhi syarat dan memiliki kesempatan itu seringkali tidak memiliki jiwa pengabdian. 

Ketiga hal di atas hanyalah sebuah asumsi. Bisa benar dan bisa juga tidak. Apapun itu kami hanya bisa berharap pendidikan di Datai bisa jauh lebih baik lagi sehingga generasi muda disana mendapat bekal yang cukup untuk masa depan mereka. Mereka tidak lagi hidup dalam lingkaran yang sama. Hanya bisa mengulang apa yang dilakukan orang tua mereka. Dengan pendidikan yang lebih tinggi setidaknya mereka bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Paling tidak ada alternative penghidupan selain menggantungkan diri pada sumber daya alam yang ada yang mungkin akan habis karena dieksploitasi terus menerus.
Berita dari Datai akan selalu menarik untuk dinanti….semoga mereka tidak bosan memberi kabar………


Jogja, 25 Februari 2010

Suku Laut : Sang Pengelana yang Terlupakan

Sang Pengelana Laut yang Terlupakan

Berita di Kompas kemarin (5 April 2010) membuat miris. Bagaimana tidak, suku Bajau Pala’u yang selama ini dikenal sebagai pengelana laut ditangkap di wilayah Berau, Kalimantan Timur saat sedang memancing ikan di wilayah Indonesia. Mereka di tangkap dengan alasan tidak memiliki identitas. Meski mereka mengaku datang dari Malaysia namun mereka enggan dipulangkan ke sana dan memilih lebih baik mati. Di sisi lain Malaysia dan Filipina pun enggan mengakui keberadaan mereka hanya karena tidak tercatat sebagai warga negara. Akhirnya nasib mereka kini tidak jelas. Hanya karena selembar identitas mereka harus merasakan kehidupan darat yang mungkin saja jauh dari angan-angan mereka.
Secara pribadi saya tidak mengenal kehidupan suku Bajau. Baik dari adat istiadat maupun kehidupan social budaya mereka. Namun saya bisa membayangkan betapa sulitnya beradaptasi dengan kehidupan daratan karena selama ini kehidupan dan penghidupan mereka berada di lautan. Saya sendiri pernah merasakan bagaimana sulitnya sebagai “orang daratan” harus beradaptasi dengan kehidupan di laut. Pengalaman ini bermula ketika saya mengadakan penelitian mengenai kehidupan suku Laut yang berada di Kepulauan Riau. Suku Laut di wilayah ini memang berbeda dengan suku Bajau. Mereka sudah bermukim dan tercatat sebagai penduduk wilayah tertentu. Namun di saat-saat tertentu, masih ada kelompok suku Laut yang berkelana dari pulau ke pulau dengan menggunakan sampan. Biasanya hal ini dilakukan ketika mereka ingin mencari ikan di tempat yang agak jauh atau mengunjungi saudara di pulau lain dll
Saya beruntung bisa mengikuti perjalanan mereka berkelam/berlakin (hidup di atas sampan) selama 3 hari. Selama tiga hari tersebut saya harus membiasakan diri hidup di atas sampan. Tidur dengan posisi meringkuk dalam buaian air laut, kebingungan untuk buang air kecil, tidak bisa mandi dll. Hal-hal yang kelihatannya sepele menjadi begitu menyusahkan begitu dihadapkan pada situasi dan kondisi lingkungan yang berbeda. Begitu pula suku Laut di Kepulauan Riau. Ketika memutuskan bermukim, mereka juga melewati proses adaptasi yang panjang. Salah satu bentuk adaptasi mereka contohnya adalah mereka tidur dengan pintu rumah terbuka dengan alasan tidak bisa tidur jika tidak merasakan hembusan angin laut. Bahkan ada seorang bujang yang lebih memilih tidur di luar rumah agar bisa merasakan angin laut secara langsung.
Saya yakin itu juga yang dialami suku Bajau. Mereka terbiasa tidur dalam buaian air laut dan melakukan semua aktivitas di atas sampan. Begitu mereka dihadapkan dengan kehidupan darat, tentu saja butuh waktu untuk menyesuaikan diri karena bagaimanapun lingkungan laut dan daratan sangatlah berbeda.
Tidak semestinya mereka “didaratkan” meski untuk sementara. Apalagi dengan alasan tidak memiliki identitas. Kecuali jika mereka menginginkannya sendiri. Sudah banyak bukti program memukimkan suku bangsa tertentu mengalami banyak kegagalam karena ketidakpahaman pemerintah mengenai kehidupan social budaya mereka. Program baru benar-benar bisa berjalan selama masyarakat yang dijadikan sasaran program merasakan bahwa hal tersebut adalah yang mereka butuhkan dan merasakan manfaat dari program tersebut. dan yang lebih penting kalaupun akan dimukimkan, buruh riset yang mendalam, dan tentu saja proses pelaksanaan yang panjang, setahap demi setahap tidak bisa langusng dimukimkan begitu saja. Suku Bajau Palau juga tidak berbeda dengan suku lain yang hidup di darat. Beberapa kelompok tidak memiliki identitas karena mereka berada jauh di dalam hutan dan tentu saja jauh dari control pemerintah.
Akan lebih baik jika suku Bajau Palau segera dikembalikan ke rumah mereka yaitu lautan. Pemerintah Indonesia tidak perlu merisaukan keberadaan mereka. Suku Bajau Palau bukanlah sebuah kelompok yang patut dicurigai meski mereka tidak memiliki identitas. Bahkan kalau perlu diakui sebagai warga negara Indonesia. Toh kehidupan mereka tidak pernah merugikan negara ini. Mereka bukan pencuri kekayaan laut kita karena hanya mengambil secukupnya dari alam dengan alat yang sederhana. Hanya cukup untuk makan dan memenuhi kebutuhan harian. Mereka juga bukan teroris yang mengancam kedaulatan negara ini. Mereka hanyalah orang-orang yang menjadikan laut sebagai rumah tanpa peduli batas negara. Pergi dari satu pulau ke pulau lain untuk mencari lauk. Di mana terdapat banyak ikan, ke tempat itulah mereka akan datang. Bukan untuk mengumpulkan kekayaan namun hanya sekedar memenuhi kebutuhan perut.
Biarkan suku Bajau Palau tetap hidup di laut dan berkelana dari satu pulau ke pulau lain. Namun jika suatu saat nanti mereka memilih untuk bermukim di darat, pemerintah Kaltim ada baiknya memfasilitasi. Bagi saya, mereka tidak perlu selembar identitas. Identitas mereka sudah cukup jelas bahkan tidak akan hilang karena sudah menempel dalam diri mereka sejak lahir yaitu suku Bajau, sang pengelana laut. Cukup dengan hal itu saja. Dan jika ingin tahu lebih jauh tentang kehidupan di laut, merekalah ahlinya. Belajarlah mengenal laut dari mereka karena sejak dahulu mereka telah menjadikan laut sebagai sahabat kehidupan.

Yogya, April 6, 2010