Wednesday, December 7, 2011

Putussibau

April 2009

Tak banyak orang yang tahu, di Indonesia terdapat sebuah kota kecil bernama Putussibau. Letaknya memang nun jauh di pedalaman Kalimantan Barat. Berbatasan dengan Malaysia. Jika ingin ke Malaysia katanya bisa ditempuh dengan naik motor menuju perbatasan dalam waktu beberapa jam saja. Batas waktu kunjungan hanya satu hari. Artinya pengunjung hanya bisa pergi pulang dalam satu hari. Sebagai jaminan, cukup meninggalkan identitas diri di kantor perbatasan tanpa perlu paspor ataupun visa.

Untuk menuju Putussibau dari Pontianak, bisa menggunakan bus dengan waktu tempuh selama 18 jam atau menggunakan pesawat terbang. Tiket pesawat berkisar Rp 700.000 - Rp 800.000 dengan waktu tempuh relatif singkat tentunya. Jalur udara ini hanya melayani penerbangan 3 kali seminggu. Kemudahan akses transportasi di masa kini jauh berbeda dengan jaman dahulu. Konon katanya, dahulu ketika akses jalan darat belum terbuka, untuk bepergian warga di sana mengandalkan transportasi sungai. Jejak masa lalu saat sungai masih menjadi primadona transportasi masih bisa ditemukan meski kini yang tersisa hanyalah kapal pengangkut barang kebutuhan.

Perjalanan menuju ke Putussibau dilakukan melalui rute Pontianak-Sintang-Putussibau karena sebenarnya ada keinginan untuk singgah sejenak di Danau Sentarum. Namun karena rute perjalanan memutar, maka agenda ke Danau Sentarum kami tinggalkan dan hanya sesaat singgah di Sintang. Setelah singgah sejenak di Sintang, perjalanan dilanjutkan kembali menuju ke Putussibau. Untuk menuju kota kabupaten Kapuas Hulu ini, diperlukan waktu selama 8 jam dengan menggunakan transportasi umum. Di terminal Sintang (dekat dengan pasar), bisa dengan mudah ditemukan agen-agen bus. Setiap harinya masing-masing agen bus hanya melayani satu kali perjalanan. Trayek ini cukup diminati sehingga tidak heran jika bus selalu dipenuhi penumpang. Jangan mengharapkan bisa mendapatkan bus ber AC karena bus yang menuju Putussibau hanya dilayani dengan bus kelas ekonomi. Bagi para perempuan yang travelling sendirian, mungkin harus sedikit berhati-hati karena perjalanan cukup jauh dan kebanyakan penumpang adalah laki-laki. Berpakaian sopan (tertutup) sangat dianjurkan dan harus tetap waspada karena perempuan akan menjadi sasaran empuk para lelaki hidung belang di dalam bus.

bus ekonomi Sintang- Putussibau
Perjalanan menuju Putussibau penuh dengan perjuangan karena penumpang berbaur dengan barang-barang mulai dari keranjang, karung dan yang lebih parah adalah semen. Waktu itu, tumpukan puluhan semen tersebar diseluruh bus. Ada yang diletakkan di sepanjang selasar bus dan juga di bawah kursi penumpang. Alhasil debu semen tersebar kemana-mana. Menempel di celana, baju hingga muka. Belum lagi ditambah dengan debu jalanan yang masuk melalui jendela, asap rokok (waktu itu mayoritas penumpang adalah perokok) dan penumpang yang berjejal. Lengkap sudah penderitaan selama 8 jam. Turun dari bus, tubuh rasanya terasa kotor sekali. Baju dan celana memutih karena tertempel debu semen.

Selama di perjalanan, rasa khawatir juga sempat datang. Di beberapa titik, bus harus melewati jembatan kayu yang kondisinya sudah sangat mengkhawatirkan. Terperosok sedikit saja bus bisa masuk ke sungai kecil yang dalam. Kondisi jalanan sempit, berlubang dan mungkin saja faktor human error tak jarang menyebabkan terjadinya kecelakaan. Rupanya sehari sebelumnya ternyata ada bus terperosok ke jurang. Entah bagaimana nasib para penumpangnya karena lokasi kecelakaan di tengah semak belukar dan jalanan relatif sepi. Bisa jadi pertolongan baru datang ketika ada kendaraan lain yang lewat atau harus menunggu bantuan dari tempat lain setelah dikontak melalui handphone. Untung saja, meski berada di tengah hutan namun sinyal handphone cukup lancar.

Salah satu yang cukup menghibur adalah keberadaan gunung kelam. Sesuai namanya, gunung ini berwarna kelam dan menjulang tinggi ditengah rimbunnya pepohonan. Berdiri gagah sehingga mata seakan selalu tertuju kesana. Selain Gunung Kelam, tidak ada lagi pemandangan yang cukup menarik mata.

Putussibau : Kota Perbatasan
sudut kota
Putussibau sendiri merupakan kota kecil yang relatif sepi. Jalan utama tidak begitu ramai. Lapang rasanya ketika menyusuri jalan di sana. Transportasi dalam kota hanya dilayani ojek dan angkutan yang tidak jelas rutenya. Jalur yang dilewati bisa menyesuaikan dengan kebutuhan penumpang. Sebagai pusat kota kabupaten, Putussibau dilengkapi dengan fasilitas publik yang cukup lengkap. Gedung perkantoran, lapangan terbang, warung internet (meski cuma ada satu), dan juga bank (ada dua buah bank yang beroperasi yaitu BRI dengan 2 mesin ATM dan bank Kalbar dengan 1 mesin ATM bersama). Berbeda dengan jam operasional bank yang biasanya buka dari jam 08.00 hingga jam 16.00 maka di sana bank buka sejak pukul 07.00 hingga pukul 14.00. selain bank, fasilitas yang cukup dominan disana adalah penginapan. Ada penginapan yang cukup baik dan nyaman (dengan harga yang "cukup baik juga" tentunya) yaitu Hotel Sanjaya dan penginapan Permata Bunda yang merupakan penginapan biasa.

Pusat kota Putussibau terletak di jalan Yos Sudarso. Di sepanjang jalan itulah kedua penginapan tersebut berada. Di jalan tersebut juga ada tempat yang disebut kafe. Cukup sederhana sebenarnya. Kafe berada di halaman rumah dengan jajaran meja kursi sederhana. Menu yang ditawarkan juga biasa saja. Es milo, es kacang hijau (yang lain dari yang lain), makanan ringan dan ada juga makanan berat. Yang lebih penting, fungsi kafe adalah sebagai tempat untuk nongkrong. Untuk makan berat, tidak perlu khawatir karena warung masakan padang, warung masakan jawa, masakan oriental hingga mie ayam dan bakso semua tersedia di sana. Selain di pusat kota, pasar juga menyediakan kuliner beragam. Yang paling menarik adalah ikan asap. Melihat bentuknya saja rasanya sudah menggiurkan.

Jika menginginkan cinderamata khas Dayak, ada sebuah toko yang menyediakannya. Namun tidak banyak orang yang tahu keberadaan toko ini karena letaknya agak sulit dicari. Di tempat ini kita bisa mendapatkan manik-manik khas dayak, kain tenunan hingga replika senjata dengan harga lumayan terjangkau.

Bila ingin lebih jauh mengenal kehidupan masyarakat Dayak dengan rumah panjangnya, tak perlu jauh-jauh, kita bisa melihatnya dipinggiran kota melalui jalan darat atau sungai. Contohnya rumah Betang Melapi 1 dan 2. Letaknya tepat di pinggir sungai Kapuas sehingga bisa diakses melalui kedua jalur transportasi.

banjir
Ketika berkunjung ke sana, musim hujan masih saja datang meski telah masuk bulan April. Banjir yang sempat melanda kota sempat kami rasakan. Ada yang mengatakan hal ini disebabkan karena letak kota ini lebih rendah dari hulu sehingga sering terendam banjir. Ada juga yang mengatakan kondisi di hutan di hulu sudah rusak sehingga berimbas pada banjir di hilir. Bisa juga karena banyak daerah rawa di kota ini sehingga banjir sering melanda. Cukup parah sebenarnya karena di tempat yang lebih rendah, genangan air bisa setinggi satu meter. Oleh karena itu rumah-rumah dibangun dengan model rumah panggung sehingga cukup aman tatkala banjir melanda. Kapuas dengan sungainya yang lebar telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Putussibau. Ia telah memberi banyak. Ikan-ikan besar, sebagai jalur transportasi, pemasok kebutuhan air dan juga memberikan limpahan air hingga ke darat (baca - banjir). Begitu banyak yang telah diberikan oleh Kapuas hingga masyarakat disana telah berkawan akrab dengannya. Meski banjir mengganggu aktivitas, namun kehidupan kota kecil di Putussibau terus berjalan. Berjalan dalam ritmenya sendiri.

Pulau Senayang


Akhir Oktober 2010

Pulau Senayang memang tak sepopuler pulau lain di kepulauan Riau. Akses kesana hanya bisa ditempuh dengan speed  boat dari pelabuhan Sri Bintang Pura, Tanjung Pinang.  Berbeda dengan rute lain – misalnya pelayaran Batam  ke Tanjung Pinang dan sebaliknya yang hampir setiap jam ada --  pelayaran yang menuju pulau ini hanya dilakukan sehari sekali. Tak heran bila penumpang selalu berjejal memenuhi speedboat berebut tempat dengan barang-barang. Selama perjalanan, penumpang datang dan pergi seakan tidak ada habisanya.  Di setiap dermaga yang dilewati, speed akan  berhenti untuk menaikkan atau menurunkan penumpang. Dermaga Pulau Bukit, Rejai, Tajur Biru, akan disinggahi sebelum sampai di Pulau Senayang. Meski dermaga sederhana namun dermaga-dermaga ini selalu saja dipenuhi penumpang. Maklumlah sebagai wilayah kepulauan, transportasi laut menjadi andalan penduduk di sana. Waktu tempuh selama 3 jam menjadi hal biasa bagi mereka yang sudah terbiasa mengandalkan transportasi ini. Tapi bagi yang belum pernah atau tidak biasa akan menjadi perjalanan yang menyiksa. Speed yang penuh sesak, hempasan gelombang menjadi bumbu perjalanan. bila tak kuat, perut bisa mual. Hiburan yang disuguhkan tidak akan sanggup meringankan perjalanan. Speed ini memang menyuguhkan hiburan berupa pemutaran film. Biasanya film yang diputar adalah film Malaysia jaman dahulu. Sebenarnya film nya cukup lucu dan menghibur karena memang film bergenre komedi. Namun kalau tidak begitu memahami bahasa melayu, penumpang harus menebak jalan ceritanya karena ada kosa kata yang sulit dipahami.

Jika melihat peta, pulau Senayang tak begitu menonjol karena merupakan pulau kecil. Pulau ini terletak di dekat Pulau Sebangka yang merupakan salah satu pulau terbesar di kepulauan Riau. Oleh karena itu, pulau ini cukup terlindung dari hempasan angin laut. Meski merupakan pulau kecil namun di kalangan warga setempat, pulau ini menduduki posisi administrasi yang cukup penting. Tidak heran bila fasilitas umum cukup lengkap di pulau ini. 

Di pulau yang hanya sepanjang 14 kilometer ini, terdapat sekolah (SD-SMP-SMU), kantor pos, kantor kelurahan, kantor kecamatan, warung makan, penginapan, polsek, dua buah menara telekomunikasi, puskesmas rawat inap (dengan 2 orang dokter) dan juga pos TNI AL. Tak hanya itu, sebagai ibukota kecamatan, pulau senayang juga dilengkapi dengan fasiltias ibadah seperti gerreja, masjid dan juga klenteng. Semua fasilitas ini melengkapi kebutuhan beragam etnis yang tinggal di sana. Warga  Melayu, Bugis Makasar,  Jawa Madura, Tionghoa bahkan suku Laut, saling berbagi ruang. Sangat indah melihat keberagaman. Seperti melihat miniatur Indonesia. 

Pernikahan campuran menjadi hal yang jamak terjadi. Suku Laut menikah dengan orang Jawa, orang Melayu menikah dengan orang Tionghoa dll. Di kala sore, lapangan menjadi ajang interaksi yang menyenangkan. Sepak bola, bola voli, bersepeda menjadi olahraga sekaligus hiburan tersendiri. Pangkat, jabatan, usia tak manjadi halangan untuk menjemput datangnya malam  bersama-sama. 

Bukan hanya potret keberagaman yang disuguhkan, keindahan alam menjadi catatan tersendiri di pulau ini. Sebagai sebuah pulau yang dikelilingi laut, pulau Senayang bisa dikatakan cukup cantik. Bila di satu sisi pulau disesaki rumah penduduk, maka di sisi lain, terdapat pantai berpasir bersih. Tempat inilah yang menjadi obyek rekreasi bagi warga di sana. Tatkala surya mulai tenggelam, itulah saat yang paling indah dan ramai dikunjungi orang. Pohon-pohon rindang di sepanjang garis pantai terasa begitu meneduhkan bagi siapa saja yang ingin menghabiskan waktu menikmati alam. Di bawah pohon terdapat beberapa meja dan kursi serta beberapa warung kecil  yang dibangun tak beraturan dan terkesan asal-asalan, menyediakan kebutuhan makanan atau minuman bagi mereka yang ingin berekreasi. 

Pulau Senayang memperlihatkan sebuah potret. Sebuah potret tentang keberagaman agama, etnis, budaya yang berjalan bersama dengan kedamaian. Itulah Indonesia yang sebenarnya!!!





Thursday, December 1, 2011

Dapur Arang dan Suku Laut

tumpukan arang yang tak jadi diekspor di salah satu dapur arang
Dapur arang merupakan tempat dimana kayu bakau diolah menjadi arang dan diekspor ke megara tetangga (biasanya ke Singapura). Sebagai bahan baku utama pembuatan arang, kayu bakau terus menerus diambil agar produksi terus berjalan. Semakin tinggi produksi itu berarti semakin tinggi pula ancaman terhadap ekosistem bakau. Oleh karena itu tahun 2006/2007 dapur arang mulai ditutup oleh pemerintah. Penutupan ini tak ayal membuat Suku Laut kehilangan sumber mata pencahariannya. Pasalnya, bekerja di dapur arang adalah satu-satunya pekerjaan di sector public yang bisa dimasuki oleh Suku Laut. Di penghujung tahun 2008, masih ada dapur arang yang tetap beroperasi meskipun harus bermain  kucing-kucingan dengan aparat keamanan. Namun hal ini tidak ada artinya bagi Suku Laut. Mereka telah kehilangan sumber penghasilan selain sebagai nelayan.
Tidak semua Suku Laut bekerja di dapur arang karena bekerja di tempat ini tidaklah mudah. Perlu tenaga kuat untuk memilah, menebang dan mengukur besaran kayu bakau yang digunakan. Belum lagi mereka harus berkutat dengan akar-akar bakau. Perjuangan yang tidak imbang dengan penghasilan mereka. Mereka sering mengatakan bekerja di dapur arang ibarat “makan darah” yang berarti bekerja namun tak menghasilkan apapun. Biasanya upah kerja dibayarkan setelah pekerjaan selesai. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, para pekerja diijinkan untuk mengambil barang belanjaan ditempatnya bekerja misalnya mengambil beras, minyak, gula dll. Nantinya barang-barang tersebut akan dibayar dengan cara memotong upah kerja mereka. Tak jarang mereka tak memperoleh apapun karena habis dipotong untuk kebutuhan belanja. Bahkan meninggalkan hutang yang harus mereka bayar. Jika hutang belum terbayar akan sulit bagi mereka untuk pergi dari dapur arang tersebut. Itulah sebabnya mereka mengibaratkan kerja di dapur arang seperti “makan darah”.
Upah bekerja di dapur arang memang tidak banyak. Satu sampan yang berisi kayu bakau penuh akan dihargai Rp 35.000 – Rp 45.000. Dalam waktu satu hari mereka bisa mengumpulkan 2-3 sampan (sampan berukuran 20 kaki) penuh kayu bakau. Biasanya mereka harus mencari 10-20 sampan sekali kerja. Setelah memenuhi jumlah yang dibutuhkan, barulah mereka memperoleh upah. Bisa juga mereka memperoleh upah harian. Besaran upah yang diterima tergantung dari banyak tidaknya kayu bakau yang dikumpulkan dalam waktu sehari. Cara ini jarang digunakan karena Suku laut lebih senang menggunakan pembayaran setelah semua pekerjaan selesai.
Walaupun penghasilan tak banyak, bekerja di dapur arang terbukti mampu membantu kehidupan Suku Laut terutama saat musim angin besar datang. Maklumlah sebagai nelayan tradisional, Suku Laut sangat mengandalkan kemurahan alam. Suku Laut hanya mengandalkan kemampuan mereka menangkap ikan dengan menggunakan serampang (semacam tombak terbuat dari bamboo dengan mata tombak terbuat dari besi bermata tiga mirip garpu). Dengan alat sederhana seperti itu mereka hanya bisa menangkap ikan kala laut teduh (tidak banyak angin) di waktu petang hingga dinihari tiba.  Mereka tidak memiliki alat-alat besar (misalnya sampan besar bermesin, kelong dll) atau melakukan budidaya ikan sehingga kala musim angin datang tak banyak yang bisa dilakukan kecuali “kerja darat” atau bekerja di dapur arang.  
Penutupan dapur arang membuat Suku Laut kehilangan sumber penghasilan kala musim angin besar datang. Oleh karena itu beragam cara ditempuh agar mereka tetap memperoleh penghasilan seperti berkayu (menebang kayu di hutan dan menjualnya), membuat kajang (untuk menjemur ikan ataupun sebagai atap) hingga berkelana ke pulau-pulau lain agar bisa terus menangkap ikan. Penutupan dapur arang adalah sebuah dilemma. Di satu sisi penutupan dapur arang akan menyelamatkan ekosistem bakau namun di sisi lain para pekerja dari suku laut harus kehilangan salah satu sumber penghasilan.  Kini mereka hanya bisa mengandalkan “kerja laut” . Uang sebesar Rp 20.000 – Rp 50.000 harus cukup untuk memenuhi kebutuhan karena hanya itulah hasil yang bisa mereka peroleh dari melaut setiap harinya.  Tidak banyak yang bisa diharapkan. Hidup  hanya untuk hari ini karena esok adalah urusan esok.

Thursday, November 3, 2011

Manusia Kadang-Kadang

Mendengarkan suara penyiar di radio membuatku berpikir. Kali ini tentang manusia kadang-kadang….bukan kadang-kadang manusia lho….beda nih…Kalau kadang-kadang manusia berarti bisa jadi dia tidak selamanya manusia (emangnya ada ya…manusia yang kadang-kadang menjadi monyet hahahaha?!@$%&) …tapi kalo manusia kadang-kadang ya manusia tulen tentunya……tapi dengan sikap yang tidak jelas karena sikap yang diambil sesuai kebutuhan.
            Menjadi manusia kadang-kadang merupakan pilihan yang aman bagi sebagian orang. Mengapa?karena menjadi manusia kadang-kadang berarti tidak berpihak pada satu pilihan. Ia berada di tengah-tengah. Tidak hitam dan juga tidak putih. Ia berada di grey area. Kadang-kadang menepati janji…tapi kadang-kadang mengingkarinya…kadang-kadang bener, kadang-kadang salah, kadang-kadang konsisten tapi kadang-kadang juga tidak…semua tergantung kebutuhan. Kalau dibutuhkan untuk konsisten ya konsisten tapi kalau situasi mendorong kita untuk tidak bersikap konsisten ya ga perlu konsisten……Kita terkadang tidak menyadari bahwa kita sering berada di wilayah ini. Manusiawi sih…dan tidak ada yang salah dengan menjadi manusia kadang-kadang asalkan tidak melewati batas. Masalahnya batas kadang-kadang tiap orang berbeda karena setiap tindakan selalu diikuti oleh alasan, kondisi tertentu  dan bahkan pembenaran..iya gak sih????mau jadi manusia kadang-kadang atau tidak semuanya tergantung kita sebagai aktornya bukankah begitu?
              

Thursday, September 29, 2011

Daek : Kota Kecil dengan Sejuta Pesona

Gunung Daek
Jika membuka peta Kepulauan Riau, kita akan temukan sebuah pulau bernama Lingga. Pulau Lingga tak begitu besar namun jangan pernah bertanya tentang keindahan alam dan peninggalan sejarah yang tersebar di pulau ini. Mengunjungi pulau Lingga, kita akan dibuai dengan romansa masa lalu yang terbingkai dalam cerita dan legenda yang terus hidup hingga kini. 

Sebagai bagian dari perjalanan dari pulau ke pulau di Kepulauan Riau, perjalanan menuju Pulau Lingga dimulai dari pulau tetangga yaitu pulau Singkep. Dari Pelabuhan Jagoh di Pulau Singkep, sebuah speedboat siap mengantarkan para penumpang menuju Daek, sebuah kota kecil di pulau Lingga. Cukup ± 45 menit menyusuri laut dengan pemandangan luar biasa. Di antara deretan pegunungan yang hijau terlihat puncak gunung Daek. Puncaknya yang seakan terbelah menjadikannya mudah dikenali diantara jajaran pegunungan di sana. 

Dari pelabuhan kecil di Daek, perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan ojek (±20 menit) menuju pusat kota Daek. Meski kota kecil, namun ada beberapa fasilitas umum yang tersedia seperti penginapan yang terletak cukup strategis di tengah area pasar serta bank BRI. Rumah makan juga tersedia disana. Jika ingin menyusuri kota ini, cukup dengan menggunakan jasa ojek.

Daek merupakan ibukota kabupaten Lingga yang
Replika Istana Damnah
dibentuk pada tanggal 18 Desember 2003 sebagai hasil pemekaran wilayah di Kepulauan Riau. Luas wilayahnya 889 km². Di tahun 2009, geliat pembangunan fasiltias umum tampak jelas disana. Kota kecil yang cukup menyenangkan. Di tengah pasar kita bisa melihat dengan jelas puncak gunung Daek yang merupakan icon kota ini. Yang menarik, kota ini menjadi tempat persinggahan bagi suku Laut ketika musim angin utara tiba. Bagi suku Laut, musim angin utara adalah musim paceklik pangan karena ombak yang besar tidak memungkinkan mereka melaut. Sebagai nelayan kecil, mereka masih menggunakan peralatan sederhana dan sampan dayung sehingga tatkala ombak kuat, mereka kesulitan memperoleh tangkapan. Oleh karena itu ketika musim utara, suku Laut akan pergi ke pulau-pulau yang terlindung dari angin utara. Salah satunya adalah pergi ke Daek. Di sana mereka  sering mendapatkan bantuan pangan dari pemerintah setempat.  Sebenarnya yang penting bagi suku Laut, pergi ke Daek seperti pulang ke tanah leluhur.  Konon menurut cerita, Daek merupakan tempat asal mula nenek moyang suku Laut.  Jika ingin mengunjungi suku Laut yang sudah tinggal menetap, kita bisa mengunjungi daerah Kelumu, disanalah mereka tinggal.  

Terlepas dari banyaknya cerita mitos, legenda, sejarah yang ada, Daek menyimpan peninggalan budaya. Yang pertama ada situs sejarah peninggalan Istana Damnah. Meski yang tersisa hanyalah pondasi istana namun kebesaran kesultanan di masa itu bisa kita lihat karena tepat di samping bekas istana ini, terdapat replica Istana Damnah. Konon katanya replica ini dibuat semirip mungkin dengan bentuk istana jaman dahulu sehingga kita akan terbantu ketika membayangkan kehidupan kesultanan di masa lampau. Dengan latar belakang hutan dan pegunungan yang menghijau, replica istana ini tampak membaur dengan suasana sekitar karena dindingnya didominasi warna hijau dan kuning. latar belakang pegunungan menambah daya tarik istana ini. Masih di area yang sama, terdapat bekas pemandian keluarga kesultanan.  Sungai yang jernih dikelilingi pepohonan, menjadi tempat wisata yang menarik bagi siapa saja yang senang bermain air. Sementara bagi yang tidak ingin berbasah-basah ria , bisa duduk manis di tempat duduk yang disediakan dan menikmati segarnya udara di sana. 

Jika ingin melihat barang-barang peninggalan kesultanan Lingga – Riau, museum Lingga Cahaya tempatnya. Museum ini tak jauh dari Istana Damnah. Bangunanya yang kecil terlihat penuh sesak dipenuhi barang-barang berharga. Mulai dari guci keramik, tempat makan dari kuningan, gong, baju, sampai fosil ikan gajah Mina. Semua lengkap di sana. Hanya saja benda-benda yang dipamerkan tidak diletakkan di tempat yang memadai. Kebanyakan benda-benda tersebut hanya diletakkan di meja sehingga riskan rusak baik oleh debu – jalan di depan musem masih berupa jalan tanah --, tersenggol pengunjung atau dijamah tangan-tangan jahil.
Satu lagi tempat yang menarik dikunjungi yaitu Gunung Daek. Meski direkomendasikan oleh penduduk dan tukang ojek, sayangnya keterbatasan waktu membuat kami tak sempat mengunjungi icon kota Daek ini.  Konon ceritanya puncak gunung Daek dahulu terbelah menjadi tiga bagian namun salah satunya patah dan kini tinggal dua bagian. Cerita dibalik keberadaan gunung inilah yang sebenarnya menarik karena bagi penduduk disana gunung Daek menyimpan sisi mistis. 

Perjalanan selanjutnya, masih di wilayah Lingga, kita bisa mengunjungi Pancur. Pancur merupakan kota kecamatan Lingga Utara. Untuk menuju tempat ini, dari Daek, kita harus menggunakan ojek menuju ke sungai Resun dan dilanjutkan dengan menggunakan speed menyusuri perairan di sana. Perjalanan dengan speed tak memakan waktu lama namun kita harus siap-siap terkena cipratan air. Maklumlah speed berukuran kecil hingga jarak antara tempat duduk dan permukaan air sangatlah dekat hingga tangan bisa dengan mudah menyentuh air. 

Pancur merupakan kota kecamatan yang cukup ramai. Letaknya tepat di pinggir pulau sehingga mayoritas bangunan dibangun di atas air. Mulai dari rumah penduduk, pasar hingga penginapan  semua dibangun di atas air. Jauh dari darat bukan berarti kehidupan menjadi membosankan.  Aktivitas perdagangan tampak begitu hidup di sana. Pancur memang pusat perdagangan untuk pulau-pulau disekitarnya. Selain melihat aktivitas perdagangan di pasar, kita juga bisa berjalan menyusuri pelantar (jalan yang dibangun di atas air terbuat dari kayu). Atau bisa juga nongkrong di atas atap hotel Winner yang tinggi menjulang di antara bangunan lainnya (tahun 2009 jika menginap cukup merogoh kantong Rp 150.000 untuk kamar yang cukup luas dan nyaman dengan bonus pemandangan keren). Tepat diseberang hotel ini terbentang jajaran pegunungan nan menghijau. Meski kabut terkadang menyelimutinya, namun dijamin mata tak akan lelah memandang. Apalagi di kala senja, pemandangan akan lebih indah. Lembayung senja tampak menawan, perlahan mengantar matahari kembali ke peraduan. Halaman hotel Winner juga sering dijadikan arena nongkrong anak muda kala sore menjelang hingga malam tiba. Untuk menemani menikmati desiran angin laut, minuman dan makanan siap tersaji dari hotel. Tak terlalu ramai memang. Tapi bagi yang suka dengan ketenangan, tempat ini layak dikunjungi. 

Sebagai tempat persinggahan, Pancur memperlihatkan keberagaman. Etnis Melayu, Tionghoa dan Suku Laut berbaur menjadi satu merangkai kehidupan di sana yang penuh keberagaman mata pencaharian, budaya dsb. Jangan lupa kalau ingin meninggalkan Pancur dengan menggunakan speedboat, bangunlah pagi-pagi karena hanya ada satu kali pelayaran menuju Tanjung Pinang jam 07.00 tepat.  



Thursday, May 26, 2011

Anak-anak Talang Mamak

Mencari umbi di ladang nenek. Sihodi (bersama adik dan sepupunya -tidak terlihat) harus bersampan  mengambil makanan di rumah neneknya di hilir Sungai Gansal. Sebagai anak sulung dari  empat bersaudara, Sihodi memegang peranan penting dalam ekonomi keluarga. Setiap hari ia mencari ikan di sungai dengan kaca mata selam buatannya sendiri, mencari kayu bakar, mengasuh adik-adiknya sambil bermain, dan membantu ayahnya di ladang. Terkadang bangku sekolah ditingalkannya demi membantu orang tuanya. Dunia Sihodi adalah dunia bermain dan bekerja. Ia pun belajar menjadi lelaki yang sebenarnya.....Alam telah menjadi guru terbaik baginya.......

Wednesday, May 25, 2011

Eksotisme Tubu

Tubu adalah sebuah nama sungai di pedalaman Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur. Untuk menuju kesana bisa diakses dengan menggunakan perahu menyusuri sungai Tubu. Sungai ini dikenal luas oleh masyarakat di sana sebagai sungai dengan giram terganas.  Entah berapa banyak korban yang telah jatuh akibat derasnya air dan bebatuan di sana.

Desa Long Pada, hulu Sungai Tubu (foto CLI)
Sungai Tubu menyimpan misteri dalam keheningannya. Aliran airnya yang deras membuat pusaran arus yang begitu kuat ketika terhalang oleh bebatuan besar. Di tempat itulah korban-korban berjatuhan. Ada yang ditemukan ada pula yang hilang terbawa arus  atau terjebak di antara bebatuan di bawah air. Itu kata mereka di sana. Sebuah makam di pinggir sungai menyimpan jasad beberapa korban keganasan sungai ini. Sebulan setelah kepulanganku dari Tubu, 3 orang meninggal dunia karena perahu karam akibat salah jalur.  Berita ini membuka ingatan tentang perjalananku kala itu. Aku nyaris menjadi korban. Thank’s God. Aku masih hidup. Perahuku nyaris karam karena hal yang sama yaitu salah jalur. Meleset sedikit saja dari jalur aman, nyawa menjadi taruhan. Dibutuhkan ketajaman mata untuk melihat letak batu-batu dan juga pusaran air. 

Sungai Tubu
 Sungai Tubu merupakan potret perjuangan mereka yang hidup di pedalaman sana. Sebagai satu-satunya akses transportasi, mereka telah berusaha menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada.  Dengan ketinting bermesin 12 PK, mereka menjangkau dunia luar, menikmati kehidupan kota meski hanya sesaat.  Jika arus air bersahabat dibutuhkan waktu 7-8 jam menuju hilir dengan biaya sekitar 2,5 juta rupiah. Sebaliknya perjalanan pulang membutuhkan waktu lebih lama yaitu dua hari dengan bermalam di tengah jalan. Biaya yang dibutuhkan pun berlipat ganda bisa berkisar 4 – 8 juta sekali jalan menuju hulu Tubu. Mahal memang resiko yang harus ditanggung untuk pilihan hidup di pedalaman sana.

Tak jarang akses yang sulit ini menjadikan warga di sana ada yang belum pernah melihat kota Malinau. Kota kabupaten masih menjadi angan-angan bahkan impian anak-anak di sana untuk berkunjung. Dan buatku hidup bersama suku Dayak Punan di hulu Tubu hampir selama dua minggu mengingatkanku pada banyak hal. Tentang perjuangan hidup, tentang sebuah impian, kebersahajaan, kedamaian, keindahan dan kesederhanaan hidup....Hidup menjadi penuh makna ketika kita bisa memaknainya…………

Monday, May 16, 2011

Kala pagi dan senja di sana


Ketika semburat jingga datang di penghujung hari, ia berjanji untuk datang lagi di awal hari.....

senja di Mahakam,
senja di Pancur
senja di P Kentar
berlayar kala pagi


hening pagi di Tajur Biru
pulang kala pagi datang













kala pagi datang, langkah kaki kembali terayun....senja telah datang menjemput pagi.........

foto : Retnaningdyah W dan Septi Dhanik P (data CLI)


Suku Talang Mamak : Sekilas kehidupan suku Talang Mamak di Datai

Sekilas Kehidupan Masyarakat Talang Mamak di Dusun Datai

Melihat kehidupan masyarakat Talang Mamak di Datai sangatlah menarik. Umumnya, masyarakat tradisional (baca suku pedalaman) selalu diidentikkan dengan kehidupan yang masih sangat sederhana. Mulai dari pakaian hingga barang-barang yang digunakan. Namun kesan ini akan terhapuskan begitu kita mengenal lebih dekat kehidupan suku Talang Mamak yang hidup di kawasan Taman Nasional Bukit 30, Riau.
satu sisi kampung Datai
Suku Talang Mamak sangatlah berbeda dengan kehidupan Suku Anak Dalam/Orang Rimba yag tinggal di pedalaman Jambi (terutama di kawasan taman nasional Bukit 12). Bila dilihat secara sekilas, ada sedikit kesamaan di antara dua komunitas suku ini. Pertama mereka sama-sama hidup dari kemurahan alam yaitu memanfaatkan potensi alam yang ada di sekitar mereka dan hidup di dalam kawasan taman nasional. Bahkan ada beberapa rombong orang rimba yang hidup berdekatan dengan suku Talang Mamak.
Kehidupan Suku Talang Mamak sudah lebih modern jika dibandingkan dengan tetangga mereka (baca – Orang Rimba). Jangan dibayangkan mereka tinggal di dalam hutan tropis dengan pohon-pohon yang masih lebat. Tempat tinggal orang Talang Mamak di dusun Datai justru seperti dusun/kampung pada umumnya dengan struktur pemerintahan yang mengikuti aturan negara (struktur pemerintahan secara adat hanya sedikit yang diterapkan). Rumah-rumah dibangun di dalam satu kawasan (bergerombol). Sebenarnya keberadaan dusun ini tidak terlepas dari adanya campur tangan pemerintah jaman dulu (era tahun 60 an) untuk memukimkan mereka di satu kawasan agar tidak hidup berpindah-pindah. Selain itu campur tangan misionaris juga ikut berperan dalam pembentukan dusun.

Bisa dikatakan keinginan untuk memukimkan masyarakat Datai tidak begitu berhasil. Mereka tetap hidup berpindah-pindah dari satu ladang ke ladang yang lain. Meski memiliki rumah di dusun, namun aktivitas harian warga lebih banyak dihabiskan di ladang. Oleh karena itu rumah ladang menjadi piihan bagi banyak orang. Meskipun terkadang harus hidup sendiri tanpa ada tetangga, mereka terlihat menikmati kondisi tersebut. Ketidakmauan hidup dalam satu ikatan kewilayahan bisa dipahami mengingat sejak jaman nenek moyang mereka telah memiliki cara hidup yang berpindah mengikuti pembukaan ladang. Tidak heran jika kemudian program “memukimkan” masyarakat yang hidupnya berpindah-pindah lebih banyak menemui kegagalan daripada keberhasilan.
Dalam konteks Datai, program “memukimkan” mereka di suatu wilayah dusun bisa dikatakan mulai berhasil puluhan tahun kemudian. Di era 90 an hingga kini (pertengahan 2008) – kira-kira 10 atau 15 tahun yang lalu – Dusun Datai mulai ramai dihuni warganya. Warga yang dahulu banyak berdiam di wilayah Datai atas dan sekitarnya mulai kembali menghuni Dusun Datai bawah dengan keinginan sendiri. Namun gerakan kembali ke dusun ini bukan menghilangkan cara hidup mereka yang lama. Mereka masih tetap mempertahankan tradisi perladangan berpindah. Kondisi ini disebabkan karena ladang hanya bisa ditanami maksimal dua kali sehingga mereka terus berpindah agar cadangan pangan tetap ada.

Perladangan berpindah berdampak pada pasang surutnya kondisi dusun. Maksudnya kondisi dusun akan menjadi ramai tatkala musim panen usai hingga musim pembukaan ladang baru lagi. Saat ini dusun Datai relative lebih ramai bila dibandingkan dahulu. Kondisi rumah-rumah warga juga tampak terawat karena masih dihuni warga. Beberapa rumah memang terlihat kosong namun tetap terawatt dengan baik. Perubahan sosial yang terjadi beberapa tahun belakangan ini ikut membuat Dusun Datai menjadi ramai.

Haus hiburan. Itulah yang bisa dikatakan. Keberadaan televisi dan parabola merupakan hiburan baru bagi warga. Acara televisi seperti sinetron dan film menjadi magnet baru dalam hubungan sosial warga. Jika dahulu warga terbiasa tinggal lama di rumah ladang, kini banyak warga yang justru bertahan tinggal di dusun atau pulang hari dari rumah ladang terutama jika ada tontonan. Tua muda, laki-laki perempuan, bahkan bayi pun ikut membaur menjadi satu melihat segala jenis hiburan yang ditawarkan televisi.

Televisi sebenarnya bukan satu-satunya barang modern. Masih ada genset, VCD, sepeda motor, sepeda kayuh, dan radio adalah sedikit contoh perubahan sosial yang telah terjadi di Datai. Tidak ada perubahan tanpa disertai dampak. ada yang baik dan ada juga yang buruk. Dampak paling mudah bisa dilihat dari pemakaian bahasa yang digunakan. “lu, gue” menjadi bagian dari percakapan anak-anak dan kaum muda Datai. Belum lagi dengan acara2 di televisi yang juga berpengaruh terhadap pola konsumsi warga dan termasuk didalamnya adalah gaya hidup……..

Masyarakat Talang Mamak sedang berada pada masa transisi. Mereka tidak lagi terlihat seperti masyarakat tradisional yang biasanya identik dengan “kesederhanaan”. Jangan pernah berpikir ketika masuk ke masyarakat ini kita akan menemukan manusia-manusia yang berpakaian hanya dengan selembar kain saja. Untuk pakaian sehari-hari mereka memakai pakaian yang biasa dipakai masyarakat luar (celana, rok, t’shirt, kemeja, jaket dsb). meski demimian, kadang kita bisa melihat para perempuan dewasa hanya menggunakan selembar kain yang dipakai dari mulai perut hingga lutut (hanya menutupi bagian bawah).

Dari sisi konsumsi makanan juga sedikit berbeda dengan kita. Makanan mereka sehari-hari adalah menggalo (ubi kayu) dan nasi. Jika ada uang bisa dikombinasikan dengan sarden atau mie instan. Atau dengan lauk ikan hasil tangkapan yang dimasak dengan cara disalai, direbus, digoreng atau dibuat sayur. Jika tidak mendapatkan ikan, nasi atau ubi bisa disantap dengan sambal cabe dan jering/jengkol atau cukup dengan sejenis vetsin sehingga bisa memberikan rasa pada nasi atau ubi yang dimakan.
Sumber bahan pangan cukup melimpah di Datai. Tanah yang cukup subur mampu memberikan hasil panen untuk cadangan pangan selama setahun dan bahkan lebih. Untuk menutupi kebutuhan yang tidak dihasilkan dari ladang misalnya gula, teh, minyak dan lain sebagainya, warga Datai akan mencari jernang atau burung yang nantinya akan dijual di pasar. Ada juga warga yang enanami ladangnya dengan karet sehingga mampu mendatangkan penghasilan.

Dalam kehidupan sosial, aturan adat berjalan beriirngan dengan hukum nasional. Meskipun demikian aturan adat tetap mendominasi kehidupan warga. Pergeseran adat mulai terlihat jelas pada masyarakat ini. Ada beberapa ritual adat yang tidak lagi dilakukan atau paling tidak dirubah menjadi lebih sederhana. Denda adat yang seharusnya bisa menekan terjadinya pelanggaran ternyata justru lebih sering berfungsi sebagai pembenaran dan pengesahan atas pelanggaran yang dilakukan.
Pelanggaran adat lebih sering terjadi pada hubungan antara lelaki dan perempuan. Perselingkuhan, menikah dengan paman atau bibi, merupakan contoh dari pelanggaran yang terjadi. Denda adat tertinggi yang bisa dilabuhkan adalah seekor kambing dan beras sepuluh gantang. Besaran denda yang dilabuhkan ternyata tidak menghalangi warga untuk melakukan pelanggaran adat. Seringkali adat justru dilanggar untuk merombak struktur masyarakat yang ada terutama jika berkaitan dengan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Sanksi sosial yang ada nyaris tidak berlaku membuat pelanggaran terhadap adat menjadi sesuatu yang wajar.

Kosmologi juga menjadi bagian yang begitu absurd. Pengetahuan local mengenai alam dan asal muasal suku Talang Mamak merupakan sesuatu yang sulit untuk dipelajari. Semakin sedikitnya informan kunci yang menguasai adat istiadat dan lemahnya regenerasi kepada kaum muda menjadi salah satu sebab absurdnya adat yang ada kini. Belum lagi dengan perubahan sosial budaya yang dialami warga menyebabkan begitu banyak yang mulai terlupakan dan bahkan bisa jadi akan hilang. Pemaknaan atas symbol-simbol adat juga semakin rancu dan kacau. Dibutuhkan usaha yang cukup keras dan interaksi yang cukup intens dengan masyarakat Talang Mamak agar gambaran mengenai kehidupan adat bisa diperoleh. Bukan sekedar gambaran di permukaan belaka namun lebih kepada pemahaman terhadap adat yang ada.

Masyarakat di datai terus berubah. Namun sekuat apapun mereka mencoba berubah dengan mengikuti kehidupan di luar lingkungan mereka, stereotipe negatif tentang mereka tak jua berubah. Stigma negatif terus saja menempel dalam diri mereka padahal mereka sama dengan kita, sama-sama manusia, sama-sama hidup di negeri ini. Seiring kemajuan jaman, pastilah mereka akan terus berubah mencoba mengejar kehidupan di luar lingkungannya. Kini tinggal kita yang harusnya mengapresiasi perubahan mereka. Sederhana saja, dengan melihat mereka dengan mata terbuka, menghargai keberadaan mereka sebagaimana adanya.....

Sunday, May 1, 2011

catatan perjalanan

Setiap peristiwa akan menjadi suatu kenangan bila kita ingin mengenangkannya..tapi bisa juga terkubur dalam-dalam ketika tak ingin mengingatnya. Waktu telah lama berlalu dan ternyata kenangan bersama masyarakat adat di berbagai belahan Indonesia itu terus muncul. Mungkin karena indah, menyenangkan, penuh tantangan meski terkadang banyak juga hal-hal bodoh yang kulakukan. Aku ingat pernah menjadi selebriti di sana sampai punya fans segala hahahaha...padahal selama ini kami berdua tak pernah memiliki fans wakakakaka...temanku malah pernah hampir dilamar sedangkan aku dikirimi surat cinta!!....Pengalaman yang benar-benar selalu membuatku tertawa. Maklumlah sebagai outsider, segala tingkah laku ku dan Wening temanku, menjadi sorotan. Kami berdua begitu dihargai dan dijaga. Tak pernah sedikitpun mereka melakukan hal jahat. Di semua masyarakat adat yang kudatangi kami begitu dihargai - suatu hal yang tidak selalu kita peroleh di lingkungan sekitar kita.

Perjalanan demi perjalanan menyusuri pedalaman Sumatera dan Kalimantan selama ini memang sudah selesai. Setidaknya sampai saat ini. Aku masih berharap masih bisa ke tempat lain lagi atau bernostalgia ditempat-tempat yang pernah kukunjungi. Aku yakin jika diberi kesempatan, aku bisa melakukan sesuatu untuk mereka. Selama ini belum banyak bahkan bisa dikatakan sedikit sekali yang sudah kulakukan untuk mereka. Dan ini menjadi sebuah kegundahan bagiku.

Dunia di luar sana begitu indah sekaligus memilukan bagiku. Aku banyak belajar dari mereka. Tentang kejujuran, persahabatan, saling percaya, semua tentang pelajaran hidup. Mereka selalu menjadi guru terbaikku untuk tidak selalu melihat ke atas namun tetap harus melihat ke bawah. Mereka juga mengingatkanku akan sebuah perjuangan hidup dalam keterbatasan. Seringkali hatiku teriris ketika melihat kehidupan mereka. Jauh dari kata layak (tentu dari sudut pandangku). Hanya dengan tulisanku aku bisa membantu mereka. Setidaknya memberi tahu pada dunia diluar sana bahwa ada masyarakat adat di pedalaman sana yang terlupakan dan dipandang sebelah mata oleh masyarakat umum hanya karena kehidupan masa lalu mereka....hingga kini stigma itu terus menempel dalam diri mereka hingga mereka ditempatkan sebagai warga negara kelas kesekian. Sedih rasanya. padahal mereka juga manusia biasa seperti kita. Hanya saja mereka tinggal nun jauh disana,.....

Untuk sahabat-sahabatku di pedalaman sana...terima kasih telah mengajariku banyak hal....Kalian akan selalu kuingat sebagai bagian dari kehidupanku dan akan selalu kukenang....Untuk Suku Laut di Tajur Biru Kepri, Suku Talang Mamak di Datai Riau, Suku Dayak Punan di pedalaman Tubu Kaltim, Suku Dayak Punan di desa Tanjung Lokang hulu Kapuas dan Suku Dayak penihing di hulu Mahakam...kalian tidak pernah terganti....terima kasih telah mengisi lembaran hidupku.............semoga suatu saat nanti langkah kakiku bisa menjejak kesana lagi..............

Yogyakarta, Awal Mei 2011 dalam rintik hujan...

Wednesday, January 5, 2011

Girilaya : Serba-serbi Batik

Catatan perjalanan Agustus 2007 – Juli 2008

Booming batik akhir-akhir ini begitu luar biasa. Di setiap sudut, di segala waktu, batik telah menjadi pakaian wajib yang dikenakan. Aneka gaya, model dan motif yang ditawarkan menjadikan batik terasa nyaman dipakai. Padahal dahulu batik identik dengan kesan formal, kuno dan berkesan orang tua. Kini batik bisa dipakai mulai dari balita hingga orang tua, laki-laki atau perempuan tidak sungkan lagi mengenakan batik baik untuk acara formal maupun informal (sekedar jalan-jalan dsb). Namun setelah masa booming itu berlalu, kini pemakaian batik dalam keseharian mulai terlihat berkurang…ya betul…selera masyarakat memang ditentukan oleh waktu…hanya mereka yang setia pada batik sajalah yang tetap memakai batik tanpa terikat waktu dan tempat.
Saya sendiri dahulu tidak tahu betul tentang batik. Setahu saya, dipasar Beringharjo, Yogyakarta, dijual batik mulai harga Rp 10.000 hingga kisaran ratusan ribu rupiah. Dalam benak saya, semua yang djual di pasar beringharjo adalah batik yang kata orang adalah kain khas/tradisional dan wajib serta harus dilestarikan. Tapi ternyata tidak semua batik adalah batik..nah lho……
Berinteraksi dengan para pembatik di dusun Girilaya hampir selama satu tahun lamanya bersama Jogja Heritage Society dan AIP merupakan pengalaman yang luar bisa. Kesederhanaan pola pikir, keterbukaan dan keramahan masyarakat Girilaya merupakan pembelajaran hidup yang tidak akan terlupakan.

Batik untuk hidup dan hidup untuk batik
Kesetiaan masyarakat Girilaya terhadap batik tidak perlu lagi diragukan. Dari jaman nenek moyang tradisi membatik terus mengakar hingga kini. Para pembatik yang mayoritas perempuan (bahkan hampir semua) menggeluti batik mulai dari kanak-kanak. Ada yang memulai membatik dari umur 8 tahun hingga kini berumur 60 tahun masih terus setia pada batik. Regenerasi usaha batik ini terus dilakukan hingga sekarang. Anak-anak mulai dikenalkan untuk mencintai batik dari dini agar tradisi batik di dusun ini tidak hilang oleh waktu.
Jika kita berjalan-jalan mengelilingi dusun, para perempuan yang sedang membatik merupakan pemandangan umum disana. Dengan peralatan yang cukup sederhana mereka membatik di emperan rumah maupun di sudut-sudut rumah yang pencahayaannya cukup terang. Biasanya mereka membatik di dekat pintu atau di samping rumah dengan dingklik dan gawangan seadanya. Pemandangan ini hanya akan kita temukan dari pagi hingga sore hari. Menjelang gelap, sangat jarang para pembatik menekuni pekerjaannya karena factor penerangan.
Batik memang telah menjadi aktivitas harian para perempuan di Girilaya. Menurut mereka, “menawi sedinten mboten nyerat kok rasane nggih malah pegel-pegel (kalo sehari saja tidak membatik tubuh rasanya tidak enak)”. Pernyataan ini membuktikan bahwa batik benar-benar sudah mengakar dalam kehidupan mereka. Batik tidak sekedar untuk mencari uang belaka namun merupakan wujud kecintaan terhadap warisan nenek moyang dan nilai-nilai tradisi merupakan alasan yang utama.
Apabila dilihat dari sisi penghasilan, pekerjaan membatik tidaklah cukup mengguntungkan. Mereka mengatakan, “Penghasilane pancen mboten kathah ning kok nggih cekap terus. Saged kagem jajan lare-lare (penghasilannya memang tidak banyak namun tetap saja terasa cukup. Bisa untuk jajan anak-anak).” Begitulah hidup, berapapun yang kita dapatkan asalkan selalu bersyukur pasti akan terasa cukup. Inilah nilai-nilai kesederhanaan yang ditunjukkan oleh masyarakat seperti mereka. Tidak heran bahwa batik memang telah mendarah daging. Penghasilan yang tidak besar bukanlah sebagai penghalang untuk tidak menekuni batik karena bagi mereka batik telah menjadi urat nadi kehidupan para perempuan di sana. Mereka mengatakan akan terus membatik hingga tidak sanggup membatik lagi. Biasanya para pembatik akan berhenti membatik ketika koordinasi antara tangan dan mata tidak lagi bagus.

Belajar dari Pembatik
Batik memang unik. Seiring dengan perkembangan jaman, batik menjadi sesuatu yang terus berkembang dan telah mengalami masa pasang surut yang cukup dinamis. Dahulu batik selalu identik dengan yang namanya handmade alias kerajinan tangan sehingga sangat layak dihargai dengan nilai ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Kini hanya dengan uang sepuluh ribu rupiah, masyarakat sudah merasa memakai batik. Tapi tahukah jika tidak semua batik yang ada dipasaran adalah batik?
Batik yang sebenarnya ada 3 jenis yaitu batik tulis (handmade), batik cap dan batik cap yang dikombinasikan dengan tulis (pembatik di Girilaya menyebutnya sebagai batik pecelan). Batik tulis murni dibuat dengan goresan canting dan menggunakan malam. Murni merupakan ketrampilan tangan si pembuat sehingga terkadang meskipun dengan motif sama, namun hasilnya bisa berbeda jika dikerjakan oleh dua orang yang berbeda misalnya dari goresan canting, kerapian dan lain sebagainya. Dari sisi pembuatannya juga memakan waktu lama. Selembar kain bisa dibatik (belum proses warna) selama ± 2 minggu. Ini baru pembatikan tahap pertama karena setelah diwarna biasanya akan dibatik lagi untuk memberi hiasan (isen-isen atau menutup bagian yang tidak ingin diwarnai).
Batik cap dibuat dengan menggunakan media cap dan malam/lilin. Dibutuhkan ketrampilan tangan untuk bisa mengecap dengan baik dan teratur. Biasanya batik cap dibuat secara masal dan dengan harga yang cukup terjangkau oleh konsumen. Sayangnya tidak semua motif tradisional bisa dibuat dengan media cap. Biasanya motif yang bisa dibuat dengan cap adalah motif batik simetris.
Batik pecelan dibuat dengan cara dicap dahulu baru kemudian isen-isen (isian) dibatik dengan menggunakan canting. Harga batik pecelan berada di antara harga batik cap dengan batik tulis. Batik pecelan bisa juga diproduksi secara masal.
Nah….batik yang selama ini diakui sebagai batik dengan harga murah meriah sebenarnya bukan batik tapi.…tekstil dengan motif batik. Tidak bisa disebut dengan batik karena jenis yang satu ini tidak menggunakan malam/lilin untuk pembuatannya (ini menurut beberapa pakar lho)….tapi menggunakan tinta/warna biasa dengan cara seperti ketika kita ngeprint kertas…gitu ceritanya. Kelebihan jenis ini, karena dibuat oleh mesin, maka bisa membuat/meniru dengan sama persis motif-motif batik yang ada. Bahkan kesannya terlalu sempurna. Motif yang tidak bisa dibuat dengan cara dicap semua dengan lancar bisa dibuat dengan cara ini dan bisa dihasilkan produk masal dalam waktu relative singkat. Makanya harganya jadi murah karena bukan handmade sih tapi mesin yang membuat. Dengan cara ini, makanya bisa dihargai dari mulai Rp 10.000 hingga Rp 50.000 tergantung bahan dan mode. Jenis yang seperti inilah yang laris manis dipasaran…dan diklaim sebagai batik.
Bukan sebuah kesalahan jika kita menggunakan tekstil dengan motif batik. Bisa dimaklumi karena harga batik yang sesungguhnya terkadang bikin kantong kering. Harga batik tulis ataupun cap yang harganya di atas Rp 100.000 sebenarnya wajar karena sebanding dengan lamanya proses pembuatan dan kerumitannya serta nilai seninya yang tinggi. Jadi kalau benar-benar menyukai dan peduli gak ada salahnya sekali-kali membeli batik yang benar-benar batik….

Tips membedakan jenis batik
Salah satu manfaat mendampingi masyarakat Girilaya adalah kita bisa belajar membedakan mana batik yang asli dan mana tekstil dengan motif batik. Kain batik yang asli biasanya harganya mahal (diatas Rp 100.000 an tapi ini tidak bisa dijadikan patokan karena bisa jadi pedagangnya yang curang). Bisa jadi tekstil dengan motif batik dijual dengan harga mahal. Oleh karena itu perlu dicermati secara mendalam jika ingin membeli batik. Kata para ibu-ibu pembatik di Girilaya, batik tulis yang asli biasanya terlihat dari coretan-coretan yang justru tidak sempurna dan tidak mengkilap serta tembus ke bagian bawah (tapi tergantung kualitas batikannya juga sih karena ada juga batik tulis yang tidak tembus hingga ke bagian bawah kain biasanya merupakan batik kasar). Bisa juga dilihat dari kerumitan motif. Kalau untuk batik cap, biasanya motifnya lebih terbatas dibandingkan dengan batik tulis karena untuk kain batik dengan motif lung-lungan jarang dibuat dengan menggunakan cap karena motifnya yang kebanyakan berupa sulur-sulur panjang. Pada batik cap juga bisa ditandai dengan adanya batas imajiner antara satu cap dengan cap yang lain dalam satu lembar kain. Selembar kain batik cap bisa dihargai dari Rp 130.000 ke atas tergantung motif dan jenis kain.
Kalau untuk membedakan batik tulis dan batik cap dengan tekstil dengan motif batik (kata-kata ibu-ibu pembatik lho) cukup mudah ……meski ketika dipraktekkan lumayan membingungkan hehehehe. Untuk membedakannya cukup dengan cara, pertama mengkilat tidaknya kain. Kain dengan motif batik biasanya mengkilat karena tidak menggunakan malam namun dengan tinta warna. Kedua, kesempurnaan motif. Logikanya seperti ini. Motif yang dibuat dengan mesin, memiliki tingkat kesempurnaan yang tinggi. Bahkan tanpa cacat cela. Kalau buatan tangan tentu tergantung dengan goresan tangan si pembatik karena berkaitan dengan rasa. Selain itu batik handmade biasanya juga memiliki motif yang lebih detail. Ketiga, lihat dibagian belakang kain, apakah gambar dan warna hanya di satu sisi kain saja atau tidak. Jika hanya di satu sisi kain (tidak tembus bagian belakang), bisa dipastikan merupakan kain dengan motif batik. Batik yang dibuat dengan canting biasanya tembus hingga ke sisi kain yang lain sehingga di kedua sisinya memiliki gambar dan warna yang sama. Pada batik tulis ada proses yang dinamakan nerusi yang intinya membatik di sisi belakang kain yang tidak tembus oleh malam/lilin. Lilin/malam yang digoreskan ketika memiliki kadar panas yang cukup matang dan kualitas malam yang cukup bagus biasanya akan langsung tembus hingga ke sisi lain. Namun adakalanya lilin tidak tembus sehingga harus melalui proses nerusi. Tapi inipun tidak menjadi jaminan bisa membedakan antara kain batik dengan tekstil dengan motif batik karena perkembangan akhir-akhir ini tekstil batik juga mulai dibuat sesempurna mungkin sehingga sulit dibedakan dengan batik yang benar-benar batik. Jika ingin batik dengan beragam aplikasi dan berinteraksi langsung dengan para pembatik datang saja langsung ke Girilaya. Dijamin batik yang benar-benar batik saja yang akan diperoleh di sana dengan beragam motif dan harga. Tergantung kemauan dan kemampuan
Girilaya: Dusun Batik dengan banyak Potensi
Girilaya merupakan sebuah dusun yang cukup menarik. Selain dikenal sebagai dusun batik, sejak awal Girilaya juga dikenal karena tradisi gurah. Banyak pegurah dari Girilaya yang cukup terkenal hingga luar kota (Jakarta dsb) sehingga terkadang ada artis ibukota yang sengaja datang ke dusun ini hanya untuk melakukan gurah. Sayang sekali era keemasan gurah sudah mulai pudar. Gurah menjadi primadona tahun 1990 an. Kini meskipun bisnis ini tidak lagi seramai dahulu namun gurah tetap digeluti warga.
Selain gurah, dusun ini juga sering dikunjungi untuk berziarah. Keberadaan makam Sunan Cirebon menjadikan Girilaya memiliki potensi yang cukup lengkap untuk dijadikan tujuan wisata.
Dari sisi geografis, Girilaya juga memiliki pemandangan yang cukup menarik. Letak dusun yang berada di lereng perbukitan, rumah-rumah yang tertata cukup rapi di sepanjang kanan dan kiri jalan dusun, rindangnya pepohonan memberikan kesan khas kehidupan pedesaan yang asri. Nah berkaitan dengan batik, kita juga bisa belajar membatik di sini serta melihat proses pembatikan mulai dari membatik hingga pewarnaan. Gurunya cukup terpercaya karena merupakan pembatik yang sudah mumpuni dibidangnya. Gak ada salahnya berkunjung ke dusun ini karena selain bisa berjalan-jalan menikmati pemandangan alam dan wisata ritual, bisa juga menambah pengetahuan tentang batik…jalan-jalan tidak sekedar jalan-jalan belaka tapi juga belajar sambil ikut serta melestarikan warisan budaya yang adiluhung hehehehehehe…tumben bijak…..wakakakak…………………merasakan susahnya membatik akan membuat kita menghargai batik dan menghargai masyarakat kecil yang memiliki kesetiaan terhadap warisan nenek moyang karena bagi mereka batik adalah untuk hidup dan hidup adalah untuk batik………………………………

Tuesday, January 4, 2011

Suku Laut : Berita Duka dari Seberang




Hari ketiga di bulan maret 2010. Dari seberang laut terkirim kabar, seorang gadis kecil suku Laut meninggal. Namanya Sumi. Seorang anak yang lucu dengan pipi tembem, rambut poni, mata bulat dan berkulit hitam. Ia baru menjalani hidup hampir selama dua setengah tahun. Usia yang masih sangat muda untuk pergi tapi mungkin itulah jalan yang terbaik.
Menurut berita, ia meninggal di hari pertama bulan Maret. Entah sakit apa yang membuatnya bisa meninggal. Nodi, sang kakak hanya berkata, Sumi kecil meninggal setelah mengalami panas dan jantungnya berdebar-debar selama beberapa hari. Keluarganya sudah berusaha membawanya ke Puskesmas yang terletak di seberang tempat tinggal mereka. Namun dokter tidak sanggup merawat Sumi dan merujuknya ke rumah sakit di Tanjung Pinang. Sayang, Sumi kecil keburu meninggal.
Di kunjungan terakhir masih teringat jelas Sumi kecil menangis dan tertawa atau merengek minum susu. Dibandingkan anak-anak suku Laut yang lain, Sumi cukup beruntung, ia bisa minum susu kaleng meskipun encer.
Kepergian Sumi kecil adalah sebuah hal yang lumrah. Kematian bisa datang kapan saja dengan berbagai sebab. Namun sebenarnya dibalik kepergian Sumi kecil terdapat fakta bahwa masih banyak masyarakat seperti suku Laut yang belum mendapatkan akses kesehatan yang layak.
Pemerintah memang sudah memberikan fasilitas seperti Jamkesmas (entah apa sekarang namanya….mungkin sudah berubah lagi) namun fasilitas ini tanpa didukung adanya pengetahuan mengenai hidup sehat (ini tidak hanya terjadi di kalangan komunitas suku namun juga terjadi di masyarakat lain yang notabene memiliki kehidupan dan pengetahuan yang jauh lebih baik). Ada di antara mereka yang hanya menyimpan kartu tersebut dan tidak menggunakannya kala sakit. Sikap ini selain disebabkan belum adanya kesadaran untuk mengakses fasilitas kesehatan (kurangnya pengetahuan) juga disebabkan kondisi social budaya. Masih ada beberapa kelompok suku Laut yang jauh lebih percaya dengan pengobatan tradisional (dukun) yang diyakini mampu memberikan penjelasan sebab musabab penyakit.
Masih segar dalam ingatan di penghujung 2008, kami berkenalan dengan seorang perempuan suku Laut yang masih bertahan hidup/tinggal di dalam sampan. Ia baru saja melahirkan. Kondisi perempuan dan anaknya sangat sehat. Ibu itu juga sudah beraktivitas seperti biasa. Namun pada kedatangan kami yang kedua – selang beberapa bulan, awal 2009) ternyata perempuan itu sudah meninggal. Entah bagaimana nasib mereka. Kami tidak lagi bertemu dengan keluarga itu lagi karena mereka telah berkelana entah kemana dengan sampan.
Tingkat kematian suku Laut memang belum diketahui. Namun fakta-fakta tersebut membuktikan bahwa kemungkinan angka kematian di kalangan suku Laut cukup tinggi. Sayangnya belum ada studi mengenai hal tersebut.
Sumi kecil sudah tiada. Semoga tidak ada lagi Sumi-Sumi lain yang menyusul. Sampai kini masih teringat jelas bagaimana Sumi berceloteh dan bermain bersama kami.....selamat jalan Sumi…….

Awal Maret 2009

Suku Laut : Sejuta Bintang di Temiang

Mau melihat jutaan bintang di langit? Datanglah ke tempat yang belum terkena polusi cahaya. Salah satunya di Pulau Temiang yang berada di Kepulauan Riau. Penggunaan cahaya (baca listrik) yang masih minimalis di komunitas suku laut maupun masyarakat melayu menyebabkan langit malam di pulau ini terasa begitu indah. Jika cuaca cerah kita bisa melihat jutaan bintang. Kalo mau melihat bintang jatuh disinilah tempat yang cocok. Selama 3 jam di bawah langit malam Temiang, kami melihat 3 kali bintang jatuh (atau bintang pindah, atau benda langit yang lain??entahlah yang penting keren abis). Kata orang-orang, kalo melihat bintang jatuh buatlah permohonan. Alhasil selama 3 kali melihat bintang jatuh yang ada hanyalah terkagum-kagum tanpa make a wish. Maklumlah jarang bisa melihat bintang jatuh sih. Apalagi di Jakarta yang memiliki polusi cahaya yang cukup tinggi. Langit Jakarta bukan lagi dipenuhi oleh taburan bintang tapi dipenuhi asap kendaraan, asap pabrik dan pendar cahaya yang berasal dari penerangan yang dipakai masyarakat.

Bagi orang laut di belahan pulau yang lain, bintang dijadikan pemandu ketika mereka berada di lautan luas. Dengan bintang mereka bisa mengetahui arah mata angin. Bagi kita terkadang bintang hanyalah sekedar bintang. Benda langit yang terlihat berkelip jika di lihat dari bumi. Keindahannya telah terkalahkan oleh gemerlap lampu listrik. Akibatnya bintang tidak lagi menjadi “bintang” di kalangan masyarakat perkotaan. Bahkan cenderung di lupakan.

Penggunaan lampu di kota-kota besar memang menjadikan kota begitu indah. Tapi keindahan tersebut tidak akan sebanding dengan jutaan bintang yang bertaburan di kelam malam. Kita bisa melihat kelap-kelip bintang di langit atau pesawat yang melintas di angkasa. Kadang kita bisa mencari rasi bintang yang ada di langit. Sangat indah dan akan semakin membuat kita merasakan betapa kecilnya kita di hadapan Sang Pencipta.

Tidak bisa dibayangkan bagi orang yang tidak terbiasa hidup tanpa lampu listrik. Kegelapan adalah suatu siksaan. Padahal di balik kegelapan masih ada kehidupan lain yang tidak kita sadari. Masih ada binatang-binatang malam (nocturnal) yang hidup dalam kegelapan dan pastinya akan terganggu ketika kegelapan tersebut terdistorsi oleh gemerlapnya lampu listrik.
Di Temiang, jutaan bintang masih bisa dinikmati kala langit cerah. Apalagi ketika kita bisa menikmatnya dengan berbaring di atas sampan sambil dibuai oleh alunan ombak. Temiang akan selalu menjadi tempat yang tidak akan dilupakan. Begitu indah…..

Suku Laut : Catatan awal perjalanan

Akhir Oktober 2008 – Awal Desember 2008



Laut. Tidak terbayang sebelumnya bahwa petualangan berikutnya ternyata berhubungan dengan laut. Jika dua perjalanan yang lalu selalu berhubungan dengan darat dan sedikit kombinasi air (sungai maksudnya), kini kami harus berhadapan dengan dunia bahari. Dunia yang cukup mengerikan bagi siapa saja yang tidak bisa berenang dan takut akan air. Itulah yang dirasakan.
Laut adalah misteri. Gelombang, kapal tenggelam, angin ribut, badai dan lain sebagainya menghantui perjalanan kali ini. Kita tidak akan pernah tau apa yang akan terjadi ketika berada di lautan. Di titik akhir, bersikap pasrah adalah hal utama yang harus dimiliki karena tak ada seorangpun yang bisa menduga terjadinya perubahan cuaca yang seringkali datang tanpa diundang.
Perjalanan di awali dari Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Tanjung Pinang adalah kota kecil di Pulau Bintan yang cukup padat. Sebagai kota yang cukup padat dengan lalu lalang orang – maklumlah karena merupakan kota transit, Tanjung Pinang penuh dengan hotel, pertokoan dan pusat bisnis yang lain. Orang-orang dari Batam, Singapura, Malaysia banyak berdatangan di kota ini untuk berbisnis.
Dari kota kecil Tanjung Pinang, perjalanan dilanjutkan dengan naik kapal (sering disebut sebagai speed) dari pelabuhan Sri Tanjung Pura menuju kecamatan Senayang. Butuh waktu 3-4 jam untuk menuju lokasi ini. Setelah terbanting-banting selama perjalanan di atas kapal, akhirnya kami sampai di pelabuhan Senayang.
Senayang merupakan kota kecamatan. Kami menyebutnya Indonesia kecil. Mengapa?multi etnis tinggal di sini dan melakukan pembauran. Mereka hidup berdampingan secara damai. Symbol keagamaan juga menunjukkan toleransi yang cukup tinggi. Klenteng, gereja, masjid saling berdampingan di wilayah yang panjangnya hanya 14 km ini. Jalan-jalan dibangun mengelilingi dan membelah kampung dengan pemukiman warga disebelah kanan dan kiri jalan. Fasilitas umum juga cukup lengkap mulai dari kantor pos, kantor pemerintahan, PLN, sekolah, penginapan, puskesmas rawat inap hingga menara dua provider telekomunikasi ada di pulau ini.
Keindahan Senayang masih ditambah dengan pantai pasir putih yang berada di sisi belakang pulau ini. Setiap sabtu dan minggu, pantai ini akan ramai oleh anak muda maupun keluarga yang ingin bersantai. Secara keseluruhan, Senayang adalah kota kecamatan yang cukup menyenangkan.
Mengurus perijinan dan mengumpulkan data mengenai kehidupan suku laut adalah tugas utama di kecamatan ini. Di Senayang memang tinggal satu keluarga suku laut yang telah tinggal menetap dan menganut agama tertentu. Bersama Pak Amun, kami memperoleh banyak data mengenai kehidupan suku laut. Pak Amun jugalah yang mengajak kami berkeliling ke Pulau kentar, tempat dimana salah satu kelompok suku laut bermukim. Pak Amun juga memberi kesempatan kami untuk bermalam di kelong (tempat menangkap ikan) miliknya. Terkena angin ribut di kelong, melihat pengambilan ikan di kelong adalah pengalaman yang kami peroleh di sana. Sebenarnya pengalaman pertama bertemu suku laut adalah ketika kami bertemu dengan rombongan dari Tajur Biru yang berkelam (bersampan selama beberapa hari untuk menangkap ikan)di pulau Ibu Hile. Kesan pertama bertemu suku laut adalah mereka sangat ramah.
Agenda selanjutnya adalah mengunjungi suku laut yang ada di Pulau Linau dan mengunjungi dapur arang di Pulau Manic. Dengan diantar Pak Awing, seorang nelayan melayu, kami pergi ke dua lokasi ini. Sayangnya dapur arang telah ditutup oleh pemerintah karena mengganggu ekosistem bakau sehingga kami tidak memperoleh data pengolahan dapur arang. Tapi tak apalah, setidaknya sedikit kami mendapatkan gambaran tentang pengolahan bakau menjadi arang.
Perjalanan berikutnya, mengunjungi suku laut yang tinggal di Pulau Kongki. Keramahan suku laut sangat terasa di wilayah ini. Mereka tinggal di tengah-tengah bakau sehingga terlidung dari angin. Transfer pengetahuanpun dimulai. Tak terasa, sehari telah berlalu sehingga kamipun akhirnya harus pulang. Di tengah perjalanan, tiba-tiba cuca buruk datang. Gelombang laut cukup tinggi dan membuat kami merasa ketakutan. Akhirnya pelampungpun dipakai. Hampir satu jam kami terombang-ambing ditengah laut. Ternyata ini merupakan fenomena yang biasa terjadi. Menurut suku laut, sebagai pendatang baru, laut ingin berkenalan dengan kami.
Selanjutnya, Senayang ditinggalkan dan beralih ke Pulau Temiang di Desa Tajur Biru. Perjalanan dilakukan dengan pompong meski speed juga lewat desa ini. Perjalanan menuju temiang dilalui hampir selama 2 jam. Meski berangkat jam 8 pagi namun ternyata kami masih harus terpanggang teriknya matahari. Suhu di tengah laut mencapai 40 derajat celcius. Sangat panas dan membuat pusing. Namun akhirnya perjalanan selesai sudah. Kami menginap di rumah Pak Akob di Tajur Biru.
Tiga minggu lamanya, kami tinggal di komunitas suku laut yang telah menetap dan menganut satu agama tertentu. Menangkap ikan diwaktu malam, mengambil hasil hutan seperti rotan, berkayu, menjual hasil tangkapan adalah aktivitas yang dilakukan sehari-hari. Sedikit membosankan karena mobilitas kami bergantung dengan sampan padahal kami tidak bisa bersampan. Beberapa kali mencoba namun tetap tidak bisa juga. Untuk mengunjungi tetanggapun harus dilakukan dengan sampan karena tidak ada pelantar (jembatan dari kayu untuk menghubungkan dari rumah-ke rumah, berfungsi sebagai jalan). Hiburan kami satu-satunya adalah nongkrong di waktu malam di luar rumah dan memandang langit yang bertabur jutaan bintang. Terkadang bisa juga nonton tivi tapi karena yang dilihat adalah sinetron yang penuh adegan saling teriak dan memelototkan mata akhirnya kami lebih memilih untuk dekat dengan alam. Ternyata mereka sangat menyukai sinetron laga yang ditayangkan oleh TPI maupun Indosiar. Kadang-kadang mereka nonton film bajakan yang mereka beli di pasar terdekat.
bersama partner dan anak-anak laut
Live in selama 3 minggu bersama suku laut merupakan hal yang aneh di mata masyarakat melayu. Ketika bertemu kami mereka selalu bertanya apakah kami tidak takut dipelet/diguna-guna? Bagaimana kalau akhirnya kami tidak bisa pulang? Pertanyaan itu terus mereka pertanyakan dan selalu saja kami jawab dengan mengatakan kami tidak takut. Memang image yang terbentuk selama ini begitu menyudutkan suku laut. Bagi mereka yang tidak berinteraksi dengan suku laut secara langsung, anggapan bahwa suku laut jorok dan suka mengguna-guna orang memang masih ada. Padahal begitu dekat dengan suku Laut, semua stigma negative itu tidak benar adanya. Mereka adalah suku bangsa yang ramah dan baik meskipun lebih sering merasa rendah diri.
Ketika kami harus pulang lagi ke Jakarta, ada sesuatu yang hilang. Kebersamaan dengan suku Laut sangatlah membekas di hati. Keinginan untuk kembali lagi ke sana selalu ada. Keindahan alam dan keramahan Suku Laut adalah hal yang paling menarik untuk bisa kembali. Yang lebih penting, ada begitu banyak hal yang masih harus dipelajari terutama tentang kehidupan mereka sebagai pengelana laut……..